Seorang pejabat di negara seperti Jepang, misalnya, apabila mereka kedapatan naik helikopter milik swasta untuk keperluan jabatan kemudian dipersoalkan oleh publik, mungkin dia akan mundur.
Namun di Indonesia, seorang pejabat melakukan hal yang sama akan membela diri dan menunggu disidang etik. Sidang etik mengakui bahwa dia salah, tapi tidak akan diberhentikan, karena standar etik pejabat Indonesia sangat prosedural.
Akibatnya pejabat-pejabat nakal mulai mempelajari dan mengetahui sampai di mana batas pelanggaran etik itu. Sehingga mereka bisa mengukur pelanggaran apa yang perlu dihindari dan hukuman apa yang akan mereka terima.
Bahkan mekanismenya elitis, harus melanggar lebih dari dua kali baru diputus berhenti atau diberhentikan.
Sehingga tidak mengherankan pelanggaran etik semakin berkembang luas, sampai titik tertentu merupakan pelanggaran pidana.
Namun akibat ada mekanisme etik, seorang pejabat lepas dari pidana, dalam sidang etik pun dia hanya mendapatkan hukuman ringan. Inilah yang sedang terjadi.
Kalau Anda datang ke Gedung merah putih KPK untuk melaporkan pelanggaran etik, Anda akan menemukan mekanisme administrasi dan tata kerja kelembagaan dewan pengawas KPK yang kurang baik.
Jauh dari ekspestasi kita sebagai lembaga pengawas pada umunya yang memiliki mekanisme kerja terstruktur.
Jauh berbeda, misalnya, dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memiliki mekanisme pengaduan/laporan yang baik dan administrasi rapi.
Di DKPP setiap laporan yang masuk dapat diketahui perkembangannya oleh masyarakat, dan setiap pelapor dapat menanyakan perkembangan laporannya kepada pihak DKPP.
Berbeda dengan DKPP, Dewan Pengawas KPK hanya semacam perpanjangan tangan KPK. Sebab administrasi laporan diterima Pegawai KPK dan nasib laporan tidak dapat diketahui.
Ini semacam kerja kelembagaan feodal yang melembagakan sistem birokrasi yang berbelit-belit.
Padahal kelembagaan Dewas KPK sudah ditegaskan dalam UU KPK sebagai lembaga yang akan mengawasi insan KPK. Seharusnya bersifat mandiri dan profesional, baik secara administrasi, kepegawaian maupun dalam proses penanganan kasus pelanggaran etik insan KPK.
Dari bentuk pengadministrasian laporan dan tata kerja kelembagaan, dewas KPK semacam “LSM Etik” yang hanya menumpang kedudukan dan fungsi dari KPK.
Hal ini kalau tidak diperbaiki segera, maka keberadaan Dewas KPK hanya pemborosan anggaran dan tidak terlalu penting, apalagi melihat kinerja Dewas selama ini.