Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Merumorkan Rumor, Meminggirkan Masalah Penting

Kompas.com - 20/09/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI TENGAH simpang siur nasib masyarakat di Pulau Rempang, Batam, atau di saat "emak-emak" risau karena harga beras melambung tinggi, ada saja yang menghembuskan "rumor" politik terkait salah satu bakal calon presiden.

Seberapa pentingkah urusan rumor seorang bakal calon presiden yang dikabarkan menampar dan mencekik seorang wakil menteri di saat rapat terbatas di Istana belum lama ini dibanding masalah riil yang sedang dihadapi bangsa saat ini?

Kita semua tentu paham masalah Pulau Rempang penting. Begitu pula dengan masalah harga beras yang terus melambung sebagai salah satu komoditas pokok yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Keduanya sama-sama penting dan memerlukan solusi segera.

Saya tidak mengatakan bahwa masalah tingkah polah bakal calon presiden tak penting. Namun, jika tingkah polah mereka "di-framing" melalui rumor, dengan tujuan politis jangka pendek nan naif, maka secara tidak langsung si penyebar rumor justru telah menutup perhatian kita terhadap masalah sesungguhnya yang sedang melanda negeri ini.

Apalagi, rumor tersebut ternyata mengharuskan berbagai pihak untuk memberikan pernyataan sikap sebagai bentuk halus "pembelaan" dan "falsifikasi". Tidak terkecuali Presiden Jokowi.

Walhasil, rumor tersebut semakin menyita mata pena dan mata kamera dari dunia media yang membuat beberapa masalah penting yang sedang dihadapi negeri ini menjadi terpinggirkan di ruang publik.

Sisi negatifnya, rumor tentang penamparan dan pencekikan ini akan terus bergulir menjadi rumor karena statusnya sebagai rumor di satu sisi, lalu tetap menyita ruang publik kita di sisi lain, lagi-lagi karena statusnya sebagai rumor.

Para pihak, baik pendukung bakal calon presiden yang dipergunjingkan di dalam rumor ataupun lawan politiknya, akan membakar banyak energi untuk saling memanfaatkan situasi. Namun nahasnya, kedua pihak hanya akan fokus pada tujuan politiknya masing-masing.

Para pendukung sang bakal calon presiden akan menganulir rumor tersebut sembari mengumbar berbagai bahasa yang mengesankan bahwa "mereka" memang sudah terbiasa difitnah dan disudutkan.

Dengan kata lain, para pendukung akan membungkus rumor ini dengan strategi politik "terzalimi", dengan target teknis untuk mendapatkan simpati dan empati.

Rumor yang sudah menjadi "gelombang" tersebut akan ditunggangi sedemikian rupa untuk mencapai target tertentu pula.

Sementara bagi lawan politiknya, rumor akan dijadikan "alat politik" untuk menegasikan dan menyudutkan sang bakal calon presiden.

Apalagi, isi rumor cukup layak dikaitkan dengan sebagian karakter dan penampakan sang kandidat presiden di beberapa kesempatan masa lalu.

Dengan kata lain, isi rumor tersebut akan diupayakan untuk terlihat sinkron dengan video sang kandidat pada masa lalu yang terlihat memukul-mukul podium dengan emosional, misalnya.

Jadi akan ada upaya dari lawan politik sang kandidat untuk memola isi rumor agar tetap selaras dengan karakter emosional sang kandidat yang terdapat di video-video terdahulu itu.

Yang terjadi kemudian adalah rentetan bantahan dan kontrabantahan yang tidak berujung, tapi fakta yang sebenarnya justru tak pernah diungkap.

Batas antara fakta dan kebenaran akhirnya menjadi "blur", bahkan hilang. Para pihak sama-sama mengisi ruang publik dengan bantahan dan kontrabantahan atas "rumor".

Berbeda kasusnya, misalnya, jika rumor tersebut bisa menjelma menjadi fakta, baik dengan hadirnya bukti otentik seperti video atau pernyataan langsung dari "terduga" korban, maka secara langsung akan menjadi pembicaraan yang layak dibicarakan di ruang publik.

Mengapa layak? Karena sudah memenuhi tata cara berpikir logis, yakni membicarakan yang ada. Sehingga dari sisi ontologis, syaratnya untuk diperdebatkan sudah terpenuhi karena faktanya memang benar-benar ada.

Dengan lain perkataan, kekerasan di Pulau Rempang dan kejanggalan sikap otoritas terkait di Pulau Rempang adalah fakta kejadian. Banyak buktinya sudah beredar di media mainstream maupun media sosial.

Jadi tidak ada yang berani mengatakan bahwa kejadian di Pulau Rempang adalah bentuk kearifan dan ketoleranan pemerintah terhadap rakyat Pulau Rempang. Mengapa?

Karena faktanya tidak begitu. Faktanya justru menunjukkan sebaliknya, di mana status desa-desa tua di sana diabaikan dan hak asasi masyarakat Pulau Rempang dicederai.

Kisruh di Pulau Rempang terjadi sejak 7 September 2023 lalu. Sudah menjelang dua minggu lebih. Para pihak yang semestinya bertanggung jawab justru hemat bicara, termasuk Presiden Jokowi, yang dikabarkan ikut langsung dalam penandatanganan perjanjian untuk proyek tersebut di China sebelumnya.

Begitu pula dengan harga beras yang meresahkan banyak pihak beberapa waktu belakangan. Faktanya harga beras memang terus naik secara signifikan.

Sebabnya pun jelas. Ada justifikasi teoritiknya secara ekonomi, mulai dari rendahnya pasokan akibat berlarut-larutnya El Nino sampai pada ancaman beberapa negara yang berniat melarang ekspor beras.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, harga beras hingga pekan kedua September 2023, masih melanjutkan tren kenaikan. Selain itu, jumlah wilayah Republik Indonesia yang mengalami kenaikan harga beras juga semakin meluas.

