Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rangkuman "Dissenting Opinion" Para Hakim MK di Putusan Usia Capres-Cawapres

Kompas.com - 17/10/2023, 09:46 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dan alasan berbeda (concurring opinion), terkait putusan yang mengabulkan sebagian gugatan mengenai batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.

Hal itu disampaikan dalam pembacaan amar putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10).

Ketua MK Anwar Usman mengabulkan permohonan pemohon bernama Almas Tsaqibbirru Re A untuk sebagian. Almas merupakan anak dari advokat sekaligus Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang putusan.

Menurut Anwar, permohonan yang diajukan Almas beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, MK menyatakan Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Baca juga: TPN Ganjar Nilai Putusan MK Tak Otomatis Berlaku, DPR dan Pemerintah Perlu Revisi UU Pemilu

Maka dari itu, kata Anwar, MK mengubah isi Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 menjadi, "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk kepala daerah."

Dalam putusan itu terdapat 4 hakim konstitusi yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.

Berikut ini rangkuman dissenting opinion dari keempat Hakim Konstitusi itu:

1. Wahiduddin Adams

Dalam amar putusan itu Wahiduddin menyampaikan sejumlah pendapat berbeda.

Menurut dia, pengaturan batasan usia untuk capres cawapres sangat lazim diakukan oleh pembentuk undang-undang. Penyebabnya, jabatan presiden dan wakil presiden secara esensial sangat berbeda dengan jabatan raja/ratu/sultan/kaisar dan lain sebagainya, yang umumnya diangkat pada berapapun usia mereka.

Wahiduddin juga mengatakan, jika MK mengabulkan permohonan ini, baik seluruhnya maupun sebagian, maka yang terjadi dalah Mahkamah melakukan praktik yang lazim dikenal sebagai legislating or governing from the bench tanpa didukung alasan-alasan konstitusional yang cukup.

Baca juga: Mahfud MD: Protes pada Putusan MK Tak Akan Mengubah Keadaan

"Menimbang bahwa berdasarkan beberapa uraian argumentasi tersebut di atas, saya berpendapat Mahkamah seharusnya menolak permohonan pemohon," kata Wahiduddin saat membacakan dissenting opinion.

 

2. Arief Hidayat

Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam dissenting opinion menyoroti pada kelima perkara a quo.

Menurut Arief, duduk perkara dan inti isu konstitusionalitas yang dibahas berawal dari perkara-perkara a quo, termasuk ketiga perkara a quo, yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, telah diperiksa dan diadili dalam sidang pleno secara bersamaan.

Sedangkan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023, merupakan perkara yang relatif baru, tetapi segera diputus.

"Dari kelima perkara a quo saya merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan pada kelima perkara a quo yang perlu saya sampaikan," kata Arief saat membacakan dissenting opinion.

Baca juga: Gerindra Komunikasi dengan Gibran Setelah Putusan MK

"Karena hal ini mengusik hati nurani saya sebagai seorang hakim yang harus menunjukkan sikap penuh integritas, independen dan imparsial, serta bebas dari intervensi politik mana pun dan hanya berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasar pada ideologi Pancasila," sambung Arief.

Arief juga mengutarakan sejumlah keganjilan dalam proses penanganan perkara.

Keganjilan itu adalah penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda, pembahasan dalam rapat permusyawaratan hakim, serta perkara nomor 900/PUU-XXI/2023 dan perkara nomor 91/PUU-XXI/2023 ditarik tetapi tetap dilanjutkan.

Dia mengatakan, lamanya penjadwalan sidang memang tidak melanggar hukum acara, baik yang diatur dalam UU tentang MK maupun Peraturan MK. Namun, penundaan berpotensi menunda keadilan.

"Dan pada akhirnya akan meniadakan keadilan itu sendiri (justice delayed, justice denied). Terlebih hal in merupakan suatu ketidaklaziman yang saya rasakan selama lebih kurang 10 tahun menjadi hakim konstitusi dalam menangani perkara di MK," ucap Arief.

Baca juga: MK Kabulkan Gugatan Mahasiswa soal Usia Capres-Cawapres, BEM SI: Masalahnya Bukan Siapa yang Menggugat

Arief lantas mengusulkan supaya MK menetapkan tenggang waktu yang wajar antara sidang perbaikan permohonan dengan pemeriksaan persidangan untuk mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah.

Dengan begitu, peristiwa seperti ini tidak akan terjadi lagi di kemudian hari.

"Perbaikan ini dilakukan dengan menyempurnakan hukum acara perkara pengujian undang-undang," tutur dia.

