Salin Artikel

Interpretasi Makropolitik Kaesang Sang Ketum Baru PSI

Dalam penjelasan Wakil Ketua Dewan Pembina DPP PSI, Grace Natalie, dikatakan bahwa "mawar" yang selama ini disebut-sebut adalah Kaesang Pangarep.

“Jadi hari ini adalah hari yang berbahagia, karena akhirnya, ‘mawar’ yang ditanya sama teman-teman media semua, hari ini sudah akan secara langsung memperkenalkan diri, dan nanti Mas Kaesang yang akan bercerita bagaimana sampai kepada keputusan hari ini,” jelas Grace dalam konferensi persnya di Solo.

Kaesang mengaku bahwa dirinya sudah lama menjalin komunikasi dengan teman-teman PSI. Komunikasi intens itu membuatnya memutuskan untuk serius berjuang bersama PSI.

Kaesang juga mengatakan dirinya memiliki kesamaan dan keinginan dengan PSI, yakni ingin agar anak-anak muda bisa lebih terlibat di sektor publik termasuk berpolitik praktis.

Tak lama berselang, Kaesang sekonyong-konyong terpilih sebagai Ketua Umum PSI, lompatan yang cukup luar biasa, tapi sangat "predictable", karena "baunya" ‘mencolok’ sudah jauh-jauh hari sebelumnya.

Sebelum bergabungnya Kaesang secara resmi ke PSI, memang beredar video yang menyebutkan kata Mawar sebagaimana disinggung Grace Natalia.

Mawar yang dinarasikan di dalam video diklaim oleh sejumlah komentator dan pengamat telah memusingkan sebagian pembesar-pembesar politik di PDIP.

Boleh jadi faktanya belum tentu demikian, tapi setidaknya seperti itu gambaran yang diceritakan di dalam video tersebut.

Dan tidak lupa, entah kebetulan atau tidak, pemilihan kata "mawar" tersebut secara historis dan politis cukup tendensius, setidaknya di mata saya sebagai pengamat.

Mengapa harus memilih kata "mawar", bukan nama bunga lainnya, sebut saja misalnya Melati, Anggrek, Kamboja, Kemuning, Matahari, bunga Pukul Empat, bunga Kaktus atau lainnya?

Nalar kritis saya ikut terusik dan serta merta secara spontan memikirkan "tim mawar" yang pernah dipimpin Prabowo, misalnya. Tapi ya sudahlah, mungkin hanya kebetulan.

Lantas bagaimana harus menerjemahkan peristiwa politik semacam ini dikaitkan dengan tatanan makropolitik nasional yang sedang berlangsung?

Pertama, keputusan Kaesang untuk bergabung dengan PSI semestinya tidak menjadi berita "duka" bagi PDIP di satu sisi dan tidak pula sebagai berita "besar" di sisi lain.

PDIP pernah dihadang berita tentang dukungan Effendi Simbolon (ES) dan Budiman Sudjatmiko (BS) kepada Prabowo Subianto. PDIP telah melaluinya dengan baik, tanpa banyak kendala dan persoalan.

Jelas-jelas Effendi Simbolon dan Budiman Sudjatmiko pernah merasakan jasa politik PDIP, terutama secara institusional, karena mengantarkan keduanya ke Senayan alias menjadi anggota DPR/MPR dalam jangka waktu tertentu.

Perkara setelah itu terdapat perbedaan politik dan lainnya, saya kira itu perkara biasa di dalam politik. Tak ada yang istimewa.

Lantas bagaimana dengan Kaesang Pangarep? Semestinya kualitas "tekanan" politiknya tak sebesar kasus ES dan BS, karena Kaesang terkait secara tidak langsung saja dengan PDIP.

Berbeda dengan Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Jokowi, atau Bobby Nasution, menantu Jokowi, misalnya, yang memang telah merasakan jasa politik PDIP yang mengantarkan keduanya ke bangku kepala daerah masing-masing sebagai Wali Kota Solo dan Wali Kota Medan.

