Input tak sesuai dengan output karena perekonomian nasional terjebak ke dalam oligarki ekonomi yang menyandera setiap upaya peningkatan efisiensi yang ingin dilakukan Presiden Jokowi.
Pemerintah akan berlindung di balik indikator-indikator makro. Selama indikator-indikator ekonomi makro ada dalam zona hijau, urusan beres. Tak peduli apakah para oligarki sebagai penikmat utamanya atau rakyat banyak.
Tidak peduli apakah input didatangkan dari impor yang dilakukan oleh para oligar pencari kuota impor, selama inflasi berada di bawah kendali moneter, maka urusan dianggap selesai dan baik-baik saja. Inilah bayangan ekonomi ke depan.
Dan secara politik, demokrasi justru menjadi arena adu kuat para oligar dalam menguasai Istana, termasuk dengan mengutak-atuk aturan konstitusional yang sudah baku menjadi aturan yang cenderung menguntungkan satu dua pihak saja.
Di ranah pencalonan presiden dan wakil presiden, misalnya, secara kepartaian, dibutuhkan minimal 20 persen penguasaan suara di parlemen.
Para aktivis demokrasi berteriak ke Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) menuntut diskriminasi struktural tersebut. Namun suara mereka dianggap radio rusak saja, tak lebih dari itu.
Namun saat isu umur calon presiden dan wakil presiden naik perkara di MK, hasilnya justru membuat banyak pihak terheran-heran.
Jika umur belum sampai 40 tahun, tapi pernah menjabat atau sedang menjabat sebagai pejabat terpilih, seperti kepala daerah, maka diperbolehkan menjadi calon wakil presiden.
Memang selama ini yang menjadi fokus publik atas MK adalah soal umur calon presiden, karena momennya berpapasan dengan wacana pemasangan Prabowo Subianto dengan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi.
Walhasil, MK akhirnya mengeluarkan putusan yang seolah memenuhi aspirasi publik soal isu umur, tapi memasukkan kepentingan jejaring kuasa dan oligar via pintu belakang dengan menunggangi isu lain yang jarang dibahas publik selama ini, yakni isu "pernah menjabat sebagai kepala daerah".
Dengan kata lain, MK seolah-olah menutup pintu depan untuk Gibran untuk maju sebagai bakal calon wakil presiden, tapi justru di sisi lain malah tidak membiarkan Gibran terkurung di dalam rumah dengan tetap membuka pintu belakang. Sangat terasa "tricky" dan "menyebalkan" tentunya.
Jadi hari ini, kita sudah mulai menyaksikan satu per satu institusi demokrasi kita "dikerjai" oleh segelintir elite untuk memuluskan berbagai ambisi ekonomi politik yang terbukti selama ini tidak banyak dirasakan olek rakyat banyak.
Hal ini semestinya menjadi alarm tanda bahaya bagi para pejuang demokrasi di negeri ini. Pasalnya, para kandidat tidak lagi fokus untuk menghadirkan sisi terbaik dirinya dan mengusung berbagai program yang bermanfaat buat rakyat di hadapan rakyat pemilih, tapi malah berani mengutak-atik konstitusi dan institusi demokrasi untuk memastikan kemenangan di satu sisi dan melanjutkan kekuasaan di sisi lain.
Sejak dua tahun lalu sebenarnya tanda-tanda bahaya tersebut telah muncul. Wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan wacana tiga periode adalah sinyal awal bahwa institusi demokrasi dan konstitusi kita kesannya sedang ‘digelitik’ dan bahkan ‘dikerjai’.
Jadi keputusan MK hari ini boleh jadi adalah subtitusi atas wacana tiga periode yang gagal diwujudkan oleh segelintir jejaring kuasa dan oligar.