Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Gibran Kartu Sakti Prabowo

Kompas.com - 14/10/2023, 11:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SECARA elektoral, hari ini Gibran Rakabuming Raka memang sangat menggoda. Gibran ibarat gadis cantik nan menawan yang diidam-idamkan oleh Prabowo Subianto, tapi sekaligus dicemburui oleh PDIP.

Pasalnya, belakangan mulai jelas bahwa Gibran bukanlah kartu politik mainan Jokowi, tapi justru menjadi "proxy politik" yang menjembatani Prabowo untuk bisa menyeberang ke ceruk suara Jokowi, sekaligus secara otomatis akan berimbas mengambangkan posisi politik PDIP di hadapan para pemilih fanatis Jokowi.

Hal itu tak akan terjadi jika Prabowo, misalnya, menggandeng politisi muda lainnya, sebut saja misalnya Erick Tohir atau tokoh muda lainnya dari Partai Golkar, selain Airlangga Hartarto.

Jadi sudah jelas target politik Prabowo bukanlah untuk menggandeng anak muda semata, tapi lebih dari itu. Gibran adalah bagian krusial dari strategi politik Prabowo untuk menjadi penerus Jokowi pasca-2024.

Strategi ini adalah langkah lanjutan dari baliho dan billboard yang menampilkan kebersamaan Jokowi dan Prabowo yang belum lama ini sempat menghebohkan jagat politik nasional kita.

Dengan jurus "pepet Jokowi" di segala kesempatan, raihan elektabilitas Prabowo versi beberapa lembaga survei mainstream hanya berhasil beberapa kali berada di atas Ganjar Pranowo.

Bukan berarti tidak efektif. Taktik tersebut nyatanya cukup efektif. Hanya saja kekuatannya dalam menyerap ceruk suara Jokowi tidak terlalu masif.

Mengapa? Karena kebersamaan di berbagai kesempatan dan di dalam foto-foto billboard itu tak terlalu menggambarkan kepastian relasi politik yang permanen antara kedua pihak, yakni Jokowi dan Prabowo.

Alih-alih dianggap sebagai penerus, pada satu titik bisa saja publik mewajarinya atau memaknainya secara netral, mengingat Prabowo adalah anggota Kabinet di dalam pemerintahan Jokowi.

Dengan kata lain, semua orang bisa saja memajang foto kebersamaan dengan Jokowi di ruang publik, atau menyulapnya menjadi berbagai macam alat peraga di berbagai sisi ruang publik di antaranya di jalan raya, tanpa harus menghasilkan persepsi keterkaitan aksi tersebut dengan arah dukungan politik Jokowi di kemudian hari.

Artinya, taktik "pepet Jokowi" memang cukup membantu Prabowo dalam membangun "level playing field" dengan Ganjar Pranowo.

Elektabilitas Prabowo terbukti secara "rata-rata" setelah taktik tersebut diterapkan nyaris setara dengan Ganjar Pranowo. Bahkan sekali dua kali sempat berada di atas Ganjar Pranowo.

Masalahnya, tingkat representasi dukungan Jokowi kepada Prabowo via taktik tersebut tidak terlalu tinggi. Sehingga tidak melahirkan "leverage" politik yang besar kepada Prabowo yang sekaligus tidak memberikan jaminan kemenangan yang mutlak atas Ganjar Pranowo.

Sebagaimana pernah saya sampaikan pada beberapa tulisan terdahulu, dari beberapa survei setelah Prabowo menerapkan taktik pepet Jokowi, angka elektabilitas Prabowo hanya terkerek sekitar 3 persenan saja.

Nah, karena posisi elektabilitasnya sebelumnya selalu berada di bawah Ganjar Pranowo, maka dorongan sebesar itu hanya mampu membuat posisi Prabowo setara secara rata-rata dengan Ganjar Pranowo.

Artinya, jika tak ada dorongan tambahan yang bisa memastikan angka raihan elektabilitas Prabowo di atas Ganjar Pranowo, minimal di atas 6 persen, dua kali margin of error lembaga survei, maka secara matematika politik suara elektoral Prabowo masih diasumsikan akan mengalami kekalahan tipis oleh Ganjar Pranowo.

