Salin Artikel

Ragam Kejanggalan Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres

Melalui putusan tersebut, MK membolehkan orang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.

Padahal, tiga putusan sebelumnya di hari yang sama, MK menolak seluruhnya tiga gugatan terkait perkara batas usia capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun.

MK secara eksplisit, lugas, dan tegas, menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7 Nomor 2017 adalah wewenang pembentukan undang-undang untuk mengubahnya.

Bahkan, dalam dissenting opinion yang disampaikan Saldi Isra, ia mengaku bingung bagaimana bisa MK mengubah putusan dengan cepat dan sekelebat.

"Baru kali ini saya mengalami peristiwa "aneh" yang "luar biasa" dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Sadar atau tidak, ketiga putusan (tadi pagi) tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang," ucap Saldi.

Sejatinya, kata Saldi, MK memang pernah berubah pendirian atas putusan sebelumnya.

Namun, perubahan tak sekadar mengenyampingkan putusan sebelumnya, serta didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat.

"Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?" tanya Saldi.

Terlalu bernafsu

Dalam pertimbangannya, Saldi menyebut sebagian hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terkesan berpacu dengan waktu terhadap tahapan pemilu.

Saldi bahkan menuding mereka terlalu bernafsu untuk sesegera mungkin memutus perkara yang digugat tersebut.

Ketika dalam proses pembahasan di tingkat rapat permusyawaratan hakim (RPH), terjadi perdebatan yang menyita waktu di antara hakim konstitusi. Perdebatan ini terjadi lantaran belum ditemukannya titik terang mengenai amar putusan yang akan diambil dalam perkara ini.

Karena perdebatan inilah, terdapat hakim konstitusi yang mengusulkan supaya pembahasan perkara ini ditunda. Hakim tersebut juga mengingatkan agar tidak perlu terburu-buru serta perlu dimatangkan kembali dalam memilih amar putusan.

Akan tetapi, sebagian hakim konstitusi justru tetap dengan keyakinannya atas pilihan amar putusannya.

"Sekalipun RPH ditunda dan berlangsung lebih lama, bagi Hakim yang mengusulkan ditunda, hal tersebut tidak akan menunda dan mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilihan, in casu tahapan pemilihan umum presiden dan wakil presiden," imbuh dia.

Anwar, Guntur, dan Manahan Sitompul tak memberi batasan sejauh mana kepala daerah bisa menjadi capres-cawapres. Sementara Daniel menilai bahwa hanya gubernur yang memenuhi syarat konstitusional untuk maju capres-cawapres.

Keempatnya juga beda alasan dengan hakim Enny Nurbaningsih dalam menyepakati putusan yang sama. Senada dengan Daniel, Enny menilai bahwa hanya gubernur yang memenuhi syarat konstitusional untuk maju capres-cawapres.

Namun, tak semua gubernur memenuhinya. DPR dan pemerintah perlu mengatur lebih jauh kriteria gubernur tertentu yang layak maju sebagai capres-cawapres.

"Merujuk penjelasan di atas, pilihan jabatan publik berupa elected official termasuk pemilihan kepala daerah, kelimanya berada pada titik singgung atau titik arsir jabatan gubernur. Oleh karena itu, seharusnya amar putusan lima hakim konstitusi yang berada dalam gerbong 'mengabulkan sebagian' adalah jabatan gubernur," kata Saldi.

Penjadwalan sidang terkesan lama

Hakim konstitusi lainnya, Arief Hidayat, turut menyatakan kejanggalan atas putusan MK tersebut.

Ia sempat menyatakan merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan pada lima perkara a quo yang ditangani MK soal batas usia capres dan cawapres. Keganjilan ini perlu dia sampaikan karena mengusik hati nuraninya.

Soal waktu sidang, misalnya, beberapa perkara harus memakan waktu hingga 2 bulan, yaitu pada perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang ditolak MK, dan 1 bulan pada perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang juga ditolak MK.

Oleh karena itu, ia mengusulkan agar Mahkamah menetapkan tenggang waktu yang wajar antara sidang perbaikan permohonan dengan pemeriksaan persidangan untuk mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah.

Dengan begitu, peristiwa seperti ini tidak akan terjadi lagi di kemudian hari.

"Perbaikan ini dilakukan dengan menyempurnakan hukum acara perkara pengujian undang-undang," tutur dia.

Keterlibatan sang paman

Keganjilan lainnya adalah turut sertanya Ketua MK Anwar Usman, yang merupakan ipar Presiden Joko Widodo atas salah satu perkara yang berakhir dikabulkan MK.

Padahal, dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada Selasa (19/9/2023), tiga perkara yang akhirnya ditolak MK, Perkara Nomor 29PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, Ketua MK Anwar Usman tidak hadir.

