Dalam UU Pemberantasan TP Terorisme dan turunanya, tidak ditemukan konsep pencegahan yang berbasis pada dimensi online. Padahal, radikalisasi terorisme tidak hanya dilakukan pada dimensi offline saja, tetapi juga pada dimensi online.
Untuk menghentikan penyebaran paham radikal terorisme, UU Pemberantasan TP Terorisme mengedepankan pendekatan kontraradikalisasi yang hanya berfokus pada orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme, dengan cara melawan narasi, propaganda dan ideologi terorisme.
Dalam konteks dimensi online, strategi tersebut mengabaikan faktor “sarana atau alat” yang digunakan untuk meradikalisasi, yaitu media online atau platform digital.
Padahal banyak bukti yang menunjukkan bahwa platform digital sering dieksploitasi oleh jaringan terorisme sebagai senjata untuk meradikalisasi, merekrut, mengumpulkan dana, mengintimidasi, melatih, menghasut dan menyebarkan materi propaganda (Rekomendasi Zurich-London, 2018).
Terkait hal itu, Damayanti (2019) pernah mengusulkan bahwa pemerintah perlu menggabungkan penanganan terorisme melalui sarana offline maupun online.
Rekomendasi itu menjadi logis dan beralasan ketika kita dihadapkan pada kenyataan di mana dimensi offline dan online memainkan peran penting dalam proses radikalisasi sehingga tidak boleh dianggap terpisah, melainkan saling melengkapi dan saling bergantung (Council of Europe Counter-Terrorism Committee, 2023).
Menggabungkan dimensi offline dan online dalam pencegahan terorisme tidak cukup hanya dengan menempatkan perusahaan media sosial untuk membantu menyampaikan pesan pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.
Hal ini telah ditetapkan sebagai salah satu aksi dalam Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan Dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan Yang Mengarah Pada Terorisme Tahun 2020-2024 (RAN PE).
Tidak cukup juga hanya dengan pemutusan akses atau penghapusan konten yang disertai dengan pendekatan kontra narasi, tapi lebih luas lagi dengan melibatkan platform digital yang memegang peranan penting sebagai pemilik dan pemegang akses langsung terhadap infrastruktur teknologi informasi.
Tanpa bantuan platform digital, rasanya pencegahan terorisme pada dimensi online akan sulit dilakukan secara maksimal.
Di Indonesia, tanggung jawab pencegahan penyebaran konten radikalisasi terorisme masih berpusat pada pemerintah.
Sementara berbagai negara telah mencoba mengalihkannya kepada platform digital dengan pertimbangan kecepatan merespons dampak konten berbahaya yang berlipat ganda dalam hitungan detik melalui internet.
Pertimbangan lainnya adalah desakan kepada platform online untuk meningkatkan jumlah dan kecepatan upaya untuk mencegah konten teroris didistribusikan, diunggah atau diunggah ulang, dan menyerukan kolaborasi berkelanjutan untuk mengatasi masalah ini (G20 Osaka Leaders' Statement, mofa.go.jp/, 2019).
Contohnya saja seperti di Jerman, Perancis, Singapura, Australia dan Uni Eropa, tanggung jawab sebaran konten ilegal termasuk terorisme sudah dialihkan kepada platform digital yang dilegitimasi dengan undang-undang.
Kebijakan ini diambil untuk mendorong tanggung jawab sosial platform digital untuk melindungi layanan dan pelanggannya dari konten terorisme.