Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Husen Mony
Dosen

Mengajar Komunikasi Politik & Jurnalistik/Penulis

Pada Akhirnya, Semua Jadi Narasi Keberlanjutan...

Kompas.com - 13/09/2023, 11:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PASCADEKLARASI pasangan bakal calon presiden dan calon wakil presiden Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar, realitas politik menuju suksesi kepemimpinan nasional 2024 mengalami perubahan konfigurasi.

Perubahan yang paling mencolok terkait posisi narasi antara keberlanjutan (continuity) versus perubahan (change).

Narasi keberlanjutan menjadi pesan yang ramai diproduksi dan reproduksi oleh partai koalisi di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Sedangkan narasi perubahan digaungkan oleh Anies dan partai koalisi pengusungnya, terutama Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Hengkangnya Demokrat dari koalisi perubahan, buntut dari akrobat politik yang dimainkan Surya Paloh dan Anies, mengubah peta pertarungan narasi dalam dikotomi perubahan versus keberlanjutan.

Sebelum deklarasi pasangan Anis-Cak Imin, narasi perubahan kerap menjadi pesan politik yang diproduksi Anies dan partai koalisinya.

Dalam batas tertentu, bahkan Partai Nasedem yang notabene masih di dalam koalisi pemerintahan kerap memproduksi narasi perubahan. Namun, setelah deklarasi Anies-Cak Imin, narasi perubahan kehilangan relevansinya.

Dalam konteks ini, visi perubahan yang diusung oleh Anies telah layu sebelum berkembang. Narasi perubahan entah disadari atau tidak oleh Anies, telah tergilas oleh narasi keberlanjutan, tanpa ada perlawanan yang berarti. Bahkan Anies terlihat “tidak berdaya” dalam melakukan pertahanan akan narasinya.

Tingginya approval rating (kepuasan kinerja) Jokowi hampir 81 persen (data survei Indikator Politik Indonesia, Agustus 2023) menjadi persoalan utama dalam “keterseokan” narasi perubahan mendapatkan simpati publik.

Data appropal rating tersebut harus dibaca bahwa 81 persen penduduk Indonesia (pemegang hak suara) puas dengan kinerja Jokowi dalam membawa kapal Indonesia selama sepuluh tahun terakhir. Hanya tersisa 19 persen yang menyatakan pendapat berbeda.

Dalam kalkulasi politik, Anies (dan Surya Paloh) tidak mungkin hanya akan berkutat di dalam perebutan suara 19 persen yang menyatakan berbeda atas kinerja Presiden Jokowi. Sebab, hanya 19 persen yang menginginkan adanya perubahan.

Jika dipaksakan tetap konsisten dalam narasi perubahan, maka tentu sudah dipastikan hasil pilpresnya nanti.

Situasi ini pula yang menjelaskan mengapa hasil survei Anies hanya berada pada kisaran 20 persen, dalam beberapa bulan terakhir.

Hal ini karena sikap Anies yang ingin melakukan perubahan, di tengah suara mayoritas publik ingin adanya keberlanjutan dari capaian-capaian Presiden Jokowi.

Untuk keluar dari situasi tidak menguntungkan tersebut, pilihannya adalah harus menggaet pemilih dari 81 persen yang puas atas kinerja Jokowi.

Kontribusi Surya Paloh

Langkah politik Surya Paloh, yang memasangkan Anies-Cak Imin dengan pilihan risiko kehilangan mitra koalisi lainnya dapat dibaca sebagai upaya melebur narasi perubahan ke dalam narasi keberlanjutan, atau setidaknya ada keinginan untuk mengasosiasikan diri dalam barisan narasi keberlanjutan.

Pilihan ini menjadi logis, sebab Paloh harus berupaya meraih simpati dari 81 persen yang puas dengan kinerja Jokowi tersebut agar bisa berpeluang memenangkan kontestasi.

Oleh karena itu, menduetkan Anies dan Cak Imin adalah upaya untuk “mengambil” ceruk pasar keberlanjutan.

Pilihan politik Paloh tersebut sekaligus upaya mengirimkan pesan kepada Jokowi bahwa pasangan koalisi yang dia usung sesungguhnya masih “orang-orangnya Jokowi”.

Anies tanpa sadar telah “di-Jokowi-kan” oleh Surya Paloh. Dugaan ini menguat sebab sebelum deklarasi Anies-Cak Imin dilaksanakan, Surya Paloh telah bertemu dengan Jokowi.

Melemahnya narasi perubahan dapat dibaca juga dari komposisi partai koalisi pengusung Anies – Cak imin.

PKB dan Nasdem adalah partai yang masih di dalam koalisi pemerintahan. Mengingkari raihan positif yang dicapai oleh pemerintahan Jokowi-Maruf seolah seperti yang diutarakan oleh Boni Hargens (saat menjadi bintang tamu di podcast Akbar Faisal Uncensored) “orang tua yang mengingkari darah dagingnya sendiri”.

Dengan kata lain, mendorong narasi perubahan adalah komunikasi publik yang tidak terukur dan memberikan kesan bahwa PKB dan Nasdem telah melakukan “penghianatan”.