Dalam konteks inilah mengapa putra sulung Presiden Jokowi, Gibran mendadak menjadi "cantik dan molek" secara elektoral di satu sisi dan adiknya, Kaesang Pangarep juga ikut terbawa "menarik dan menawan" di sisi lain.

Jika keduanya bisa diambangkan dari PDIP, maka akan sangat menguntungkan secara elektoral untuk Prabowo.

Keputusan Kaesang yang menerima pinangan PSI, terlepas apakah para pihak di kubu Prabowo ikut bermain atau tidak, jelas-jelas menjadi berita membahagiakan bagi Partai Gerindra dan Prabowo.

Apalagi belum lama sebelum Kaesang bergabung, Prabowo terlebih dahulu menyambangi markas PSI.

Keputusan tersebut berpengaruh kepada persepsi publik, terutama persepsi tentang relasi keluarga Jokowi dengan PDIP. Yang jelas, pendukung Jokowi dari garis Kaesang akan serta merta ‘membuang muka’ dari PDIP untuk berpindah haluan ke PSI.

Tentu relasi tersebut baru satu proses awal. Karena proses persepsi selanjutnya akan mengarah kepada Prabowo.

Pasalnya, kunjungan Prabowo ke markas PSI sebelumnya telah berhasil membangun persepsi publik bahwa PSI pada pemilihan 2024 akan mendukung Prabowo Subianto.

Maka, persepsi lanjutan dari keterpilihan Kaesang sebagai Ketua Umum PSI akan mengarah kepada perpindahan sebagian ceruk suara Jokowi dari garis pendukung Kaesang kepada Prabowo melalui proxy politik bernama PSI.

Nah, jika kubu Prabowo juga ikut bermain dalam proses tersebut, maka secara umum bisa dimaknai langkah politik Prabowo dalam merebut ceruk suara Jokowi sejengkal demi sejengkal terbilang sukses dan "well done". Bahkan bisa dibilang sebagai drama politik yang brilian dan "well orchestrated".

Sayangnya, strategi tersebut lagi-lagi tidak akan menghasilkan "leverage" elektoral yang super besar kepada Prabowo.

Pasalnya, strategi tersebut lagi-lagi tidak secara langsung memberikan pesan kepada publik bahwa Jokowi akan mendukung Prabowo. Bahkan Kaesang kerap kali secara sengaja mengaburkannya dengan pernyataan-pernyataan diplomatis soal arah dukungan resmi PSI.

Tapi setidaknya, keputusan Kaesang menerima pinangan PSI bisa memisahkan sebagian penggemar keluarga Jokowi menjauh dari halaman PDIP di satu sisi dan menguncinya di satu titik "proxy" politik yang memang sudah saling beritikad baik untuk berkawan dengan Partai Gerindra di laga Pilpres 2024 nanti.

Dengan lain perkataan, kunjungan Prabowo ke markas PSI tempo hari berhasil membangun persepsi publik bahwa Partai Gerindra kini jauh lebih dekat dan mesra dengan PSI ketimbang hubungan PDIP dan PSI.

Walhasil, akan lebih mudah bagi kubu Prabowo untuk menarik PSI ke kapal koalisi pendukung Prabowo ketimbang PDIP yang belakangan justru lebih sering bersitegang dengan PSI.

Meski begitu, Prabowo masih belum bisa mengunci arah dukungan Jokowi di satu sisi dan juga belum bisa memastikan bahwa publik mengetahui bahwa Prabowo adalah calon penerus Jokowi yang diamini sendiri oleh Jokowi.

Mengapa? Karena, baik taktik pepet Jokowi maupun taktik dukungan Partai Gerindra atas perpindahan perahu politik Kaesang, keduanya sama-sama bersifat "tidak langsung" atas arah dukungan Jokowi kepada Prabowo.

Maka langkah terakhir yang dibutuhkan Prabowo adalah langkah kuncian yang bisa membuat Jokowi serta merta dianggap mendukung Prabowo Subianto, meskipun tak disampaikan secara literal oleh Jokowi sendiri.

