Transisi pertama adalah transisi yang lazim dikenal publik, yakni dari sistem politik diktator ke sistem politik yang lebih demokratis, seiring dengan liberalisasi ekonomi di sisi lainnya.
Selama ini, hanya transisi ini yang akrab digaungkan di ruang publik. Transisi ini digaungkan oleh kalangan mahasiswa dan aktivis, disampaikan oleh pengamat di depan kamera televisi, dibangga-banggakan oleh poltisi, dan diceramahkan oleh akademisi dan birokrat.
Sementara transisi lainnya, jarang disebut-sebut, transisi yang diteorikan oleh Jeffrey A. Winters di dalam bukunya, yaitu transisi dari satu model oligarki ke model oligarki lainnya.
"Sultanic oligarch" yang telah berhasil dijinakkan oleh Soeharto di eranya beralih ke "ruling oligarch" yang tidak lagi terkontrol oleh pemerintahan baru yang terbentuk pasca-Orde Baru.
Walhasil, kata Winters, Indonesia sebenarnya tidak bertransisi dari Otoritarianisme ala Soeharto ke demokrasi sebagaimana dipahami oleh negara-negara liberal Barat, tapi justru dari otoritarianisme bertransisi ke "criminal democracy" di mana para oligar menyebar dan bergerilya di dalam sistem politik, membeli pengaruh di dalam partai-partai politik, bahkan terlibat langsung di dalam pembentukan dan operasionalisasi partai-partai politik.
Pada mulanya, model criminal democracy ini berlangsung secara terselubung, mengekor di belakang proses demokrasi elektoral.
Para oligar ikut mendorong proses demokratisasi secara masif, berusaha menjauhkan kekuasaan dari peluang-peluang koruptif oleh satu tangan, lalu memungutnya pelan-pelan, memindahkannya ke dalam grup-grup bisnis, yang akan menambah daya tekan para oligar terhadap kekuasaan.
Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), para oligar berkeliaran di dalam sistem politik, membuat kepemimpinan nasional kala itu dianggap sebagai kepemimpinan paling plin-plan sepanjang sejarah, kepemimpinan yang lama dalam berkeputusan, karena harus mempertimbangkan berbagai kepentingan oligar yang wara-wiri di dalam sistem ekonomi politik nasional.
Di saat Indonesia bergeser ke era Jokowi, para oligar semakin leluasa. Mereka tidak saja berkuasa di ranah politik, tapi sudah masuk ke dalam sistem pemerintahan, menduduki pos-pos kementerian yang strategis secara ekonomi dan politik, alias langsung memberi tekanan dan pengaruh kepada penguasa baru di ruang rapat yang sama, di mana penguasa barunya dipoles seolah-olah sangat populis dan merakyat, tapi sesungguhnya sangat bergantung kepada para oligar dalam setiap keputusan yang diambil.
Dengan komposisi ekonomi politik pemerintahan yang demikian, Jokowi terperangkap di dalam sangkar oligarki, yang boleh jadi tak disangka oleh Jokowi sendiri.
Walhasil, dengan tensi oligarki yang sangat tinggi, perekonomian nasional sulit mencapai tingkat efisiensi yang tinggi layaknya negara-negara di kawasan Asia Timur yang sudah terlanjur melambung sejak era Orde Baru.
Pemerintah akan terus diarahkan untuk menambah utang bejibun, jauh melebihi raihan pemerintahan terdahulu, menginjeksikannya sebagai input ke dalam sistem perekonomian nasional, tapi gagal menghasilkan input sepadan.
Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati jejaring elite-elite yang berpadupadan dengan kekuasaan.
Pertumbuhan ekonomi berpotensi untuk terus stagnan, sama seperti sembilan tahun belakangan, penyerapan tenaga kerja stagnan (untung ada ojek online dan ecommerce), pengentasan kemiskinan sangat lemah, dan ketimpangan tidak berubah.