Itu mengapa, dalam setiap pernyataan publiknya, Partai Nasdem kerap bermain dengan narasi ambigu “yang baik tetap dilanjutkan, yang belum diperbaiki”. Nasdem tidak seekstrem Demokrat dan PKS ketika membumikan narasi perubahan.

Terbaru, dalam pidato politiknya saat deklarasi pasangan Anies – Cak imin, Surya Paloh menyatakan bahwa koalisi mereka menandai matinya “Cebong-Kampret”, dualitas beberapa tahun terakhir, yang mengakibatkan segregasi sosial dan serta konflik antarsesama anak bangsa.

Pernyataan Surya Paloh tersebut menjadi faktual karena Anies bisa sejalan dengan partai pemerintah, serta PKS bisa sejalan dengan PKB (yang secara basis pemilih, berasal dari dua pemikiran keislaman yang kerap berseberangan).

Matinya “Cebong-Kampret” dapat dibaca sebagai meleburnya barisan oposisi ke dalam pemerintahan atau meleburnya perubahan (change) ke dalam keberlanjutan (continuity), dan bukanlah sebaliknya.

Sebab, dalam koalisi pasangan Anies – Cak Imin, Nasdem dan PKB merepresentasikan cebong, sedangkan PKS merepresentasikan kampret. Artinya, PKS-lah yang melebur ke dalam Partai Nasdem dan PKB, bukan sebaliknya.

Dari hitung-hitungan suara, gabungan PKB dan Nasdem menjadi mayoritas dalam koalisi tersebut. Artinya, pemilih cebong lebih banyak ketimbang pemilih kampret.

Bahkan jauh-jauh hari, Anies telah “di-cebongkan” oleh partai Nasdem saat menjadikan dia sebagai bacawapres.

Kompromi narasi

Setelah deklarasi, narasi Anies tentang perubahan sudah nampak kompromistis. Dalam program Mata Najwa, diputar tayangan yang memperdengarkan pernyataan Anies saat menyampaikan pidato di hadapan relawannya: “Tidak perlu mengkritik pemerintah. Kalau mau tetap kritik pemerintah, harus pisahkan dengan dukungan Anda ke Anies”.

Meski ada klarifikasi bahwa pesan itu disampaikan ke relawan di lapangan supaya mereka lebih fokus dalam paparan visi-misi Anies ke masyarakat, tetap saja, pernyataan itu menandakan bahwa Anies menyadari “perubahan” (dalam artian melawan pemerintah sekarang) adalah langkah yang tidak tepat dan menjauhkan mereka dari kemenangan elektoral.

Rekan duetnya, Cak Imin memiliki pandangan yang kurang lebih sama terkait makna “perubahan”.

Dalam penjelasannya di program Mata Najwa, ketua umum PKB tersebut menyatakan, "kalau ada yang baik, ambil, segera lakukan perubahan, tapi kalau ada yang baik dilanjutkan supaya menjadi lebih baik. Tidak ada yang kontradiktif.”

Di sisi lain, Partai Demokrat mendesak agar Anies dan mitra koalisinya tidak lagi menggunakan tagline perubahan.

Argumentasi yang mengemuka dari Demokrat adalah narasi perubahan tersebut diproduksi pertama kali oleh ketua umum mereka, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

AHY dan Demokrat adalah representasi dari perubahan, sehingga hengkangnya partai tersebut dari koalisi perubahan menjadikan narasi perubahan tidak lagi relevan bagi tim Anies.

Sebagai komunikator utama narasi perubahan (setidaknya berdasarkan klaim Demokrat), setelah mereka mencabut mandat dalam pengusungan Anies sebagai bacapres, narasi perubahan bagi Demokrat pun tidak juga relevan lagi.

Demokrat berada dalam situasi di mana narasi perubahan tidak bisa lagi disampaikan menurut tafsir mereka selama ini. Saat ini, mereka harus memilih mitra koalisi baru, antara koalisi pengusung Ganjar Pranowo atau koalisi pengusung Prabowo Subianto.

Apapun pilihan politiknya, Demokrat harus menerima kenyataan bahwa konsep perubahan yang mereka gaungkan harus disimpan. Sebab, baik koalisi pengusung Ganjar maupun koalisi pengusung Prabowo, keduanya mengampanyekan narasi keberlanjutan.

Apalagi, dalam dua koalisi yang akan dituju, posisi tawar Demokrat tidak mungkin kuat, mengingat posisi mereka sebagai pendatang baru.

Menguatnya narasi keberlanjutan, yang kemungkinan akan menjadi bagian dari visi semua bacapres sekarang, tentu menjadi hal baik, terutama kaitannya dengan arah pembangunan nasional kita untuk lima tahun ke depan.

Artinya, pemimpin nasional baru nanti dipastikan akan melanjutkan capaian-capaian yang sudah diambil oleh presiden sekarang. Dalam bahasa lain, arah pembangunan Indonesia dalam lima tahun ke depan tidak akan mengalami pengaturan ulang, apalagi memulai dari awal kembali.