Langkah tersebut adalah menggandeng Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden.

Jika langkah ini bisa diwujudkan oleh Prabowo, maka rasanya publik, terutama dari ceruk suara Jokowi, akan sulit untuk menolak anggapan bahwa Jokowi memang mendukung Prabowo.

Artinya, jika itu terjadi, akan sangat tidak mungkin publik menganggap Jokowi akan tetap mendukung PDIP dan Ganjar Pranowo, lalu menelantarkan anaknya yang mendampingi Prabowo. Sungguh sangat tidak mungkin itu terjadi.

Katakanlah, misalnya, adik atau saudara Jokowi memilih mendukung Prabowo. Itu belum memberikan kepastian kepada publik bahwa Jokowi juga akan mendukung Prabowo. Karena status anak dan saudara tidaklah sama.

Contoh lainnya dari masa lalu adalah salah satu adik Megawati Soekarnoputri, yaitu almh Rachmawati Soekarnoputri yang sedari dulu tetap memberikan dukungan kepada Prabowo alias tidak mendukung Megawati dan PDIP.

Keduanya berbeda pilihan politik dan mempertontonkan perbedaan tersebut di ruang publik, sekalipun keduanya bersaudara.

Namun akan sangat tidak mungkin bagi Megawati untuk mendukung Ganjar Pranowo jika ternyata nanti menjelang pemilihan, Prabowo justru berpasangan sama Puan Maharani atau Prananda.

Sudah hampir bisa dipastikan Megawati akan membatalkan pencalonan Ganjar, lalu beralih mendukung anaknya yang mendampingi kandidat lain.

Nah, itulah yang akan terjadi jika Prabowo berhasil menggandeng Gibran sebagai bakal calon wakil presiden, tentunya setelah urusan di Mahkamah Konstitusi (MK) selesai yang keputusan akhirnya berpihak kepada Gibran.

Bahkan saya cukup yakin, meskipun Jokowi memilih bersikap netral atas isu Gibran ini, namun Ibu Iriana nampaknya hampir pasti menyukai opsi Gibran menjadi bakal calon wakil presiden.

Ibu mana yang tak mau melihat karier anaknya naik, apalagi naik drastis. Semua ibu lumrah pasti akan mendukungnya.

Jadi pendeknya, Gibran adalah kartu terakhir Prabowo yang nampaknya akan cukup mematikan bagi PDIP.

Jika Gibran sampai berhasil menjadi bakal calon wakil presiden untuk Prabowo, maka hampir pasti mayoritas ceruk suara Jokowi akan tersedot oleh Prabowo. Artinya, Gibran adalah kartu sakti Prabowo.

Sementara itu, langkah terbaik untuk PDIP saat ini, sebelum hal itu terjadi, adalah berusaha dengan segala "resource" yang dimiliki untuk menjegal Gibran di MK. Di titik inilah pertarungannya saat ini.

Karena itu, PDIP harus habis-habisan melakukan segala upaya yang mungkin dan bisa dilakukan agar Gibran segera menjadi tidak konstitusional untuk ikut berlaga dan kartu sakti Prabowo gugur seketika.

Tapi jika itu gagal, strategi baru harus diramu ulang karena lawan PDIP tidak hanya Anies Baswedan dan Prabowo Subianto, tapi juga sang petahana Presiden Jokowi.

Kemenangan masih mungkin diraih oleh Ganjar Pranowo dan PDIP, selama strategi yang dipakai tepat dan mumpuni. Mari kita tunggu saja dinamika selanjutnya yang tentu menjadi obyek yang terus menarik diamati.

Kemudian di sisi Presiden Jokowi, tentu perkembangan seperti ini akan menjadi dilema politik tersendiri yang akan sulit dipecahkan.

Namun belajar dari pengalaman dan sejarah, sebut saja misalnya dari Soeharto di sini dan Hosni Mubarak di Mesir, mengecilkan skop kepentingan politik seorang pemimpin petahana hanya sebatas mengedepankan kepentingan keluarga biasanya akan berujung tidak baik.

