Upah yang terbilang minim dan beban kerja cenderung besar. Terlebih, beban moral yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya untuk menyelenggarakan pemilu yang jujur dan adil.
Dengan pemahaman ini, mereka yang berorientasi pada uang dan mengira pekerjaan ini adalah “lahan basah”, baiknya mundur dengan sadar diri.
Selanjutnya, pengawasan terhadap kinerja para penyelenggara perlu diatur. Memperbanyak mata dengan memperluas jaringan kerja sama dengan LSM dan organisasi masyarakat sipil lain.
Penyelenggaraan perlu diawasi dengan ketat secara berjenjang mulai dari desa, kecamatan, dan seterusnya. Pun pengawas dari Bawaslu.
Sisi lain, warga juga perlu berpartisipasi aktif. Kita bisa merekam dan melaporkan secara bertanggung jawab indikasi-indikasi kecurangan yang terjadi di lapangan.
Kepada mereka (oknum penyelenggara) yang terbukti melakukan pelanggaran, tuntut dengan sanksi tegas. Tidak hanya dipecat, hukuman pidana pelanggaran pemilu harus jatuhi kepadanya.
Blacklist namanya supaya tidak bisa lagi mendaftar sebagai penyelenggara di semua level dan pada masa pemilu berikutnya. Hukum untuk efek jera pelaku sekaligus pembelajaran bagi yang lain.
Di hilir, sudah saatnya kita percepat memadukan sistem manual dengan sistem elektronik dalam penyelenggaraan pemilu kita.
Perlahan lebih banyak libatkan mesin—lengkap dengan mekanisme kontrolnya—daripada manusia. Dengan perpaduan sistem itu, kita bisa menekan intervensi permainan suara yang dilakukan para oknum, juga meminimalisasi human error.
Teknologi dirancang sedemikian rupa supaya suara yang masuk langsung terpublikasi. Pemilih, kandidat, dan pihak lain bisa memonitornya secara langsung.
Banyak negara demokrasi, misal Amerika Serikat, sudah menggunakan sistem e-voting sejak lama. Pemungutan dan perhitungan suara lebih sederhana dan lebih cepat. Tidak melibatkan banyak manusia.
Biaya pun lebih hemat karena teknologi dan alat bisa dipakai untuk pemilu-pemilu berikutnya. Syaratnya, fasilitas internet yang meluas dan merata perlu direalisasikan.
Meski bagai pungguk merindukan bulan, apa salahnya jika kita mencoba melangkah ke tujuan itu. Perlu diingat, cukup Pemilu 2019 yang menjadi pengalaman pahit: memakan banyak korban penyelenggara ad hoc.
Pemilu jujur dan adil berkorelasi positif dengan kemapanan demokrasi. “Penyelenggaraan pemilu yang jujur akan membawa kita menjangkau demokrasi yang sempurna,” ucap Douglas W. Jones dan Barbara Simons (Broken Ballots, 2012).
Dengan penyelenggaraan yang terorganisasi baik dan transparan, celah-celah politik transaksional semakin tertutup.
Kepercayaan publik akan terbangun, lalu hasil pemilu akan legitimate dan mendapat dukungan rakyat.
Kita perlu gotong-royong untuk bergerak maju. Diharapkan pihak penyelenggara bekerja sama untuk mewujudkan itu.
Cukup laksanakan tanggung jawabnya dengan penuh komitmen dan konsekuen. Kerinduan untuk bisa mendapat pemimpin terbaik dengan penyelenggaraan yang murni pun akan terbayarkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.