Jika tetap konsisten melanjutkan raihan pemerintahan sekarang, maka perwujudan visi menuju Indonesia Emas 2035 nanti, akan berjalan secara efektif.

Namun, keberlanjutan bisa juga menjadi visi yang meninabobokan bagi pemimpin terpilih. Dia harus bekerja dalam bayang-bayang Jokowi.

Segala kebijakan maupun program kerjanya akan “diminta” oleh masyarakat agar sama atau paling tidak senapas dengan kebijakan dan program kerja presiden sebelumnya. Ini membawa hilangnya otensitas presiden terpilih.

Akibatnya, bisa saja ada keraguan dalam setiap kebijakan atau program kerja yang diambil karena tersandera harapan masyarakat bahwa dia harus sama dengan Presiden Jokowi.

Visi keberlanjutan harus disikapi bijak oleh presiden terpilih nanti, dengan juga melahirkan terobosan dan kreativitas baru yang otentik.

Jika tidak, saya khawatir karena tersandera dengan konsep keberlanjutan versi Jokowi, maka pemimpin selanjutnya akan terseok dalam mengarahkan kapal Indonesia.

Sebab, tantangan yang akan dihadapi bangsa ini dalam kurun lima tahun ke depan pastinya akan berbeda dengan apa yang terjadi hari ini.

Oleh karena itu, pemimpin selanjutnya boleh saja tetap istiqomah pada visi keberlanjutan, namun tidak ada salahnya juga memasukan visi perubahan di dalamnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Resmikan Sistem Pengelolaan Air di Riau Senilai Rp 902 Miliar

Jokowi Resmikan Sistem Pengelolaan Air di Riau Senilai Rp 902 Miliar

Nasional
Megawati Didampingi Ganjar dan Mahfud Kunjungi Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende

Megawati Didampingi Ganjar dan Mahfud Kunjungi Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende

Nasional
Jelang Idul Adha, Dompet Dhuafa Terjunkan Tim QC THK untuk Lakukan Pemeriksaan Kualitas dan Kelayakan Hewan Ternak

Jelang Idul Adha, Dompet Dhuafa Terjunkan Tim QC THK untuk Lakukan Pemeriksaan Kualitas dan Kelayakan Hewan Ternak

Nasional
Buronan Thailand yang Ditangkap di Bali Pakai Nama Samaran Sulaiman

Buronan Thailand yang Ditangkap di Bali Pakai Nama Samaran Sulaiman

Nasional
Pansel Bakal Cari 10 Nama Capim KPK untuk Diserahkan ke Jokowi

Pansel Bakal Cari 10 Nama Capim KPK untuk Diserahkan ke Jokowi

Nasional
Kritik Putusan MA, PDI-P: Harusnya Jadi Produk DPR, bukan Yudikatif

Kritik Putusan MA, PDI-P: Harusnya Jadi Produk DPR, bukan Yudikatif

Nasional
Projo Beri Sinyal Jokowi Pimpin Partai yang Sudah Eksis Saat Ini

Projo Beri Sinyal Jokowi Pimpin Partai yang Sudah Eksis Saat Ini

Nasional
Projo Minta PDI-P Tidak Setengah Hati Jadi Oposisi

Projo Minta PDI-P Tidak Setengah Hati Jadi Oposisi

Nasional
Tuding PDI-P Ingin Pisahkan Jokowi dan Prabowo, Projo: Taktik Belah Bambu

Tuding PDI-P Ingin Pisahkan Jokowi dan Prabowo, Projo: Taktik Belah Bambu

Nasional
Projo Ungkap Isi Pembicaraan dengan Jokowi soal Langkah Politik Kaesang di Pilkada

Projo Ungkap Isi Pembicaraan dengan Jokowi soal Langkah Politik Kaesang di Pilkada

Nasional
Ada 'Backlog' Pemilikan Rumah, Jadi Alasan Pemerintah Wajibkan Pegawai Swasta Ikut Tapera

Ada "Backlog" Pemilikan Rumah, Jadi Alasan Pemerintah Wajibkan Pegawai Swasta Ikut Tapera

Nasional
Jaga Keanekaragaman Hayati, Pertamina Ajak Delegasi ASCOPE ke Konservasi Penyu untuk Lepas Tukik

Jaga Keanekaragaman Hayati, Pertamina Ajak Delegasi ASCOPE ke Konservasi Penyu untuk Lepas Tukik

Nasional
Projo Mengaku Belum Komunikasi dengan Kaesang Soal Pilkada

Projo Mengaku Belum Komunikasi dengan Kaesang Soal Pilkada

Nasional
Ridwan Kamil Klaim Pasti Maju Pilkada, Kepastiannya Juli

Ridwan Kamil Klaim Pasti Maju Pilkada, Kepastiannya Juli

Nasional
KPK Sita Innova Venturer Milik Anak SYL Terkait Kasus TPPU

KPK Sita Innova Venturer Milik Anak SYL Terkait Kasus TPPU

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com