Arief juga berpendapat pemohon telah mempermainkan muruah lembaga peradilan dan tidak serius dalam mengajukan permohonan perkara nomor 90 dan 91.

Dia mengatakan, seharusnya MK mengeluarkan ketetapan yang mengabulkan penarikan permohonan a quo dengan alasan pemohon tidak besungguh-sungguh dan profesional dalam mengajukan permohonan.

Baca juga: Tanggapan Megawati Usai MK Putuskan soal Syarat Usia Capres-Cawapres

"Sebagai konsekuensi hukum dari penarikan perkara, maka pemohon tidak dapat melakukan pembatalan pencabutan perkara a quo dan perkara yang telah dicabut atau ditarik tidak dapat diajukan kembali," tutur Arief.

Keganjilan lainnya adalah turut sertanya Anwar Usman atas salah satu perkara yang berakhir dikabulkan MK.

Padahal dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada 19 September 2023, ketiga perkara yang akhirnya ditolak MK, Perkara Nomor 29PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, Anwar Usman tidak hadir.

Saat itu, RPH dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Arief menanyakan alasan Anwar Usman tidak hadir.

Saldi Isra lantas menyatakan, ketidakhadiran Anwar Usman bertujuan untuk menghindari potensi konflik kepentingan karena isu yang diputus berkaitan dengan syarat usia minimal capres dan cawapres, di mana keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, berpotensi diusulkan dalam Pilpres 2024.

Baca juga: PDI-P Tanggapi Putusan MK soal Usia Capres-Cawapres: Harusnya Jadi Benteng Demokrasi

Anwar merupakan suami dari Idayati, adik kandung Presiden Joko Widodo, ayah Gibran.

Akhirnya, tiga perkara tersebut diputuskan untuk ditolak. Namun saat memutus dua perkara lain yang salah satunya berujung diputus inkonstitusional bersyarat, Anwar hadir.

"Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar 'dikabulkan sebagian.' Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima dengan penalaran yang wajar," ucap Arief.

3. Saldi Isra

Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam dissenting opinion menyatakan menolak permohonan a quo atas perkara 90/PUU-XXI/2023. Menurut dia sikapnya sama sebagaimana dalam putusan MK Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023.

Saldi lantas mengungkap terdapat belasan permohonan uji materi syarat usia capres-cawapres yang termaktub dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.

Dari belasan perkara itu, hanya perkara nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang diperiksa melalui sidang pleno untuk mendengarkan keterangan presiden, DPR, pihak terkait, dan ahli.

Baca juga: BEM SI Sebut MK Inkonsisten dan Politis karena Kabulkan Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres

Untuk memutus tiga perkara tersebut, MK lantas menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) pada 19 September 2023.

Pada saat itu terdapat 8 hakim konstitusi yang hadir dalam RPH yaitu Saldi, Arief, Manahan MP Sitompul, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P Foekh, dan M Guntur Hamzah.

Dalam RPH pada 19 September 2023, Ketua MK Anwar Usman justru tidak hadir.

Hasil RPH menyatakan bahwa enam hakim konstitusi, MK sepakat menolak permohonan pemohon.

Sebanyak 6 hakim juga tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka atau open legal policy pembentuk undang-undang.

Baca juga: Megawati Pilih Resmikan Kantor Partai hingga Jalan di Tengah Hiruk Pikuk MK Putuskan Gugatan Usia Capres-Cawapres

Sementara itu, dua hakim konstitusi lainnya memilih sikap berbeda atau dissenting opinion.

Mahkamah lantas menggelar RPH berikutnya untuk memutus perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dan nomor 91/PUU-XXI/2023 yang juga menyoal syarat usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.

RPH kedua itu dihadiri oleh sembilan hakim konstitusi, tak terkecuali Anwar Usman.

Dalam RPH kedua itu beberapa hakim yang semula memosisikan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka tiba-tiba menunjukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan pemohon dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

“Sebagian hakim konstitusi dalam putusan MK nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang berada pada posisi Pasal 169 huruf q sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kemudian pindah haluan dan mengambil posisi akhir dengan ‘mengabulkan sebagian’ perkara nomor 90/PUU-XXI/2023,” ujar Saldi.

Baca juga: KPU Sesuaikan Aturan Batas Minimal Usia Capres-Cawapres dengan Putusan MK

Dari lima hakim konstitusi yang setuju untuk “mengabulkan sebagian” gugatan nomor 90/PUU-XXI/2023, tiga hakim membuat syarat alternatif bahwa jika seseorang belum berusia 40 tahun, tetap bisa mencaonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden jika pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk kepala daerah.