Bisa merusak tatanan demokrasi negeri ini yang telah dibangun bersama selama 20 tahun terakhir di satu sisi dan bisa pula berujung tamatnya riwayat dinasti politik keluarga tersebut di sisi lain. Miris bukan?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Hari Ke-11 Penerbangan Haji Indonesia, 7.2481 Jemaah Tiba di Madinah, 8 Wafat

Hari Ke-11 Penerbangan Haji Indonesia, 7.2481 Jemaah Tiba di Madinah, 8 Wafat

Nasional
Ketua KPU Protes Aduan Asusila Jadi Konsumsi Publik, Ungkit Konsekuensi Hukum

Ketua KPU Protes Aduan Asusila Jadi Konsumsi Publik, Ungkit Konsekuensi Hukum

Nasional
Sindir Bobby, PDI-P: Ada yang Gabung Partai karena Idealisme, Ada karena Kepentingan Praktis Kekuasaan

Sindir Bobby, PDI-P: Ada yang Gabung Partai karena Idealisme, Ada karena Kepentingan Praktis Kekuasaan

Nasional
Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi, Kilas Balik 'Cicak Vs Buaya Jilid 2'

Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi, Kilas Balik "Cicak Vs Buaya Jilid 2"

Nasional
JK Singgung IKN, Proyek Tiba-tiba yang Tak Ada di Janji Kampanye Jokowi

JK Singgung IKN, Proyek Tiba-tiba yang Tak Ada di Janji Kampanye Jokowi

Nasional
Soal Peluang Ahok Maju Pilkada DKI atau Sumut, Sekjen PDI-P: Belum Dibahas, tetapi Kepemimpinannya Diakui

Soal Peluang Ahok Maju Pilkada DKI atau Sumut, Sekjen PDI-P: Belum Dibahas, tetapi Kepemimpinannya Diakui

Nasional
Dukung Jokowi Gabung Parpol, Projo: Terlalu Muda untuk Pensiun ...

Dukung Jokowi Gabung Parpol, Projo: Terlalu Muda untuk Pensiun ...

Nasional
PT Telkom Sebut Dugaan Korupsi yang Diusut KPK Berawal dari Audit Internal Perusahaan

PT Telkom Sebut Dugaan Korupsi yang Diusut KPK Berawal dari Audit Internal Perusahaan

Nasional
Solusi Wapres Atasi Kuliah Mahal: Ditanggung Pemerintah, Mahasiswa dan Kampus

Solusi Wapres Atasi Kuliah Mahal: Ditanggung Pemerintah, Mahasiswa dan Kampus

Nasional
Ketua KPU Bantah Dugaan Asusila dengan Anggota PPLN

Ketua KPU Bantah Dugaan Asusila dengan Anggota PPLN

Nasional
Soal Kemungkinan Usung Anies di Pilkada DKI, Sekjen PDI-P: DPP Dengarkan Harapan Rakyat

Soal Kemungkinan Usung Anies di Pilkada DKI, Sekjen PDI-P: DPP Dengarkan Harapan Rakyat

Nasional
DPR Pastikan Hasil Pertemuan Parlemen di WWF Ke-10 Akan Disampaikan ke IPU

DPR Pastikan Hasil Pertemuan Parlemen di WWF Ke-10 Akan Disampaikan ke IPU

Nasional
Komisi II Pertimbangkan Bentuk Panja untuk Evaluasi Gaya Hidup dan Dugaan Asusila di KPU

Komisi II Pertimbangkan Bentuk Panja untuk Evaluasi Gaya Hidup dan Dugaan Asusila di KPU

Nasional
Djoko Susilo PK Lagi, Ketua KPK Singgung Kepastian Hukum

Djoko Susilo PK Lagi, Ketua KPK Singgung Kepastian Hukum

Nasional
KPK Geledah Kantor PT Telkom dan 6 Rumah, Amankan Dokumen dan Alat Elektronik

KPK Geledah Kantor PT Telkom dan 6 Rumah, Amankan Dokumen dan Alat Elektronik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com