JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyebut seharusnya Mahkamah Konstitusi (MK) menolak semua gugatan batas minimal usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Bivitri mengatakan, dari tujuh gugatan batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun, terdapat tiga pola perkara.
Pola itu adalah hanya menggugat batas usia, meminta disamakan dengan penyelenggara negara, dan disamakan dengan elected officials lainnya, termasuk di level daerah.
“Pola yang manapun, sebenarnya tengah meminta MK memutus suatu perkara yang sebenarnya bukan wilayah MK, alias wilayah pembentuk undang-undang (open legal policy),” kata Bivitri saat dihubungi Kompas.com, Senin (16/10/2023).
Baca juga: Soal “Dissenting Opinion” Putusan MK, Sekjen Gerindra: Itu Bagian Tak Terpisahkan dari Putusan
Menurut Bivitri, putusan MK terhadap tiga pola perkara itu inkonsisten. Seharusnya, jika mengikuti logika atau penalaran hukum yang wajar, begitu pola pertama ditolak maka dua pola perkara lainnya juga ditolak dengan alasan yang sama.
Bivitri mengatakan, pada pola kedua dan ketiga MK memang mendalilkan kemungkinan pengecualian untuk open legal policy, yakni ketidakadilan yang tidak bisa ditolerir atau tak tertahankan.
Namun, ia mengungkapkan, ketika dilihat lebih cermat maka pokok penalaran MK itu bukan ketidakadilan.
Menurut Bivitri, Mahkamah kemudian menggunakan pengecualian sebagai cara untuk membuka dan membangun argumen guna menjustifikasi atau membenarkan syarat substantif (pernah menjabat kepala daerah hasil Pemilu) untuk menggantikan syarat umur berupa angka.
“Kalau soalnya ketidakadilan, bukankah pola pertama juga seharusnya dikabulkan, karena ketidakadilan harusnya juga bisa didalilkan?” ujar Bivitri.
Baca juga: MK Dinilai Lampaui Kewenangan, Menyimpang dari Konstitusi sebab Ubah Syarat Capres-Cawapres
Lebih lanjut, Bivitri menyebut bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat serta tidak membutuhkan perubahan undang-undang.
Mahkamah bahkan menyatakan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 MK membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun menjadi capres atau cawapres selama berpengalaman menjadi kepala daerah hasil pemilu berlaku pada kontestasi 2024, bukan 2029.
Penyelenggara Pemilu saat ini tinggal menyesuaikan peraturan pendaftaran calon dalam bentuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Adapun tindakan yang saat ini bisa dilakukan oleh publik adalah mengajukan gugatan dengan batu uji dan argumen yang berbeda.
“Tetapi ini tentu saja tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat dalam konteks pendaftaran calon yang tinggal tiga hari lagi,” kata Bivitri.
Baca juga: Pernyataan Lengkap Jokowi Setelah Putusan MK soal Batas Usia Capres-Cawapres
Menurut Bivitri, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sangat mengecewakan dan membuktikan kecemasan publik atas dugaan politisasi MK.
Ia juga memandang putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu sangat jelas memuat benturan kepentingan.
Bivitri mengatakan, pihak yang diuntungkan secara langsung oleh putusan tersebut adalah putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka.
Gibran diketahui merupakan kemenakan Ketua MK Anwar Usman yang menikah dengan adik Jokowi, Idayati.
Selain itu, dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 pemohon yang berstatus mahasiswa mengaku mengidolakan Gibran.
“Benturan kepentingannya sangat terang,” ujar Bivitri.
Baca juga: Jalan Terbuka Usai Drama Putusan MK, Gibran Masih Butuh Restu Jokowi buat Maju Pilpres?
Sebelumnya, melalui putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, MK membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Gugatan itu terkait Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedianya berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”.
Setelah putusan ini, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.
"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, 'berusia paling rendah 40 tahun' bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah'," ujar hakim Anwar Usman.
Dengan demikian, Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi, “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Baca juga: Tanggapan Megawati Usai MK Putuskan soal Syarat Usia Capres-Cawapres
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.