Sementara, dua hakim konstitusi lain yang setuju untuk “mengabulkan sebagian” gugatan, membuat alternatif aturan bahwa jika seseorang belum berusia 40 tahun, tetap bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden jika pernah atau sedang menjabat sebagai gubernur.

Perubahan sikap sejawatnya itu membuat Saldi bertanya-tanya. Menurut dia, seandainya RPH yang digelar untuk memutus Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 dihadiri oleh sembilan hakim konstitusi, akankah norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 masih tetap didukung mayoritas hakim sebagai kebijakan hukum terbuka atau tidak.

Sebaliknya, jika RPH memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap sama dengan komposisi hakim dalam Putusan MK Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023, yaitu tetap delapan hakim tanpa dihadiri hakim Anwar Usman, apakah putusan akan tetap sama atau berbeda.

Baca juga: Rangkuman Sidang Putusan MK soal 7 Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres

“Dalam hal ini, secara faktual perubahan komposisi hakim yang memutus dari delapan orang dalam Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 menjadi sembilan orang dalam Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 tidak hanya sekadar membelokkan pertimbangan dan amar putusan, tetapi membalikkan 180 derajat amar putusan dari menolak menjadi mengabulkan, meski ditambah dengan embel-embel ‘sebagian’, sehingga menjadi ‘mengabulkan sebagian’,” tutur hakim Saldi.

Saldi juga berpendapat seharusnya MK pun menolak permohonan a quo.

"Bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini," kata Saldi.

Saldi mengatakan, sejak menjadi Hakim Konstitusi pada 11 April 2017, baru kali ini ia mengalami peristiwa yang dianggap “aneh” yang “luar biasa”.

Bahkan, Saldi berujar peristiwa itu dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar.

Baca juga: Jokowi Tolak Komentari Putusan MK tentang Usia Capres-Cawapres

"Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," ucap Saldi.

Saldi mengatakan, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUUXXI/2023, MK secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan syarat batas usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.

"Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?" ucap Saldi.

4. Suhartoyo

Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam dissenting opinion menyatakan tidak memberikan kedudukan hukum atau legal standing kepada para pemohon atas perkara nomor 29/PPU-XXI/2023 dan 51/PUU-XXI/2023.

Alasannya adalah para pemohon bukan subjek hukum yang berkepentingan langsung untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden.

Maka dari itu, pemohon tidak relevan memohon untuk memaknai norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 untuk kepentingan pihak lain, sebagaimana dalam petitum permohonannya.

Baca juga: Putusan MK Berubah dalam Sekejap, Politikus PDI-P: Hanya Ada dalam Ilmu Sulap dan Silat, Bukan Hukum

"Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, saya berpendapat terhadap permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi seharusnya juga tidak memberikan legal standing kepada pemohon dan oleh karenanya tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan pokok permohonan, sehingga dalam amar putusan a quo 'menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima'," kata Suhartoyo.

Alasan berbeda

Selain 4 hakim konstitusi yang menyampaikan pendapat berbeda dalam putusan itu, terdapat 2 orang hakim konstitusi menyampaikan alasan berbeda (concurring opinion). Mereka adalah Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh.

Berikut ini rangkuman alasan berbeda dari Enny dan Daniel yang dibacakan dalam sidang.

1. Enny Nurbaningsih

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan alasan berbeda terkait permohonan itu.

Menurut dia, dalil Pemohon telah secara spesifik menguraikan kaitan dengan berpengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

"Namun sesuai dengan tingkatan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan maka dalam konteks ini Gubernur sebagai kepala daerah otonom dan juga wakil pemerintah pusat yang relevan untuk mendekat pada level penyelenggara urusan pemerintahan yang lebih tinggi," kata ujar Enny Nurbaningsih.

Baca juga: Setelah Putusan MK, Peluang Gibran Gabung Parpol Koalisi Indonesia Maju Dinilai Terbuka

"Sehingga alasan saya tersebut tidak menegasikan pandangan saya sebagai bagian yang memutus perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Nomor 55/PUU-XXI/2023. Dengan demikian saya memiliki alasan berbeda dalam mengabulkan sebagian dari petitum Pemohon, yakni 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai gubernur yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang'," lanjut Enny.

2. Daniel Yusmic P. Foekh

Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyampaikan alasan berbeda dalam putusan itu.

Dia mengatakan usia pada jabatan publik merupakan kebutuhan objektif. Jadi menurut dia ada kemungkinan batas usia minimum bagi keikutsertaan warga negara dalam jabatan dapat diubah sewaktu-waktu oleh undang-undang.

