Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Furqan Jurdi
Praktisi Hukum dan Penulis

Aktivis Muda Muhammadiyah

Dewan Pengawas dan Integritas Insan KPK

Kompas.com - 11/10/2023, 06:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA 2018, terjadi kegaduhan karena gaji seorang pejabat Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) dinilai tidak wajar. Waktu itu, Yudi Latif, seorang cendekiawan Islam berintegritas, menjabat sebagai Kepala BPIP.

Setelah kegaduhan dan protes publik yang cukup masif saat itu, Yudi Latif mundur sebagai Kepala BPIP. Mundurnya Yudi Latif membuat saya pribadi waktu itu menyebutnya sebagai teladan etika bagi seorang pejabat.

Yudi Latif mungkin tidak mengusulkan gaji besar itu, karena BPIP bukan Lembaga yang berwenang menentukan anggaran. Namun etika dan integritasnya sebagai seorang pejabat, dia mengundurkan diri.

Pejabat yang bertanggungjawab dan mempunyai sensitifitas atas aspirasi publik semacam itu mungkin sudah tidak ada lagi di zaman ini.

Peristiwa itu bisa dikatakan langka yang dilakukan oleh pejabat Indonesia. Yudi memberikan contoh bagaimana seorang pejabat ketika diprotes oleh rakyat, walaupun itu bukan kesalahan dirinya, tetapi menyangkut lembaga yang dipimpinnya, dia kemudian mengundurkan diri.

Inilah standar etik bagi seorang pejabat publik yang melaksanakan mandat rakyat, baik langsung maupun tidak langsung.

Lebih khusus lagi kepada mereka yang memimpin lembaga negara, etika harus menjadi pegangan utama untuk menjalankan tugas dan kewajibannya.

Tidak perlu harus menunggu sidang etik dari dewan pengawas, mahkamah etik, atau apapun namanya. Kalau merasa kepercayaan publik sudah semakin merosot, maka secara etik seorang pejabat harus sadar diri.

Untuk membuktikan kepercayaan publik tidak perlu menunggu hasil survei.

Kearifan yang dicontoh Yudi Latif telah hilang hampir di seluruh pejabat di lembaga negara, tidak terkecuali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akibat hilangnya kearifan itu, saban hari KPK dirundung masalah etik.

Berkali-kali pimpinan KPK melakukan pelanggaran cukup serius. Bahkan di tubuh KPK ada pungutan liar, ada dugaan pemerasan, ada gratifikasi dan berbagai bentuk kejahatan korupsi lainnya.

Pelanggaran dan kejahatan di tubuh KPK terjadi bersamaan setelah dilembagakannya dewan pengawas KPK. Ini menjadi anomali yang cukup serius.

Ketika semua lembaga negara membentuk dewan etik, dewan kehormatan, atau dewan pengawas secara internal maupun eksternal, pelanggaran etik justru terjadi kian parah.

Standar etika diukur dengan norma, seakan-akan pelanggaran itu adalah legal dan wajar dalam tiap pejabat yang memimpin lembaga negara. Legalitas pelanggaran etik ini menjadikan etika hanya sebatas norma, padahal etika tidak sama dengan norma.

Etika memiliki standar tinggi, dia menuntut dari pejabatnya kearifan dan kebijaksanaan, bukan sekadar legalitas. Etika tidak bisa dijangkau oleh standar etik menurut UU atau kode etik kelembagaan, karena menyangkut nilai dan moralitas.

Seorang pejabat di negara seperti Jepang, misalnya, apabila mereka kedapatan naik helikopter milik swasta untuk keperluan jabatan kemudian dipersoalkan oleh publik, mungkin dia akan mundur.

Namun di Indonesia, seorang pejabat melakukan hal yang sama akan membela diri dan menunggu disidang etik. Sidang etik mengakui bahwa dia salah, tapi tidak akan diberhentikan, karena standar etik pejabat Indonesia sangat prosedural.

Akibatnya pejabat-pejabat nakal mulai mempelajari dan mengetahui sampai di mana batas pelanggaran etik itu. Sehingga mereka bisa mengukur pelanggaran apa yang perlu dihindari dan hukuman apa yang akan mereka terima.

Bahkan mekanismenya elitis, harus melanggar lebih dari dua kali baru diputus berhenti atau diberhentikan.

Sehingga tidak mengherankan pelanggaran etik semakin berkembang luas, sampai titik tertentu merupakan pelanggaran pidana.

Namun akibat ada mekanisme etik, seorang pejabat lepas dari pidana, dalam sidang etik pun dia hanya mendapatkan hukuman ringan. Inilah yang sedang terjadi.

Perbaikan Dewan Pengawas

Kalau Anda datang ke Gedung merah putih KPK untuk melaporkan pelanggaran etik, Anda akan menemukan mekanisme administrasi dan tata kerja kelembagaan dewan pengawas KPK yang kurang baik.