Dari data BPS terungkap, per 17 September 2023, harga beras di tingkat konsumen sudah melonjak 22,58 persen dibandingkan 2022 lalu, dan beras medium naik 23,56 persen. Inilah fakta tentang kenaikan harga beras yang tak perlu dirumorkan lagi.

Namun rumor yang akhirnya menyerempet seorang bakal calon presiden hadir begitu saja tanpa fakta keras, lalu ditanggapi ramai-ramai begitu saja oleh publik kita.

Seolah-olah urusan Pulau Rempang sudah "on the way to resolution" dan harga beras sudah stabil terjangkau, para elite pun ikut "menggosipkan rumor".

Mengapa ruang publik kita malah menanggapinya, meskipun fakta kerasnya tak juga hadir? Menggosipkan rumor bukanlah cara yang baik untuk mendidik pemilih menuju pesta demokrasi Pemilihan Umum 2024, apalagi rumor yang sengaja digunakan sebagai senjata politik taktis.

Perilaku penunggangan atas "era post truth" semacam ini haruslah segera diakhiri, digantikan dengan era "faktual" dan era "truth."

Apalagi mengada-ada atas sesuatu yang tidak ada untuk menutupi sesuatu yang nyata-nyata ada. Itu jelas lebih berbahaya lagi.

Bangsa ini mendesak perlu fokus menyelesaikan berbagai masalah. Namun harus diingat, masalah yang akan diselesaikan haruslah masalah yang benar-benar ada, bukannya justru masalah yang diada-adakan.

Lalu, jika muncul masalah yang diada-adakan, maka sebaiknya kita semua tidak lupa atau sengaja melupakan atau sengaja mengalihkan perhatian dari masalah yang sebenarnya telah ada dan memerlukan penyelesaian segera.

Karena bangsa dan negara Indonesia adalah bangsa dan negara nyata, di mana masalah-masalah yang terjadi di dalamnya juga nyata, sehingga solusi yang dibutuhkan adalah solusi yang juga nyata.

Jika memang rumor soal penamparan tersebut sepenting itu, maka pembuktian kebenarannya harus jauh lebih penting ketimbang sekadar memberikan komentar justifikatif atau sebaliknya. Sumbernya harus ditelusuri, agar ada fakta keras yang dihadirkan di ruang publik.

Jika tidak ditemukan fakta, maka harus ada pertanggungjawaban dari para pihak yang menyebarkannya di satu sisi dan dari para pihak yang "mem-framingnya" di sisi lain.

Peristiwa seperti ini bukan tanpa preseden. Jelang pemilihan umum tahun 2019 lalu, peristiwa yang nyaris serupa juga terjadi.

Kala itu, beredar foto-foto aktris masa lalu Ratna Sarumpaet dengan wajah lebam dan bekas luka. Lalu beredar di media sosial dengan narasi tambahan bahwa Ratna telah mengalami kekerasan oleh aparat.

Setelah terbukti bahwa narasi untuk foto-foto tersebut tidak sesuai dengan fakta, urusan pun beres. Para pihak yang dituduh sebagai sumber masalah masuk penjara pada akhirnya, yakni Ratna sendiri.

Faktanya foto-foto tersebut diambil setelah Ratna menjalani operasi wajah, bukan disebabkan karena mengalami kekerasan fisik oleh aparat.

Pendek kata, rumor harus segera dibuktikan, jika tidak terbukti, mari tinggalkan. "Merumorkan" rumor hanya akan menjadi pekerjaan sia-sia, tidak mendidik, dan akan menyita energi ruang publik kita untuk hal-hal yang tidak produktif.

Untuk itu, para elite yang terlibat harus menggiringnya segera kepada fakta, bukan kepada narasi-narasi tidak penting dan diplomatis yang justru membingungkan publik.

Karena memperdebatkan rumor hanya akan membuat banyak pihak justru menggiring bola ke luar lapangan, menjauh dari substansi.

Jika faktanya ada, bisa dibuktikan dan buktinya bisa diverifikasi secara publik, maka sudah layak dibicarakan di ruang publik berpanjang lebar hingga tuntas.

Namun jika tidak, mari kembali kepada fakta-fakta sebenarnya yang sedang dihadapi negeri ini. Lupakan rumor, fokus kepada masalah yang ada.

Apalagi menjelang pemilihan umum seperti saat ini, atas nama kepentingan politik, rumor bisa jadi tumor berbahaya yang bisa merusak rasionalitas publik.

Tukang rumor menebar rumor, bakal capres terkena rumor, presiden dan menteri ikut menanggapi rumor, para broker politik pun mengomoditifikasi rumor, sehingga kita semua akhirnya merumorkan rumor.

Lalu ketika divalidasi faktualitasnya, ternyata "rumor" itu pun hanya "rumor". Amit-amit. Jangan sampai negeri ini jadi negeri rumor.

Last but not least, di sini saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa rumor tentang penamparan dan pencekikan seorang wamen oleh seorang menteri yang dikabarkan juga sekaligus bakal capres bukanlah hal penting untuk dibicarakan di ruang publik.

Saya yakin hal semacam ini juga penting dalam konteks politik, karena terkait diri seorang bakal calon presiden yang akan berlaga nanti, tapi tentu syaratnya haruslah terpenuhi, yakni adanya fakta yang valid dan otentik.

Jika tidak, maka sebaiknya energi bangsa ini tak perlu dihabiskan untuk memasifkan rumor yang nyatanya hanya akan terus menggelinding sebagai rumor.

Padahal, masih banyak masalah yang sedang melanda negeri ini yang nyatanya sangat membutuhkan solusi secepat mungkin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com