Input tak sesuai dengan output karena perekonomian nasional terjebak ke dalam oligarki ekonomi yang menyandera setiap upaya peningkatan efisiensi yang ingin dilakukan Presiden Jokowi.
Pemerintah akan berlindung di balik indikator-indikator makro. Selama indikator-indikator ekonomi makro ada dalam zona hijau, urusan beres. Tak peduli apakah para oligarki sebagai penikmat utamanya atau rakyat banyak.
Tidak peduli apakah input didatangkan dari impor yang dilakukan oleh para oligar pencari kuota impor, selama inflasi berada di bawah kendali moneter, maka urusan dianggap selesai dan baik-baik saja. Inilah bayangan ekonomi ke depan.
Dan secara politik, demokrasi justru menjadi arena adu kuat para oligar dalam menguasai Istana, termasuk dengan mengutak-atuk aturan konstitusional yang sudah baku menjadi aturan yang cenderung menguntungkan satu dua pihak saja.
Di ranah pencalonan presiden dan wakil presiden, misalnya, secara kepartaian, dibutuhkan minimal 20 persen penguasaan suara di parlemen.
Para aktivis demokrasi berteriak ke Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) menuntut diskriminasi struktural tersebut. Namun suara mereka dianggap radio rusak saja, tak lebih dari itu.
Namun saat isu umur calon presiden dan wakil presiden naik perkara di MK, hasilnya justru membuat banyak pihak terheran-heran.
Jika umur belum sampai 40 tahun, tapi pernah menjabat atau sedang menjabat sebagai pejabat terpilih, seperti kepala daerah, maka diperbolehkan menjadi calon wakil presiden.
Memang selama ini yang menjadi fokus publik atas MK adalah soal umur calon presiden, karena momennya berpapasan dengan wacana pemasangan Prabowo Subianto dengan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi.
Walhasil, MK akhirnya mengeluarkan putusan yang seolah memenuhi aspirasi publik soal isu umur, tapi memasukkan kepentingan jejaring kuasa dan oligar via pintu belakang dengan menunggangi isu lain yang jarang dibahas publik selama ini, yakni isu "pernah menjabat sebagai kepala daerah".
Dengan kata lain, MK seolah-olah menutup pintu depan untuk Gibran untuk maju sebagai bakal calon wakil presiden, tapi justru di sisi lain malah tidak membiarkan Gibran terkurung di dalam rumah dengan tetap membuka pintu belakang. Sangat terasa "tricky" dan "menyebalkan" tentunya.
Jadi hari ini, kita sudah mulai menyaksikan satu per satu institusi demokrasi kita "dikerjai" oleh segelintir elite untuk memuluskan berbagai ambisi ekonomi politik yang terbukti selama ini tidak banyak dirasakan olek rakyat banyak.
Hal ini semestinya menjadi alarm tanda bahaya bagi para pejuang demokrasi di negeri ini. Pasalnya, para kandidat tidak lagi fokus untuk menghadirkan sisi terbaik dirinya dan mengusung berbagai program yang bermanfaat buat rakyat di hadapan rakyat pemilih, tapi malah berani mengutak-atik konstitusi dan institusi demokrasi untuk memastikan kemenangan di satu sisi dan melanjutkan kekuasaan di sisi lain.
Sejak dua tahun lalu sebenarnya tanda-tanda bahaya tersebut telah muncul. Wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan wacana tiga periode adalah sinyal awal bahwa institusi demokrasi dan konstitusi kita kesannya sedang ‘digelitik’ dan bahkan ‘dikerjai’.
Jadi keputusan MK hari ini boleh jadi adalah subtitusi atas wacana tiga periode yang gagal diwujudkan oleh segelintir jejaring kuasa dan oligar.
