PASCADEKLARASI pasangan bakal calon presiden dan calon wakil presiden Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar, realitas politik menuju suksesi kepemimpinan nasional 2024 mengalami perubahan konfigurasi.
Perubahan yang paling mencolok terkait posisi narasi antara keberlanjutan (continuity) versus perubahan (change).
Narasi keberlanjutan menjadi pesan yang ramai diproduksi dan reproduksi oleh partai koalisi di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Sedangkan narasi perubahan digaungkan oleh Anies dan partai koalisi pengusungnya, terutama Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Hengkangnya Demokrat dari koalisi perubahan, buntut dari akrobat politik yang dimainkan Surya Paloh dan Anies, mengubah peta pertarungan narasi dalam dikotomi perubahan versus keberlanjutan.
Sebelum deklarasi pasangan Anis-Cak Imin, narasi perubahan kerap menjadi pesan politik yang diproduksi Anies dan partai koalisinya.
Dalam batas tertentu, bahkan Partai Nasedem yang notabene masih di dalam koalisi pemerintahan kerap memproduksi narasi perubahan. Namun, setelah deklarasi Anies-Cak Imin, narasi perubahan kehilangan relevansinya.
Dalam konteks ini, visi perubahan yang diusung oleh Anies telah layu sebelum berkembang. Narasi perubahan entah disadari atau tidak oleh Anies, telah tergilas oleh narasi keberlanjutan, tanpa ada perlawanan yang berarti. Bahkan Anies terlihat “tidak berdaya” dalam melakukan pertahanan akan narasinya.
Tingginya approval rating (kepuasan kinerja) Jokowi hampir 81 persen (data survei Indikator Politik Indonesia, Agustus 2023) menjadi persoalan utama dalam “keterseokan” narasi perubahan mendapatkan simpati publik.
Data appropal rating tersebut harus dibaca bahwa 81 persen penduduk Indonesia (pemegang hak suara) puas dengan kinerja Jokowi dalam membawa kapal Indonesia selama sepuluh tahun terakhir. Hanya tersisa 19 persen yang menyatakan pendapat berbeda.
Dalam kalkulasi politik, Anies (dan Surya Paloh) tidak mungkin hanya akan berkutat di dalam perebutan suara 19 persen yang menyatakan berbeda atas kinerja Presiden Jokowi. Sebab, hanya 19 persen yang menginginkan adanya perubahan.
Jika dipaksakan tetap konsisten dalam narasi perubahan, maka tentu sudah dipastikan hasil pilpresnya nanti.
Situasi ini pula yang menjelaskan mengapa hasil survei Anies hanya berada pada kisaran 20 persen, dalam beberapa bulan terakhir.
Hal ini karena sikap Anies yang ingin melakukan perubahan, di tengah suara mayoritas publik ingin adanya keberlanjutan dari capaian-capaian Presiden Jokowi.
Untuk keluar dari situasi tidak menguntungkan tersebut, pilihannya adalah harus menggaet pemilih dari 81 persen yang puas atas kinerja Jokowi.