Dari awalnya kantong pemilih yang tak berpenjaga, kini anggota keluarga Jokowi pun tak berpenjaga. Kaesang bisa memilih partai di luar partai yang telah membesarkan bapaknya.
Artinya apa? Artinya Jokowi semakin memperjelas bentuk keberpihakan ‘terselubungnya’ kepada Prabowo di satu sisi dan ingin memberikan tekanan kepada PDIP di sisi lain.
Jika PDIP tidak jua menerima tawaran politik untuk "memerger" Prabowo dengan Ganjar, maka Jokowi akan semakin terbuka untuk membiarkan kantong pemilih dan anggota keluarga tanpa penjaga.
Nah, jika asumsi di atas benar adanya, maka pertanyaannya, apakah pertarungan Jokowi dengan Megawati belum usai?
Jika menggunakan narasi di atas, nampaknya belum selesai. Karena dengan asumsi di atas, target Jokowi adalah memasangkan Prabowo dengan Ganjar dan memenangkan pemilihan dengan mudah. Kandidat Koalisi Perubahan Anies Baswedan tersepak dan Jokowi bisa pensiun dengan nyaman.
Namun bagi PDIP tentu tidak semudah itu kalkulasinya. Pertama, PDIP adalah partai dengan raihan suara terbesar secara nasional. Sehingga memosisiskan Ganjar Pranowo sebagai calon wakil presiden untuk Prabowo Subianto nampaknya bukanlah pilihan politik yang sesuai dengan kapasitas politik PDIP.
Kedua, nama Ganjar Pranowo sudah sedari awal identik dengan capres PDIP. Dukungan sudah mengalir dari banyak pihak. Dan tingkat elektabilitas pun juga sangat boleh diadu.
Maka opsi memigrasikan status Ganjar Pranowo menjadi calon wakil presiden akan menjadi opsi yang mengkhianati aspirasi publik di belakang pencalonan Ganjar.
Opsi tersebut sangat tidak etis secara politik, karena akan mengingkari aspirasi yang berkembang di kantong pemilih PDIP.
Ketiga, memaksakan pemasangan Prabowo dan Ganjar adalah sebentuk electoral engineering yang justru sangat membahayakan institusi dan tatanan demokrasi kita.
Merekayasa peserta kontestasi yang terdeviasi jauh dari aspirasi publik adalah kejahatan demokrasi yang harus kita tolak secara masif.
Jadi, dari kacamata etika politik, kacamata demokrasi, dan kacamata rasionalitas politik, wacana memasangkan Prabowo dan Ganjar sangat sulit diterima.
Dengan kata lain, dari sisi idealitas politik, bukan PDIP yang harus melakukan "adjustment" politik, tapi justru Jokowi yang harus mulai belajar menerima fakta politik yang ada bahwa kehadiran tiga pasangan capres – cawapres, dan pemilihan dua putaran adalah keniscayaan yang tidak perlu ditolak.
Pendek kata, nyatanya interpretasi atas bergabungnya Kaesang dengan PSI memang tidak tunggal.
Kaesang boleh saja sesumbar bahwa itu adalah pilihan politik pribadinya yang kebetulan berbeda dengan orangtuanya. Tapi jika dikaitkan dengan fakta makropolitik yang ada, akan banyak interpretasi lain yang muncul.
Karena fakta politik yang ada di mana keputusan Kaesang untuk bergabung dengan PSI hanya menjadi satu fakta politik kecil yang ikut meramaikan fakta-fakta lainnya, akan dipandang saling terkait satu sama lain, saling memengaruhi dan saling memberi stimulus dan respons politik, baik secara langsung maupun tak langsung.
Di satu sisi, PDIP tak perlu merasa terkhianati layaknya pertunjukan ‘kebaperan’ Partai Demokrat yang sering kita saksikan.
Namun di sisi lain, PDIP juga dituntut bersikap strategis, bukan untuk menanggapi Kaesang, tapi untuk menyelamatkan tatanan demokrasi nasional dari potensi-potensi ‘pembusukan’ institusional yang berbahaya bagi masa depan politik nasional.
Semoga publik semakin cerdas dan menyadari dinamika politik dan demokrasi di negeri ini!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.