SENIN (16/10/2023), Mahkamah Konstitusi (MK) telah membacakan putusan tentang uji materi aturan batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Meski MK terbelah dan semacam ada “kejanggalan”, hasil putusannya jauh dari harapan publik pada umumnya.
Soal batas usia memang ditolak. Namun, MK mengabulkan permohonan penambahan syarat capres dan cawapres.
MK menyatakan bahwa seseorang yang belum berusia 40 tahun bisa maju menjadi capres atau cawapres selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilu. Putusan berlaku mulai Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Empat hakim MK menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Putusan tersebut didukung lima hakim MK. Namun, dari lima itu dua hakim menyampaikan alasan berbeda (concurring opinion).
Kejanggalan dimaksud, sebagaimana dikemukakan salah satu hakim MK, Arief Hidayat, saat Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) Selasa (19/9/2023), yang tidak dihadiri Ketua MK Anwar Usman dengan alasan menghindari potensi konflik kepentingan.
RPH itu menolak tiga perkara: Perkara Nomor 29PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023.
Namun, saat memutus dua perkara lain, yang salah satunya berujung diputus inkonstitusional bersyarat, Anwar Usman hadir.
"Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar ‘dikabulkan sebagian’. Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima dengan penalaran yang wajar," ucap Arief Hidayat (Kompas.com, 16/10/2023).
Dengan putusan MK itu berarti jalan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) terbuka lebar menuju kursi cawapres.
Boleh dikata tinggal selangkah lagi, publik akan melihat Gibran berjalan di atas karpet merah menuju kursi cawapres.
Kecuali sang ayah yang masih berkuasa memveto tak merestuinya. Gibran pun menolaknya, lalu membiarkan putusan MK sekadar norma baru.
Membaca dinamika pemilihan presiden (pilpres) belakangan ini, putusan MK itu sangat ditunggu Prabowo. Substansinya sesuai harapan Prabowo yang selalu merayu Gibran untuk bersedia menjadi cawapresnya.
Ia sudah pasti tak akan menyia-nyiakan kesempatan mengunduh efek Jokowi tersebut. Prabowo sadar betul bahwa Jokowi punya pengaruh besar untuk menghindari kekalahan yang ketiga kali pada kontestasi pilpres sebagai capres.
Bila Gibran sukses dicalonkan sebagai cawapresnya, diyakini elektabilitas Prabowo akan naik secara signifikan. Peluang memenangi kontestasi Pilpres 2024 terbuka.
Di atas kertas Gibran dinilai potensial menyedot suara Jawa Tengah. Sejauh ini menurut sejumlah survei Ganjar selalu unggul di Jawa Tengah.
Gibran juga dipandang potensial sebagai magnet bagi para pemilih yang menunggu rekomendasi Jokowi. Juga segmentasi pemilih muda. Gibran adalah kata kunci memastikan dukungan Jokowi.
Singkat kata, Gibran dipandang punya nilai politik strategis sangat tinggi. Dengan mendapatkan Gibran, boleh jadi Prabowo yakin tinggal selangkah lagi memenangi Pilpres 2024.
Soal muncul kritik keras dari sudut etika politik karena cara yang ditempuh terkesan memperalat MK, dipandang biasa saja. Dalihnya, asas demokrasi memang membolehkan perbedaan pandangan.
Apalagi, partai politik (parpol) anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM) – Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia – tampaknya juga tak keberatan.
Bahkan, Gibran dipandang Prabowo sebagai “titik temu” perbedaan kepentingan parpol anggota KIM.
Pun sejumlah kelompok sukarelawan pendukung Jokowi, seperti Projo (Pro-Jokowi) dan Samawi (Solidaritas Ulama Muda Jokowi), secara terang-terangan menyodorkan nama Gibran sebagai bakal cawapres Prabowo.
Di sejumlah daerah juga telah dipasang baliho bergambar wajah Prabowo bersama Gibran. Sungguh terkesan diorkestrasi, yang seolah-olah jalan Gibran sudah pasti terbuka melalui putusan MK. Dan, Gibran pun akan melaluinya.