"Berkenaan dengan batas usia kepala daerah tersebut, Mahkamah pada pokoknya telah menegaskan bahwa penentuan usia yang berbeda-beda merupakan kebutuhan objektif bagi jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah karena kebutuhan dan ukuran yang menjadi tuntutannya pun berbeda-beda," kata Daniel.

Baca juga: Jokowi Enggan Tanggapi Putusan MK soal Usia Minimal Cawapres: Nanti Seolah Mencampuri Yudikatif

"Sehingga mungkin saja batas usia minimum bagi keikutsertaan warga negara dalam jabatan atau kegiatan pemerintahan itu diubah sewaktu-waktu oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan," sambung Daniel.

(Penulis: Fika Nurul Ulya, Vitorio Mantalean, Editor: Dani Prabowo)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Prabowo Disebut Bisa Kena Getah jika Pansel Capim KPK Bentukan Jokowi Buruk

Prabowo Disebut Bisa Kena Getah jika Pansel Capim KPK Bentukan Jokowi Buruk

Nasional
Gerindra Dorong Penyederhanaan Demokrasi Indonesia: Rakyat Tak Harus Berhadapan dengan TPS

Gerindra Dorong Penyederhanaan Demokrasi Indonesia: Rakyat Tak Harus Berhadapan dengan TPS

Nasional
Sekjen Gerindra Sebut Revisi UU Kementerian Negara Dimungkinkan Tuntas Sebelum Pelantikan Prabowo

Sekjen Gerindra Sebut Revisi UU Kementerian Negara Dimungkinkan Tuntas Sebelum Pelantikan Prabowo

Nasional
Pimpinan Komisi X Bantah Pernyataan Stafsus Jokowi soal Banyak Keluarga dan Orang Dekat DPR Menerima KIP Kuliah

Pimpinan Komisi X Bantah Pernyataan Stafsus Jokowi soal Banyak Keluarga dan Orang Dekat DPR Menerima KIP Kuliah

Nasional
Gerindra Siapkan 4 Kader Maju Pilkada DKI, Ada Riza Patria, Budi Satrio, dan Sara

Gerindra Siapkan 4 Kader Maju Pilkada DKI, Ada Riza Patria, Budi Satrio, dan Sara

Nasional
Partai Negoro Resmi Diluncurkan, Diinisiasi Faizal Assegaf

Partai Negoro Resmi Diluncurkan, Diinisiasi Faizal Assegaf

Nasional
Tinjau TKP Kecelakaan Bus di Ciater Subang, Kakorlantas: Tak Ditemukan Jejak Rem

Tinjau TKP Kecelakaan Bus di Ciater Subang, Kakorlantas: Tak Ditemukan Jejak Rem

Nasional
Kunker ke Sultra, Presiden Jokowi Tiba di Pangkalan TNI AU Haluoleo

Kunker ke Sultra, Presiden Jokowi Tiba di Pangkalan TNI AU Haluoleo

Nasional
ICW Kritik Komposisi Pansel Capim KPK: Rentan Disusupi Konflik Kepentingan

ICW Kritik Komposisi Pansel Capim KPK: Rentan Disusupi Konflik Kepentingan

Nasional
Sekjen Gerindra Sebut Ada Nama Eksternal Dikaji untuk Bacagub DKI 2024

Sekjen Gerindra Sebut Ada Nama Eksternal Dikaji untuk Bacagub DKI 2024

Nasional
Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Sekjen Gerindra: Tak Ada Komunikasi yang Mandek

Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Sekjen Gerindra: Tak Ada Komunikasi yang Mandek

Nasional
KPK Diharapkan Tetap Ada meski Dilanda Isu Negatif

KPK Diharapkan Tetap Ada meski Dilanda Isu Negatif

Nasional
Tren Pemberantasan Korupsi Buruk, Jokowi Diwanti-wanti soal Komposisi Pansel Capim KPK

Tren Pemberantasan Korupsi Buruk, Jokowi Diwanti-wanti soal Komposisi Pansel Capim KPK

Nasional
Burhanuddin Muhtadi: KPK Ibarat Anak Tak Diharapkan, Maka Butuh Dukungan Publik

Burhanuddin Muhtadi: KPK Ibarat Anak Tak Diharapkan, Maka Butuh Dukungan Publik

Nasional
Gerindra Kaji Sejumlah Nama untuk Dijadikan Bacagub Sumut, Termasuk Bobby Nasution

Gerindra Kaji Sejumlah Nama untuk Dijadikan Bacagub Sumut, Termasuk Bobby Nasution

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com