Sementara Kaesang belum mendapatkan jasa politik tersebut dari PDIP. Keterkaitan Kaesang hanya secara tidak langsung, yakni karena beliau anak presiden yang didukung oleh PDIP sejak Jokowi menjabat Wali Kota di Solo.

Jadi secara kualitas tekanan, bergabungnya Kaesang dengan PSI diandaikan setara dengan bergabungnya Jan Ethes putra Gibran atau Al Nahyan anak Bobby Nasution ke partai lain, di mana keduanya memang sama-sama belum menikmati jasa politik langsung dari PDIP.

Dengan kata lain, di sini saya ingin mengatakan jika memang narasi di dalam video mawar tersebut sempat mengandung kebenaran pada awalnya, maka setelah menelaah dalam-dalam, PDIP sebaiknya mengubah sikap dalam mereaksi peristiwa kiprah politik Kaesang tersebut.

Tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. PDIP sudah ada sejak lama, pun jauh hari sebelum seorang Kaesang lahir. PDIP akan baik-baik saja, ke mana pun Kaesang melabuhkan pilihan politiknya.

Apalagi, sejak dulu Kaesang memang tidak identik dengan PDIP di satu sisi dan PDIP pun di sisi lain jauh lebih tidak identik dengan Kaesang, karena PDIP pasti jauh lebih besar dan luas ketimbang satu sosok manusia semata.

Bahkan saat namanya santer dikabarkan akan ikut kontestasi Wali Kota Depok, toh bukan PDIP yang menyuarakan, tapi memang PSI.

Mengapa? Karena PDIP adalah partai besar, maka standar untuk menjadi kepala daerah juga wajar jika sangat tinggi.

Kaesang baru memenuhi standar kepala daerah versi PSI, sehingga disodorkan oleh PSI untuk menjadi Wali Kota Depok.

Kenapa bukan PDIP? Bisa jadi karena belum memenuhi standar milik PDIP. Sesederhana itu saja.

Lantas jika kemudian Kaesang memilih bergabung dengan PSI, maka hal itu bukan hal yang aneh, justru sangat masuk akal.

Artinya apa? Artinya Kaesang memilih lahan politik dengan standar yang mampu ia penuhi. Bahkan saat Kaesang memilih memasuki PSI, Kaesang akan menjadi sesuatu (termasuk menjadi Ketua Umum), keistimewaan yang tak mungkin ia raih jika ia bergabung di PDIP, sekalipun ia adalah anak seorang presiden.

Jadi, karena hal itulah mengapa semestinya berita bergabungnya Kaesang ke PSI tidak menjadi berita "duka" dan berita "besar" bagi PDIP.

Dengan statusnya sebagai partai besar, PDIP harus "relax" dengan menganggap dan memperlakukan berita tersebut sebagaimana berita politik biasa lainnya.

Kedua, "timing" bergabungnya Kaesang dengan PSI sekaligus kemudian menjadi ketua umumnya bersamaan dengan berita soal wacana pemasangan Prabowo - Ganjar di satu sisi dan kembali mencuatnya wacana pilpres satu putaran di sisi lain.

Apakah langkah politik Kaesang bukan langkah personal, tapi langkah yang diorkestrasikan sebagai tekanan politik kepada PDIP untuk menerima wacana Prabowo - Ganjar, meskipun PDIP adalah partai terbesar berdasarkan raihan suara pemilu sebelumnya, yakni pemilu 2019?

Sejatinya tentu tidak ada yang benar-benar mengetahuinya, kecuali para pihak yang terlibat langsung.

Apakah kedua momen hanya kebetulan belaka atau "concerted" dari atas? Lagi-lagi tak ada yang mengetahui.

Namun jika dibaca dari gejala-gejala politik yang muncul, sinyalnya sangat bisa bermakna demikian bahwa langkah politik Kaesang boleh jadi terkait dengan wacana Prabowo - Ganjar dan Pilpres satu putaran itu.