Jauh dari ekspestasi kita sebagai lembaga pengawas pada umunya yang memiliki mekanisme kerja terstruktur.

Jauh berbeda, misalnya, dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memiliki mekanisme pengaduan/laporan yang baik dan administrasi rapi.

Di DKPP setiap laporan yang masuk dapat diketahui perkembangannya oleh masyarakat, dan setiap pelapor dapat menanyakan perkembangan laporannya kepada pihak DKPP.

Berbeda dengan DKPP, Dewan Pengawas KPK hanya semacam perpanjangan tangan KPK. Sebab administrasi laporan diterima Pegawai KPK dan nasib laporan tidak dapat diketahui.

Ini semacam kerja kelembagaan feodal yang melembagakan sistem birokrasi yang berbelit-belit.

Padahal kelembagaan Dewas KPK sudah ditegaskan dalam UU KPK sebagai lembaga yang akan mengawasi insan KPK. Seharusnya bersifat mandiri dan profesional, baik secara administrasi, kepegawaian maupun dalam proses penanganan kasus pelanggaran etik insan KPK.

Dari bentuk pengadministrasian laporan dan tata kerja kelembagaan, dewas KPK semacam “LSM Etik” yang hanya menumpang kedudukan dan fungsi dari KPK.

Hal ini kalau tidak diperbaiki segera, maka keberadaan Dewas KPK hanya pemborosan anggaran dan tidak terlalu penting, apalagi melihat kinerja Dewas selama ini.

Contohnya saja, pelanggaran insan KPK sudah berulang kali terjadi, seperti Ketua KPK Firli Bahuri. Namun keputusan Dewas tidak lebih dari teguran ke teguran.

Seharunya pelanggaran etika itu harus dilihat dari kacamata yang lebih luas, seperti sisi filosofis, sosiologis dan yuridis berdasarkan nilai-nilai utama, yaitu nilai moral dan etika yang hidup dalam masyarakat beradab.

Dengan kata lain, kalau pelanggaran itu membuat lembaga dikritik, mereka yang melanggar dihujat, merusak nama baik lembaga dan menghacurkan kepercayaan publik kepada lembaga, maka mereka yang melanggar harus diberhentikan.

Persoalan etika bukan sekadar norma, tetapi moralitas dan integritas yang jauh lebih tinggi dari semuanya.

Rule of ethics berbeda dengan rule of law. Norma-norma hukum bukanlah segala-galanya, masih dibutuhkan norma etik.

Jika etik tegak dan berfungsi dengan baik, maka hukum juga tegak sebagaimana mestinya. Rule of ethics inilah yang ditegakkan oleh Dewas KPK, bukan rule of law.

Insan KPK “setengah malaikat”

Kalau hakim adalah wakil Tuhan di muka bumi, maka Pimpinan KPK harusnya wakil malaikat di muka bumi. Mereka mengembang tugas besar, yaitu menjaga uang negara dari para pejabat korup.

Kenapa memerlukan manusia setengah malaikat? Karena mengembang tugas yang memerlukan integritas, kejujuran, dan profesionalitas tinggi. Di tangan KPK kepentingan publik dijaga, uang negara dikontrol dari koruptor.

Kalau Pimpinan KPK hanya pejabat negara tanpa memiliki kualifikasi sebagai seorang negarawan, maka koruptor akan mudah untuk mengajaknya dalam kejahatan yang sama.

Atau bisa diintervensi oleh kepentingan tertentu. Karena itu pimpinan harus benar memiliki kualifikasi terbaik.

Apalagi KPK melakukan pemberantasan terhadap kejahatan yang terorganisasi seperti korupsi. Akan sulit untuk menghilangkan korupsi atau paling tidak menjaga uang negara dari koruptor kalau pejabat pemberantas korupsi tidak memiliki standar etika yang baik.

Sebab cara kerja kejahatan itu terstruktur dengan melibatkan pejabat dan pemegang kekuasaan; sistematis, dilakukan dengan cara-cara yang tersistem, dan masif, melibatkan banyak orang yang memiliki kekuasaan dan wibawa.

Jadi KPK semacam waskat zaman orde baru yang diplesetkan menjadi “pengawasan malaikat”. Sebagai pengawasan malaikat, KPK harus diisi oleh orang-orang yang setengah malaikat.

Dengan kata lain, KPK harus menjadi contoh tegaknya integritas, kejujuran dan etika. Pimpinan KPK wajib bersikap profesional, jujur, bertanggungjawab, memiliki integritas yang tinggi, tidak melanggar etika dan moral sebagai pejabat negara.

Kalau standar moral dan etika dilanggar, maka setiap yang melanggar harus diberi hukuman maksimal, tidak boleh dapat toleransi dengan bentuk pelanggaran ringan, pelanggaran sedang, atau pelanggaran berat.