Saat itu, RPH dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Arief menanyakan alasan Anwar Usman tidak hadir.

Saldi Isra lantas menyatakan, ketidakhadiran Anwar Usman bertujuan untuk menghindari potensi konflik kepentingan karena isu yang diputus berkaitan dengan syarat usia minimal capres dan cawapres di mana keponakannya dan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, berpotensi diusulkan dalam Pilpres 2024.

Akhirnya, tiga perkara tersebut diputuskan untuk ditolak. Namun saat memutus dua perkara lain yang salah satunya berujung diputus inkonstitusional bersyarat, Ketua MK hadir.

"Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar "dikabulkan sebagian". Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima dengan penalaran yang wajar," ucap Arief.

https://nasional.kompas.com/read/2023/10/17/21072721/ragam-kejanggalan-putusan-mk-soal-batas-usia-capres-cawapres

Terkini Lainnya

Bareskrim Proses Berkas TPPU Panji Gumilang, Segera Dikirim ke JPU

Bareskrim Proses Berkas TPPU Panji Gumilang, Segera Dikirim ke JPU

Nasional
Jokowi: Kota Masa Depan Harus Ramah Pejalan Kaki, Disabilitas dan Perempuan

Jokowi: Kota Masa Depan Harus Ramah Pejalan Kaki, Disabilitas dan Perempuan

Nasional
Laporan BPK 2021: Ada Data Pensiunan Ganda di Tapera, Saldo Rp 3,3 M Jadi 6,6 M

Laporan BPK 2021: Ada Data Pensiunan Ganda di Tapera, Saldo Rp 3,3 M Jadi 6,6 M

Nasional
Ormas Keagamaan Kelola Tambang: Atur Pertanggungjawaban Kesalahan Pengelolaan

Ormas Keagamaan Kelola Tambang: Atur Pertanggungjawaban Kesalahan Pengelolaan

Nasional
Indonesia Usulkan Makan Siang Gratis jadi Program Satgas Global Melawan Kelaparan dan Kemiskinan

Indonesia Usulkan Makan Siang Gratis jadi Program Satgas Global Melawan Kelaparan dan Kemiskinan

Nasional
Laporan BPK 2021: Tapera Tak Kembalikan Uang Ratusan Ribu Peserta Senilai Rp 567 M

Laporan BPK 2021: Tapera Tak Kembalikan Uang Ratusan Ribu Peserta Senilai Rp 567 M

Nasional
Mundur sebagai Wakil Kepala Otorita IKN, Dhony Rahajoe Sampaikan Terima Kasih ke Jokowi

Mundur sebagai Wakil Kepala Otorita IKN, Dhony Rahajoe Sampaikan Terima Kasih ke Jokowi

Nasional
KPU Dianggap Bisa Masuk Jebakan Politik jika Ikuti Putusan MA

KPU Dianggap Bisa Masuk Jebakan Politik jika Ikuti Putusan MA

Nasional
Ketika Kepala-Wakil Kepala Otorita IKN Kompak Mengundurkan Diri ...

Ketika Kepala-Wakil Kepala Otorita IKN Kompak Mengundurkan Diri ...

Nasional
KPU Diharap Tak Ikuti Putusan MA Terkait Usia Calon Kepala Daerah

KPU Diharap Tak Ikuti Putusan MA Terkait Usia Calon Kepala Daerah

Nasional
Adam Deni Hadapi Sidang Vonis Kasus Pencemaran Ahmad Sahroni Hari Ini

Adam Deni Hadapi Sidang Vonis Kasus Pencemaran Ahmad Sahroni Hari Ini

Nasional
Pentingnya Syarat Kompetensi Pencalonan Kepala Daerah

Pentingnya Syarat Kompetensi Pencalonan Kepala Daerah

Nasional
Nasihat SBY untuk Para Pemimpin Setelah 2014

Nasihat SBY untuk Para Pemimpin Setelah 2014

Nasional
Dulu Jokowi Tak Setujui Gibran Jadi Cawapres, Bagaimana dengan Kaesang pada Pilkada Jakarta?

Dulu Jokowi Tak Setujui Gibran Jadi Cawapres, Bagaimana dengan Kaesang pada Pilkada Jakarta?

Nasional
[POPULER JABODETABEK] Pedagang Pelat Mengaku Enggan Terima Pesanan Pelat Nomor Palsu | Warga Sebut Tapera Hanya Mempertimbangkan Kebutuhan Pemerintah

[POPULER JABODETABEK] Pedagang Pelat Mengaku Enggan Terima Pesanan Pelat Nomor Palsu | Warga Sebut Tapera Hanya Mempertimbangkan Kebutuhan Pemerintah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke