Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

"Welcome to the Club", Gibran!

Kompas.com - 17/10/2023, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Input tak sesuai dengan output karena perekonomian nasional terjebak ke dalam oligarki ekonomi yang menyandera setiap upaya peningkatan efisiensi yang ingin dilakukan Presiden Jokowi.

Pemerintah akan berlindung di balik indikator-indikator makro. Selama indikator-indikator ekonomi makro ada dalam zona hijau, urusan beres. Tak peduli apakah para oligarki sebagai penikmat utamanya atau rakyat banyak.

Tidak peduli apakah input didatangkan dari impor yang dilakukan oleh para oligar pencari kuota impor, selama inflasi berada di bawah kendali moneter, maka urusan dianggap selesai dan baik-baik saja. Inilah bayangan ekonomi ke depan.

Dan secara politik, demokrasi justru menjadi arena adu kuat para oligar dalam menguasai Istana, termasuk dengan mengutak-atuk aturan konstitusional yang sudah baku menjadi aturan yang cenderung menguntungkan satu dua pihak saja.

Di ranah pencalonan presiden dan wakil presiden, misalnya, secara kepartaian, dibutuhkan minimal 20 persen penguasaan suara di parlemen.

Para aktivis demokrasi berteriak ke Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) menuntut diskriminasi struktural tersebut. Namun suara mereka dianggap radio rusak saja, tak lebih dari itu.

Namun saat isu umur calon presiden dan wakil presiden naik perkara di MK, hasilnya justru membuat banyak pihak terheran-heran.

Jika umur belum sampai 40 tahun, tapi pernah menjabat atau sedang menjabat sebagai pejabat terpilih, seperti kepala daerah, maka diperbolehkan menjadi calon wakil presiden.

Memang selama ini yang menjadi fokus publik atas MK adalah soal umur calon presiden, karena momennya berpapasan dengan wacana pemasangan Prabowo Subianto dengan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi.

Walhasil, MK akhirnya mengeluarkan putusan yang seolah memenuhi aspirasi publik soal isu umur, tapi memasukkan kepentingan jejaring kuasa dan oligar via pintu belakang dengan menunggangi isu lain yang jarang dibahas publik selama ini, yakni isu "pernah menjabat sebagai kepala daerah".

Dengan kata lain, MK seolah-olah menutup pintu depan untuk Gibran untuk maju sebagai bakal calon wakil presiden, tapi justru di sisi lain malah tidak membiarkan Gibran terkurung di dalam rumah dengan tetap membuka pintu belakang. Sangat terasa "tricky" dan "menyebalkan" tentunya.

Jadi hari ini, kita sudah mulai menyaksikan satu per satu institusi demokrasi kita "dikerjai" oleh segelintir elite untuk memuluskan berbagai ambisi ekonomi politik yang terbukti selama ini tidak banyak dirasakan olek rakyat banyak.

Hal ini semestinya menjadi alarm tanda bahaya bagi para pejuang demokrasi di negeri ini. Pasalnya, para kandidat tidak lagi fokus untuk menghadirkan sisi terbaik dirinya dan mengusung berbagai program yang bermanfaat buat rakyat di hadapan rakyat pemilih, tapi malah berani mengutak-atik konstitusi dan institusi demokrasi untuk memastikan kemenangan di satu sisi dan melanjutkan kekuasaan di sisi lain.

Sejak dua tahun lalu sebenarnya tanda-tanda bahaya tersebut telah muncul. Wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan wacana tiga periode adalah sinyal awal bahwa institusi demokrasi dan konstitusi kita kesannya sedang ‘digelitik’ dan bahkan ‘dikerjai’.

Jadi keputusan MK hari ini boleh jadi adalah subtitusi atas wacana tiga periode yang gagal diwujudkan oleh segelintir jejaring kuasa dan oligar.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com