Jika asumsi tersebut benar, maka akan terkait dengan satu hal lagi, yakni ijin Jokowi atas langkah politik Kaesang.

Asumsinya, tidak mungkin seorang Joko Widodo membiarkan anaknya melakukan lompatan politik yang cukup drastis, tanpa pertimbangan yang jelas dan matang alias hanya karena pertimbangan bahwa anaknya memiliki pilihan sendiri.

Artinya, langkah politik Kaesang juga menjadi indikator untuk memahami pilihan politik Jokowi. Sudah bukan rahasia lagi toh bahwa preferensi politik Jokowi masih ambigu, apakah mendukung capres dari PDIP atau mendukung Prabowo dari Partai Gerindra.

Hanya dalam ambiguitas tersebut, sebagaimana berkali-kali saya sampaikan, terkandung keberpihakan ‘terselubung’ kepada Prabowo karena Jokowi terkesan membiarkan kantong pemilihnya tak berpenjaga alias menjadi mengambang yang dengan mudah bisa dicaplok Prabowo.

Dengan tesis keberpihakan’ terselubung’ kepada Prabowo tersebut, maka otomatis langkah Kaesang akan semakin mematangkannya.

Dari awalnya kantong pemilih yang tak berpenjaga, kini anggota keluarga Jokowi pun tak berpenjaga. Kaesang bisa memilih partai di luar partai yang telah membesarkan bapaknya.

Artinya apa? Artinya Jokowi semakin memperjelas bentuk keberpihakan ‘terselubungnya’ kepada Prabowo di satu sisi dan ingin memberikan tekanan kepada PDIP di sisi lain.

Jika PDIP tidak jua menerima tawaran politik untuk "memerger" Prabowo dengan Ganjar, maka Jokowi akan semakin terbuka untuk membiarkan kantong pemilih dan anggota keluarga tanpa penjaga.

Nah, jika asumsi di atas benar adanya, maka pertanyaannya, apakah pertarungan Jokowi dengan Megawati belum usai?

Jika menggunakan narasi di atas, nampaknya belum selesai. Karena dengan asumsi di atas, target Jokowi adalah memasangkan Prabowo dengan Ganjar dan memenangkan pemilihan dengan mudah. Kandidat Koalisi Perubahan Anies Baswedan tersepak dan Jokowi bisa pensiun dengan nyaman.

Namun bagi PDIP tentu tidak semudah itu kalkulasinya. Pertama, PDIP adalah partai dengan raihan suara terbesar secara nasional. Sehingga memosisiskan Ganjar Pranowo sebagai calon wakil presiden untuk Prabowo Subianto nampaknya bukanlah pilihan politik yang sesuai dengan kapasitas politik PDIP.

Kedua, nama Ganjar Pranowo sudah sedari awal identik dengan capres PDIP. Dukungan sudah mengalir dari banyak pihak. Dan tingkat elektabilitas pun juga sangat boleh diadu.

Maka opsi memigrasikan status Ganjar Pranowo menjadi calon wakil presiden akan menjadi opsi yang mengkhianati aspirasi publik di belakang pencalonan Ganjar.

Opsi tersebut sangat tidak etis secara politik, karena akan mengingkari aspirasi yang berkembang di kantong pemilih PDIP.

Ketiga, memaksakan pemasangan Prabowo dan Ganjar adalah sebentuk electoral engineering yang justru sangat membahayakan institusi dan tatanan demokrasi kita.

Merekayasa peserta kontestasi yang terdeviasi jauh dari aspirasi publik adalah kejahatan demokrasi yang harus kita tolak secara masif.

Jadi, dari kacamata etika politik, kacamata demokrasi, dan kacamata rasionalitas politik, wacana memasangkan Prabowo dan Ganjar sangat sulit diterima.

Dengan kata lain, dari sisi idealitas politik, bukan PDIP yang harus melakukan "adjustment" politik, tapi justru Jokowi yang harus mulai belajar menerima fakta politik yang ada bahwa kehadiran tiga pasangan capres – cawapres, dan pemilihan dua putaran adalah keniscayaan yang tidak perlu ditolak.

