JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai telah melampaui kewenangan karena putusannya soal syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, menilai, ketentuan usia capres-cawapres seharusnya menjadi kewenangan presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembuat undang-undang, bukan MK.
“Apa pun alasannya, MK telah melampaui batas kewenangannya,” kata Hendardi kepada Kompas.com, Selasa (17/10/2023).
“MK telah mengambil alih peran DPR dan presiden, dua institusi yang mempunyai kewenangan legislasi, karena dengan putusan menerima dan mengubah bunyi pasal tersebut, artinya MK menjalankan positive legislator,” tuturnya.
Baca juga: Gerindra Komunikasi dengan Gibran Setelah Putusan MK
Hendardi juga berpendapat, Mahkamah inkonsisten dalam menegakkan konstitusi RI.
Sebab, dalam putusan sebelumnya yakni perkara nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 terkait uji materi batas usia capres-cawapres, MK menolak karena beralasan hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy pembuat UU.
Namun, pandangan itu berubah dalam memutus perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, sehingga MK mengabulkan sebagian permohonan tersebut dan mengubah syarat usia capres-cawapres.
Menurut Hendardi, ini membuktikan bahwa MK sesuka hati menafsir ketentuan open legal policy, sesuai selera penguasa.
“MK yang mengklaim sebagai the sole interpreter of the constitution atau satu-satunya lembaga penafsir konstitusi, nyatanya telah memimpin penyimpangan kehidupan berkonstitusi dan mempromosikan keburukan atau kejahatan konstitusional atau constitutional evil,” ucap Hendardi.
“Dalam posisi ini, kelas kenegarawanan seperti apa yang hendak dibanggakan dari hakim-hakim MK?” lanjutnya.
Baca juga: Jalan Terbuka Usai Drama Putusan MK, Gibran Masih Butuh Restu Jokowi Buat Maju Pilpres?
Jika dengan putusan ini putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, melenggang ke panggung Pilpres 2024, lanjut Hendardi, putusan MK jelas ditujukan untuk mempermudah anak presiden melanjutkan kepemimpinan sang ayah dan meneguhkan dinasti politik Jokowi.
Di luar soal kontestasi pilpres, MK yang sebelumnya menjadi pembeda antara rezim Orde Baru dan rezim demokrasi konstitusional pasca Orde Baru, saat ini hampir tidak ada bedanya.
Sebab, putusan para hakim konstitusi memperlihatkan judisialisasi politik otoritarianisme.
“Jika dahulu otoritarianisme diperagakan secara langsung, maka saat ini otoritarianisme dipermak melalui badan peradilan menjadi seolah-seolah demokratis padahal yang dituju adalah kehendak berkuasa dengan segala cara,” tutur Hendardi.
Sebelumnya diberitakan, MK mengabulkan gugatan uji materi nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal capres dan cawapres dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.