Apapun pelanggarannya tetap merupakan pelanggaran. Pelanggaran etika adalah bentuk pelanggaran yang harus mendapatkan hukuman maksimal, bukan hukuman pidana, maupun perdata, tetapi hukuman etik.

Melihat kondisi KPK sekarang ini dan kinerja dewan pengawas KPK yang ada sekarang, rasa-rasanya korupsi akan sulit untuk diberantas.

Pimpinan dan DPR sebagai lembaga pengawas harusnya memanggil pimpinan KPK maupun Dewas KPK untuk diminta pertanggungjawaban dalam pemberantasan korupsi.

Keadaannya semakin rumit, apalagi berulang kali pelanggaran etik terjadi, namun tidak ada ketegasan dari Dewas KPK sejauh ini.

Kita berharap semoga ada pejabat sekelas Yudi Latif yang berani bertanggungjawab dan memiliki integritas yang jujur di KPK.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gerindra Kaji Sejumlah Nama untuk Dijadikan Bacagub Sumut, Termasuk Bobby Nasution

Gerindra Kaji Sejumlah Nama untuk Dijadikan Bacagub Sumut, Termasuk Bobby Nasution

Nasional
Presiden Jokowi Bertolak ke Sultra, Resmikan Inpres Jalan Daerah dan Bendungan Ameroro

Presiden Jokowi Bertolak ke Sultra, Resmikan Inpres Jalan Daerah dan Bendungan Ameroro

Nasional
Jokowi Bersepeda di CFD Sudirman-Thamrin sambil Menyapa Warga Jakarta

Jokowi Bersepeda di CFD Sudirman-Thamrin sambil Menyapa Warga Jakarta

Nasional
KPK Kantongi Data Kerugian Ratusan Miliar dalam Kasus PT Taspen, tapi Masih Tunggu BPK dan BPKP

KPK Kantongi Data Kerugian Ratusan Miliar dalam Kasus PT Taspen, tapi Masih Tunggu BPK dan BPKP

Nasional
4 Kapal Perang Angkut Puluhan Rantis Lapis Baja demi Pengamanan WWF ke-10 di Bali

4 Kapal Perang Angkut Puluhan Rantis Lapis Baja demi Pengamanan WWF ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Pilih Rahmat Mirzani Djausal sebagai Bacagub Lampung

Prabowo Pilih Rahmat Mirzani Djausal sebagai Bacagub Lampung

Nasional
KPK Masih Telusuri Pemberi Suap Izin Tambang Gubernur Maluku Utara

KPK Masih Telusuri Pemberi Suap Izin Tambang Gubernur Maluku Utara

Nasional
Menhub Budi Karya Diminta Jangan Cuma Bicara soal Sekolah Kedinasan Tanggalkan Atribut Militer

Menhub Budi Karya Diminta Jangan Cuma Bicara soal Sekolah Kedinasan Tanggalkan Atribut Militer

Nasional
Potret 'Rumah Anyo' Tempat Singgah Para Anak Pejuang Kanker yang Miliki Fasilitas Bak Hotel

Potret 'Rumah Anyo' Tempat Singgah Para Anak Pejuang Kanker yang Miliki Fasilitas Bak Hotel

Nasional
Logo dan Moto Kunjungan Paus Fransiskus Dirilis, Ini Maknanya

Logo dan Moto Kunjungan Paus Fransiskus Dirilis, Ini Maknanya

Nasional
Viral Pengiriman Peti Jenazah Dipungut Bea Masuk, Ini Klarifikasi Bea Cukai

Viral Pengiriman Peti Jenazah Dipungut Bea Masuk, Ini Klarifikasi Bea Cukai

Nasional
Pemilihan Calon Pimpinan KPK yang Berintegritas Jadi Kesempatan Jokowi Tinggalkan Warisan Terakhir

Pemilihan Calon Pimpinan KPK yang Berintegritas Jadi Kesempatan Jokowi Tinggalkan Warisan Terakhir

Nasional
Saat 'Food Estate' Jegal Kementan Raih 'WTP', Uang Rp 5 Miliar Jadi Pelicin untuk Auditor BPK

Saat "Food Estate" Jegal Kementan Raih "WTP", Uang Rp 5 Miliar Jadi Pelicin untuk Auditor BPK

Nasional
Usai Prabowo Nyatakan Tak Mau Pemerintahannya Digangggu...

Usai Prabowo Nyatakan Tak Mau Pemerintahannya Digangggu...

Nasional
Kloter Pertama Jemaah Haji Berangkat, Menag: Luruskan Niat Jaga Kesehatan

Kloter Pertama Jemaah Haji Berangkat, Menag: Luruskan Niat Jaga Kesehatan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com