Pendek kata, nyatanya interpretasi atas bergabungnya Kaesang dengan PSI memang tidak tunggal.

Kaesang boleh saja sesumbar bahwa itu adalah pilihan politik pribadinya yang kebetulan berbeda dengan orangtuanya. Tapi jika dikaitkan dengan fakta makropolitik yang ada, akan banyak interpretasi lain yang muncul.

Karena fakta politik yang ada di mana keputusan Kaesang untuk bergabung dengan PSI hanya menjadi satu fakta politik kecil yang ikut meramaikan fakta-fakta lainnya, akan dipandang saling terkait satu sama lain, saling memengaruhi dan saling memberi stimulus dan respons politik, baik secara langsung maupun tak langsung.

Di satu sisi, PDIP tak perlu merasa terkhianati layaknya pertunjukan ‘kebaperan’ Partai Demokrat yang sering kita saksikan.

Namun di sisi lain, PDIP juga dituntut bersikap strategis, bukan untuk menanggapi Kaesang, tapi untuk menyelamatkan tatanan demokrasi nasional dari potensi-potensi ‘pembusukan’ institusional yang berbahaya bagi masa depan politik nasional.

Semoga publik semakin cerdas dan menyadari dinamika politik dan demokrasi di negeri ini!

https://nasional.kompas.com/read/2023/09/27/10503011/interpretasi-makropolitik-kaesang-sang-ketum-baru-psi

Terkini Lainnya

GASPOL! Hari Ini: Eks Ajudan Prabowo Siap Tempur di Jawa Tengah

GASPOL! Hari Ini: Eks Ajudan Prabowo Siap Tempur di Jawa Tengah

Nasional
Mengintip Kecanggihan Kapal Perang Perancis FREMM Bretagne D655 yang Bersandar di Jakarta

Mengintip Kecanggihan Kapal Perang Perancis FREMM Bretagne D655 yang Bersandar di Jakarta

Nasional
Selain Rakernas, PDI-P Buka Kemungkinan Tetapkan Sikap Politik terhadap Pemerintah Saat Kongres Partai

Selain Rakernas, PDI-P Buka Kemungkinan Tetapkan Sikap Politik terhadap Pemerintah Saat Kongres Partai

Nasional
Korban Dugaan Asusila Sempat Konfrontasi Ketua KPU saat Sidang DKPP

Korban Dugaan Asusila Sempat Konfrontasi Ketua KPU saat Sidang DKPP

Nasional
Covid-19 di Singapura Naik, Imunitas Warga RI Diyakini Kuat

Covid-19 di Singapura Naik, Imunitas Warga RI Diyakini Kuat

Nasional
WWF 2024 Jadi Komitmen dan Aksi Nyata Pertamina Kelola Keberlangsungan Air

WWF 2024 Jadi Komitmen dan Aksi Nyata Pertamina Kelola Keberlangsungan Air

Nasional
Menhub Targetkan Bandara VVIP IKN Beroperasi 1 Agustus 2024

Menhub Targetkan Bandara VVIP IKN Beroperasi 1 Agustus 2024

Nasional
Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Sempat Ditangani Psikolog saat Sidang

Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Sempat Ditangani Psikolog saat Sidang

Nasional
Polri: Kepolisian Thailand Akan Proses TPPU Istri Fredy Pratama

Polri: Kepolisian Thailand Akan Proses TPPU Istri Fredy Pratama

Nasional
Polri dan Kepolisian Thailand Sepakat Buru Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri dan Kepolisian Thailand Sepakat Buru Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Lewat Ajudannya, SYL Minta Anak Buahnya di Kementan Sediakan Mobil Negara Dipakai Cucunya

Lewat Ajudannya, SYL Minta Anak Buahnya di Kementan Sediakan Mobil Negara Dipakai Cucunya

Nasional
KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

Nasional
Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Nasional
Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Nasional
DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke