Mengapa layak? Karena sudah memenuhi tata cara berpikir logis, yakni membicarakan yang ada. Sehingga dari sisi ontologis, syaratnya untuk diperdebatkan sudah terpenuhi karena faktanya memang benar-benar ada.
Dengan lain perkataan, kekerasan di Pulau Rempang dan kejanggalan sikap otoritas terkait di Pulau Rempang adalah fakta kejadian. Banyak buktinya sudah beredar di media mainstream maupun media sosial.
Jadi tidak ada yang berani mengatakan bahwa kejadian di Pulau Rempang adalah bentuk kearifan dan ketoleranan pemerintah terhadap rakyat Pulau Rempang. Mengapa?
Karena faktanya tidak begitu. Faktanya justru menunjukkan sebaliknya, di mana status desa-desa tua di sana diabaikan dan hak asasi masyarakat Pulau Rempang dicederai.
Kisruh di Pulau Rempang terjadi sejak 7 September 2023 lalu. Sudah menjelang dua minggu lebih. Para pihak yang semestinya bertanggung jawab justru hemat bicara, termasuk Presiden Jokowi, yang dikabarkan ikut langsung dalam penandatanganan perjanjian untuk proyek tersebut di China sebelumnya.
Begitu pula dengan harga beras yang meresahkan banyak pihak beberapa waktu belakangan. Faktanya harga beras memang terus naik secara signifikan.
Sebabnya pun jelas. Ada justifikasi teoritiknya secara ekonomi, mulai dari rendahnya pasokan akibat berlarut-larutnya El Nino sampai pada ancaman beberapa negara yang berniat melarang ekspor beras.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, harga beras hingga pekan kedua September 2023, masih melanjutkan tren kenaikan. Selain itu, jumlah wilayah Republik Indonesia yang mengalami kenaikan harga beras juga semakin meluas.
Dari data BPS terungkap, per 17 September 2023, harga beras di tingkat konsumen sudah melonjak 22,58 persen dibandingkan 2022 lalu, dan beras medium naik 23,56 persen. Inilah fakta tentang kenaikan harga beras yang tak perlu dirumorkan lagi.
Namun rumor yang akhirnya menyerempet seorang bakal calon presiden hadir begitu saja tanpa fakta keras, lalu ditanggapi ramai-ramai begitu saja oleh publik kita.
Seolah-olah urusan Pulau Rempang sudah "on the way to resolution" dan harga beras sudah stabil terjangkau, para elite pun ikut "menggosipkan rumor".
Mengapa ruang publik kita malah menanggapinya, meskipun fakta kerasnya tak juga hadir? Menggosipkan rumor bukanlah cara yang baik untuk mendidik pemilih menuju pesta demokrasi Pemilihan Umum 2024, apalagi rumor yang sengaja digunakan sebagai senjata politik taktis.
Perilaku penunggangan atas "era post truth" semacam ini haruslah segera diakhiri, digantikan dengan era "faktual" dan era "truth."
Apalagi mengada-ada atas sesuatu yang tidak ada untuk menutupi sesuatu yang nyata-nyata ada. Itu jelas lebih berbahaya lagi.
Bangsa ini mendesak perlu fokus menyelesaikan berbagai masalah. Namun harus diingat, masalah yang akan diselesaikan haruslah masalah yang benar-benar ada, bukannya justru masalah yang diada-adakan.
Lalu, jika muncul masalah yang diada-adakan, maka sebaiknya kita semua tidak lupa atau sengaja melupakan atau sengaja mengalihkan perhatian dari masalah yang sebenarnya telah ada dan memerlukan penyelesaian segera.
Karena bangsa dan negara Indonesia adalah bangsa dan negara nyata, di mana masalah-masalah yang terjadi di dalamnya juga nyata, sehingga solusi yang dibutuhkan adalah solusi yang juga nyata.
Jika memang rumor soal penamparan tersebut sepenting itu, maka pembuktian kebenarannya harus jauh lebih penting ketimbang sekadar memberikan komentar justifikatif atau sebaliknya. Sumbernya harus ditelusuri, agar ada fakta keras yang dihadirkan di ruang publik.
Jika tidak ditemukan fakta, maka harus ada pertanggungjawaban dari para pihak yang menyebarkannya di satu sisi dan dari para pihak yang "mem-framingnya" di sisi lain.