Diskusinya masih seputar hitungan elektoral. Baik Ganjar maupun Prabowo sama-sama mencari bakal cawapres yang dinilai bisa menutup kelemahan elektoral mereka di wilayah-wilayah tertentu.
Tiga topik utama pemberitaan nasional itu tak berhubungan satu sama lain. Kebetulan saja terjadi pada kurun waktu yang berurutan, waktu yang hampir sama.
Namun, saya melihat benang merah substansi untuk hajatan Pemilu 2024. Kasus Pulau Rempang dan dugaan korupsi pejabat negara kelas menteri merefleksikan noda hitam tata kelola pemerintahan.
Bukan hanya berurusan dengan kebijakan, tapi juga menyoal moralitas penyelenggara negara.
Kasus Rempang dan dugaan korupsi pejabat negara kelas menteri sungguh menusuk rasa keadilan dan kemanusiaan.
Rasa keadilan dan kemanusiaan yang merupakan hakikat kemerdekaan bangsa Indonesia, yang menjadi nilai dasar Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia, sungguh tercederai.
Pemimpin di negara Pancasila mestinya menggunakan Pancasila sebagai paradigma kepemimpinannya. Kebijakan apapun mestinya diarahkan untuk kemakmuran/kesejahteraan rakyat atas dasar keadilan sosial.
Kebijakan itu mestinya diimplementasikan secara demokratis, musyawarah, dengan pendekatan humanistik. Pendekatan yang “memanusiakan” manusia, yang jauh dari ingar-bingar kekerasan yang membenturkan aparatur keamanan negara dengan rakyat.
Namun, seiring perkembangan zaman yang terus bergerak mengikuti genderang neoliberalisme, pemimpin rupanya mati rasa kemanusiaan, cuek perihal moralitas, dan senang menari di atas ketidakadilan dan dehumanisasi.
Korupsi makin canggih. Yang dicuri dan diselewengkan bukan sekadar recehan, atau korupsi skala kecil-kecilan. Yang dikorupsi sudah skala “giga”.
Caranya pun makin canggih. Dilakukan dengan cara menyandera lembaga-lembaga negara (state-hijacked corruption). Baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dilakukan secara bersekongkol dengan partai politik, lembaga sosial-ekonomi, para pakar, juga media.
Korupsi jenis ini mengejawantah dalam bentuk pembelian dekrit politik, peraturan perundang-undangan, kebijakan-kebijakan, dan kontrak karya oleh kaum kapitalis (korporasi).
Bidangnya pun berkategori “basah” seperti pertambangan, pertanian, kehutanan, kelautan, perbankan, perdagangan dan bidang-bidang lain.
Singkat kata, negara diperalat demi pelipatgandaan kapital kaum kapitalis tanpa bisa disebut dan dibuktikan sebagai korupsi.
Pujangga besar sastra Jawa, Raden Ngabehi Ronggowarsito, telah meramalkannya di dalam Serat Kalatidha. Disebut “zaman edan”, kurun zaman tatkala manusia sibuk menumpuk kekayaan material, bahkan dengan menghalalkan segala cara.
Kekayaan material dipuja-puja mengalahkan keluhuran budi. Di “zaman edan”, bila tidak ikut gila (edan), seseorang tidak akan mendapatkan bagian.
Sementara itu, pemilu merupakan instrumen politik demokrasi, sistem rekrutmen kepemimpinan politik di dalam negara demokrasi. Indonesia memilih demokrasi agar kekuasaan dapat dipertanggungjawabkan dan bermanfaat buat rakyat.
Saat berpidato pada Sidang BPUPK (1 Juni 1945), sidang perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Bung Karno berpandangan bahwa demokrasi di negara yang akan dimerdekakan nanti bukan berdimensi politik saja seperti demokrasi Barat, melainkan juga berdimensi ekonomi.