Bukan tanpa preseden tentunya. Mantan Presiden Philipina melakukan hal yang sama, dengan mengajukan anaknya sebagai wakil presiden. Hebatnya Presiden Philipina Rodrigo Duterte adalah, beliau tak pernah mengaspirasikan wacana tiga periode.
Pun keputusan MK hari ini akhirnya memastikan bahwa Gibran Rakabuming Raka bisa memasuki Club (boleh dibaca oligarki) yang dibentuk oleh beberapa jejaring kuasa politik dan ekonomi, yang ingin memastikan bahwa hasil pemilihan nanti tidak akan menyakiti berbagai kepentingan mereka yang selama ini sudah cukup terpuaskan oleh kekuasaan hari ini.
Harus diakui bahwa perjalanan menuju keputusan MK hari ini cukup berliku. Pastinya sangat banyak biaya yang sudah dihabiskan, baik untuk alat peraga yang dengan sengaja "menyetir" persepsi publik soal pasangan Prabowo - Gibran, maupun untuk lobi sana-sini. Investasinya tentu tak sedikit.
Walaupun hasil yang didapat hari ini sebenarnya belum menjamin kemenangan, jika memang Prabowo Subianto dan Gibran akan disandingkan, karena bagaimanapun, hasil akhir tetap berada di tangan rakyat, bukanlah di tangan MK.
Tapi dari pengalaman beberapa tahun belakangan, sepak terjang jejaring kuasa dan oligarki ini selalu berhasil mendapatkan hasil akhir yang memuaskan.
Mengapa bisa begitu? Karena jejaring oligarki di sini berbeda dengan oligarki yang ada di negara Asia Timur umumnya.
Satu hal yang membedakan oligarki di Indonesia dengan di Korea Selatan (Chaebol) atau di Jepang (Keiretsu) atau di China dengan business group BUMN negeri tirai bambu, yang membuat Indonesia jauh tertinggal di belakang, yakni di negara-negara tersebut, pemerintahannya lebih kuat dibanding para oligar, sehingga pemerintah memiliki kuasa untuk menentukan arah politik dan ekonomi.
Sementara di Indonesia, para oligar lebih kuat dibanding pemerintah dan penguasa terpilih, apalagi jika keterpilihan para penguasa baru justru berkat campur tangan modal dari para oligar, sehingga situasinya terbalik dibanding tiga negara tersebut.
Di sini, bukan pemerintah yang menentukan kemana arah politik dan ekonomi nasional, tapi justru jejaring oligar yang mengamuflasekan kepentingannya menjadi kepentingan nasional.
Karena itu, jika kubu Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan tidak melakukan ‘perlawanan’ yang besar, terutama perlawanan berbasiskan suara rakyat, maka besar kemungkinan jejaring kuasa dan oligar ini akan kembali menorehkan hasil maksimal di pemilihan 2024 nanti.
Namun lepas dari itu, menanggapi putusan MK hari ini, saya ingin mengucapkan selamat kepada Gibran Rakabuming Raka atas kesempatan baru yang maha luas tersebut. Welcome to the Club, Mas Gibran!
Selain itu, izinkan saya sebagai rakyat dengan segala kerendahan hati juga ingin berbagi kutipan bernas kepada beliau dan bapak Presiden yang notabene orangtua beliau, sebuah nasihat sederhana yang saya kutip dari pernyataan John Adams, presiden kedua Amerika Serikat.
"When economic power became concentrated in a few hands, then political power flowed to those possessors and away from the citizens, ultimately resulting in an oligarchy or tyranny, kata John Adams. (Terjemahan bebas: ketika kekuatan ekonomi terkonsentrasi di tangan segelintir orang, maka kekuasaan politik mengalir ke tangan para penguasa dan menjauh dari rakyat, yang pada akhirnya menghasilkan oligarki atau tirani).
Semoga Bapak Presiden dan Sang Putra bisa menangkap maknanya.
https://nasional.kompas.com/read/2023/10/17/05450061/welcome-to-the-club-gibran