Contohnya saja, pelanggaran insan KPK sudah berulang kali terjadi, seperti Ketua KPK Firli Bahuri. Namun keputusan Dewas tidak lebih dari teguran ke teguran.
Seharunya pelanggaran etika itu harus dilihat dari kacamata yang lebih luas, seperti sisi filosofis, sosiologis dan yuridis berdasarkan nilai-nilai utama, yaitu nilai moral dan etika yang hidup dalam masyarakat beradab.
Dengan kata lain, kalau pelanggaran itu membuat lembaga dikritik, mereka yang melanggar dihujat, merusak nama baik lembaga dan menghacurkan kepercayaan publik kepada lembaga, maka mereka yang melanggar harus diberhentikan.
Persoalan etika bukan sekadar norma, tetapi moralitas dan integritas yang jauh lebih tinggi dari semuanya.
Rule of ethics berbeda dengan rule of law. Norma-norma hukum bukanlah segala-galanya, masih dibutuhkan norma etik.
Jika etik tegak dan berfungsi dengan baik, maka hukum juga tegak sebagaimana mestinya. Rule of ethics inilah yang ditegakkan oleh Dewas KPK, bukan rule of law.
Kalau hakim adalah wakil Tuhan di muka bumi, maka Pimpinan KPK harusnya wakil malaikat di muka bumi. Mereka mengembang tugas besar, yaitu menjaga uang negara dari para pejabat korup.
Kenapa memerlukan manusia setengah malaikat? Karena mengembang tugas yang memerlukan integritas, kejujuran, dan profesionalitas tinggi. Di tangan KPK kepentingan publik dijaga, uang negara dikontrol dari koruptor.
Kalau Pimpinan KPK hanya pejabat negara tanpa memiliki kualifikasi sebagai seorang negarawan, maka koruptor akan mudah untuk mengajaknya dalam kejahatan yang sama.
Atau bisa diintervensi oleh kepentingan tertentu. Karena itu pimpinan harus benar memiliki kualifikasi terbaik.
Apalagi KPK melakukan pemberantasan terhadap kejahatan yang terorganisasi seperti korupsi. Akan sulit untuk menghilangkan korupsi atau paling tidak menjaga uang negara dari koruptor kalau pejabat pemberantas korupsi tidak memiliki standar etika yang baik.
Sebab cara kerja kejahatan itu terstruktur dengan melibatkan pejabat dan pemegang kekuasaan; sistematis, dilakukan dengan cara-cara yang tersistem, dan masif, melibatkan banyak orang yang memiliki kekuasaan dan wibawa.
Jadi KPK semacam waskat zaman orde baru yang diplesetkan menjadi “pengawasan malaikat”. Sebagai pengawasan malaikat, KPK harus diisi oleh orang-orang yang setengah malaikat.
Dengan kata lain, KPK harus menjadi contoh tegaknya integritas, kejujuran dan etika. Pimpinan KPK wajib bersikap profesional, jujur, bertanggungjawab, memiliki integritas yang tinggi, tidak melanggar etika dan moral sebagai pejabat negara.
Kalau standar moral dan etika dilanggar, maka setiap yang melanggar harus diberi hukuman maksimal, tidak boleh dapat toleransi dengan bentuk pelanggaran ringan, pelanggaran sedang, atau pelanggaran berat.