TULISAN lama Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil Petite Historie Indonesia Jilid 1 terbitan Penerbit Buku Kompas pada 2010 antara lain mengutip sejumlah julukan untuk Megawati Soekarnoputri.
Ada julukan dari Rosihan Anwar sendiri. Ada pula julukan dari aneka pemberitaan media internasional.
Di antara julukan untuk Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu adalah The Sphinx, flegmatis alias berdarah dingin, dan tak terduga.
Membaca ulang tulisan lawas tersebut terasa relevan untuk hari-hari menjelang Pemilu 2024 ini. Terbilang hampir lima bulan sejak PDI-P mendeklarasikan pengusungan Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden, tak kunjung ada pergerakan lanjutan.
Baca juga: Soal Wacana Duet Ganjar-Gibran, PPP Sebut Belum Ada Pembahasan di Koalisi
Tak ada kepastian koalisi. Belum ada juga bakal calon wakil presiden untuk mendampingin Ganjar.
Dinamika politik nasional bisa jadi adalah pertimbangan yang harus dan terus dipantau oleh tim pemenangan Ganjar dan PDI-P.
Namun, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa keputusan dan sikap Megawati di PDI-P merupakan penentu, yang bahkan dirasa tak masuk nalar awam sekalipun.
Ini menjadi relevan kembali melihat perubahan arah angin peta politik seturut deklarasi pasangan bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden dari kubu sebelah, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.
Baca juga: Hanya Muhaimin yang Bisa...
Lakonnya bukan pasangan ini, melainkan Partai Demokrat yang tertampar oleh keputusan dan deklarasi tersebut. Sudah jamak diketahui bahwa partai ini semula turut mengusung Anies sebagai bakal calon presiden.
Bersama Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat tak bergeming sekian waktu menjadi motor pengusung Anies. Hingga, tiba-tiba masuklah Muhaimin dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi bakal calon wakil presiden bagi Anies.
Partai Demokrat yang meradang pun membuka opsi untuk tak lagi ada di barisan koalisi pengusung Anies. Pertanyaannya, hendak kemana atau mau bagaimana?
Baca juga: Demokrat Ketuk Pintu Poros Ganjar dan Prabowo, Tak Akan Balik ke Koalisi Perubahan
Pilihan bagi Partai Demokrat bila benar hendak "move on" adalah merapat ke PDI-P yang mengusung Ganjar sebagai bakal calon presiden, bergabung ke kubu Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang mengusung Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden dan baru saja ditinggalkan PKB, atau membuat koalisi sendiri.
Masing-masing pilihan ini punya tantangan tersendiri. Bermodal perolehan suara dan kursi DPR hasil Pemilu 2019, Partai Demokrat jelas sangat kekurangan modal. Partai Demokrat harus menggaet lebih dari satu partai lain untuk bisa mengusung koalisi sendiri.
Bergabung ke kubu Gerindra, rasanya juga tak menjawab kehendak untuk mengangkat sang ketua umum, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menjadi bakal calon wakil presiden. Ada banyak kandidat yang sudah lebih dulu bergaung di koalisi ini.
Lebih pelik lagi bila opsinya adalah bergabung ke kubu PDI-P. Tantangan pertama, masih sama, AHY bukan kandidat bakal calon wakil presiden paling dikehendaki abad ini. Ada nama lain juga yang sudah disebut pantas mendampingi Ganjar dengan aneka daya pikat masing-masing.
Baca juga: Soal Demokrat Bakal Gabung Dukung Ganjar, PPP: Kalau Terjadi, Akan Tambah Energi Positif
Yang lebih pelik, ada sejarah lama antara PDI-P dan Partai Demokrat. Kilas sejarah berputar cepat ke Pemilu 2009 untuk meringkas bagian ini, yaitu saat Susilo Bambang Yudhoyono maju dan memenangi Pemilu Presiden 2009, termasuk mengalahkan Megawati yang saat itu berpasangan dengan Prabowo.
Sejarah mereka bukan hanya hasil pemilu tersebut. Justru pencalonan diri SBY yang konon menjadi awal cerita. Ini merupakan salah satu bagian yang bagi awam adalah misteri Megawati.
Hingga tulisan ini tayang, kehangatan relasi Mbak Mega dan Mas Bambang tinggallah kenangan buram. Buat pengingat, SBY adalah salah satu menteri di kabinet Megawati, tepat sebelum Pemilu 2009. Mas Bambang merupakan panggilan Megawati untuk SBY kala itu.
Namun, seperti tulisan lawas Rosihan Anwar, Megawati adalah The Sphinx, flegmatis, sekaligus tak terduga. Bila dia bisa merelakan putrinya, Puan Maharani, tak jadi salah satu kandidat dalam kontestasi kepemimpinan nasional mendatang, segala kemungkinan lain pun bisa saja terbuka demi pemenangan dan kemenangan di pemilu.
Salah satu cerita Rosihan tentang Megawati adalah soal Sutiyoso. Megawati mendukung pencalonan Sutiyoso menjadi Gubernur DKI Jakarta dan terbukti menang.
Baca juga: Peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996, Saat Megawati Melawan tetapi Berakhir Diam...
Yang perlu digarisbawahi, Sutiyoso adalah Pangdam Jaya ketika Peristiwa Kuda Tuli 27 Juli 1996 terjadi, saat kubu Megawati harus terusir dari kantor partai oleh kubu yang didukung rezim saat itu.
Namun, Megawati juga bukan pemain politik kemarin sore. Ada seribu jalan untuk pemenangan dan kemenangan pemilu yang tentu tak luput dari pantauan dan pertimbangannya, seperti saat tiba-tiba memunculkan sosok Joko Widodo (Jokowi) sebagai bakal calon presiden untuk Pemilu 2019.
Baca juga: Memahami Megawati Soekarnoputri...
Maka, sekali lagi tulisan lawas Rosihan Anwar berjudul DKI Jakarta, Gus Dur "High Noon", dan Megawati The Sphinx di buku itu kembali relevan, setidaknya untuk kita yang mungkin sedang bersama-sama menduga-duga langkah Megawati selanjutnya....
Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Ikuti terus pula pemberitaan terkait Pemilu 2024 di liputan khusus Menuju Pemilu 2024. Baca juga tulisan khas Kompas.com dalam aneka tema, termasuk berbekal kekayaan arsip harian Kompas sejak 1965, di kolom Indonesian Insight Kompas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.