Cara Gerindra melokalisasi Demokrat dengan memberi empat kursi menteri termasuk kepastian AHY sebagai salah satu menteri koordinator, bisa menjadi strategi Prabowo untuk melempangkan jalan kandidat cawapresnya agar tidak diganggu dari dalam.
Ibarat memiliki banyak anak, Prabowo yang lama menjadi “single parent” harus memberi keadilan bagi partai-partai yang bergabung di koalisinya.
Jika Golkar tetap ngotot meminta jatah cawapres untuk Airlangga Hartarto, maka PAN yang hanya memiliki kursi hampir setengah kursi Golkar di parlemen juga “ngotot” minta jatah. PAN tetap rajin berjualan nama Erick Thohir sebagai pendamping Prabowo.
Lebih menggemaskan lagi, Partai Bulan Bintang yang absen di parlemen karena hanya meraih 0,79 persen di Pemilu 2019, juga memasang selera tinggi. Yusril Ihza Mahendra sang ketua umum PBB juga menyodorkan diri sebagai kandidat cawapres.
Walau tidak dinyatakan eksplisit, saya juga ragu jika partai baru seperti Gelora tidak mengajukan “permintaan” alias persyaratan saat bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju.
Belum lagi PSI dan partai lain yang mungkin akan bergabung.
Ingatlah ada adagium dalam politik yang berlaku abadi dan kekal sepanjang masa: tidak ada makan siang yang “gretongan”. Duduk dan mengambil piring makan di warung pinggir jalan saja terkadang sudah dianggap makan dan diharuskan bayar.
Batalnya Demokrat melakukan “ijab kabul” politik dengan koalisi pengusung Ganjar Pranowo terutama dengan PDIP menjadi catatan sejarah yang terus berulang.
Kegagalan menyatukan elite “merah” dan “biru” sepertinya terhalang Tembok Berlin yang dikenal kokoh dan ketat penjagaannya.
Menyatukan Demokrat dan PDIP tidak sekadar menyatukan aras politik pada jalan perjuangan yang sama, tetapi juga mengguyubkan kembali relasi SBY – Megawati Soekarnoputri yang dianggap publik “tidak harmonis”.
Padahal Puan Maharani dan AHY telah membuka simpul persahabatan melalui pertemuan yang begitu akrab di Plataran Hutan Kota Senayan, Jakarta, 18 Juni 2023 lalu.
Publik – termasuk saya – begitu berharap silaturahmi tersebut tidak sekadar basa-basi politik saja, tetapi juga membuka kerja sama politik yang kongkret.
Andai saja Demokrat “bergandengan” tangan politik dengan PDIP dalam mendukung Ganjar, maka tidak saja relasi SBY dan Megawati yang tertaut, tetapi di akar rumput akan mengurangi tensi ketegangan antara simpatisan “merah” dan “biru” yang selama ini terbelah.
Dalam tataran lokal yang saya ikuti dengan langsung, koalisi PDIP dengan Demokrat telah berjalan apik saat memenangkan Zainal Arifin Paliwang dan Yansen Tipa Padan di Pilgub Kalimantan Utara 2020 lalu.
Walau kalah di Pilgub Kalimantan Barat 2018 saat mengusung Karoline Margreth Natasha – Suryadman Gidot, kerja sama Demokrat dan PDIP juga terjadi di Jawa Tengah saat PDIP mengajukan Ganjar Pranowo – Taj Yasin.