Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Pemerintah Kompak Sebut Percepatan Jadwal Pilkada 2024 Baru Sekadar Usulan ...

Kompas.com - 01/09/2023, 09:48 WIB
Dian Erika Nugraheny,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana percepatan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 yang bergulir akhir-akhir ini mendapatkan respons dari Presiden Joko Widodo.

Presiden juga menjawab kabar soal akan terbitnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mempercepat jadwal pelaksanaan pilkada di tahun depan.

Menurut Presiden, pihaknya dirinya belum sampai kepada keputusan untuk menerbitkan Perppu.

"Belum sampai ke situ kok saya (menerbitkan perppu). Urgensinya apa, alasannya apa, semuanya perlu dipertimbangkan secara mendalam," ujar Jokowi saat memberikan keterangan di ICE BSD, Tangerang, Banten, pada Kamis (31/8/2023).

Baca juga: Wapres Sebut Wacana Memajukan Pilkada 2024 Baru Usulan

Kepala Negara menuturkan, apabila ada rencana pilkada dimajukan, maka tentu masih dikaji dulu oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

"Saya kira semua itu masih kajian di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan saya belum tahu mengenai itu," jelas Jokowi.

Di hari yang sama, Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin mengatakan, wacana memajukan jadwal pelaksanaan Pilkada 2024 baru sebatas usulan.

"Pemilihan (kepala daerah) untuk dimajukan saya kira itu kan baru usulan, kita lihat saja ya," kata Ma'ruf Amin dalam keterangan pers di Bangkalan, Madura.

Menurut Ma'ruf, pemerintah akan mempertimbangkan baik dan buruk dari wacana mempercepat pelaksanaan Pilkada 2024 tersebut. Ia berpandangan, jika alasan memajukan jadwal Pilkada 2024 masuk akal, maka wacana tersebut dapat diimplementasikan.

Baca juga: Mendagri Ungkap Pertimbangan Majukan Jadwal Pilkada 2024

Sebaliknya, jika alasannya dinilai tak masuk akal, Pilkada 2024 tetap dilaksanakan sesuai jadwal yang sudah ditetapkan.

"Jadi, kalau memang memajukan itu punya nilai tambah, nilai kebaikan, ya kenapa tidak?" ujarnya.

Sebelumnya, wacana mempercepat jadwal Pilkada 2024 yang sedianya digelar pada 27 November 2024 ini rencananya akan dituangkan melalui Perppu sebagai bentuk revisi atas Pilkada 2024 pada bulan November yang sebelumnya dijadwalkan di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Sumber Kompas.com menyebutkan, draf perppu tersebut telah siap diterbitkan.

DPR RI juga disebut telah mengetahui hal ini dan tidak memberikan resistensi berarti.

Dilansir dari Harian Kompas, Senin (28/8/2023), Ketua Kelompok Fraksi PDI-P DPR RI, Arif Wibowo mengakui bahwa Komisi II DPR RI telah memperoleh paparan dari pemerintah terkait draf perppu percepatan pilkada.

Baca juga: KPU Akui Beban Bertambah jika Pilkada Maju ke September 2024

Secara umum, pilkada akan maju ke September 2024 dan pemungutan suaranya digelar dua tahap, yaitu pada 7 dan 24 September 2024.

Kemudian, kepala daerah terpilih akan dilantik pada akhir 2024.

Penjelasan Mendagri

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengungkapkan, pemerintah memajukan jadwal pelaksanaan Pilkada 2024 agar semua daerah dipimpin oleh kepala daerah definitif pada 1 Januari 2025

Tito mengatakan, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, diatur bahwa masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2020 harus berakhir pada 31 Desember 2024.

"Artinya, 1 Januari (kepala daerah dijabat oleh) pj (penjabat). Jadi hampir semua kepala daerah itu nantinya 1 Januari 2025 itu adalah pj semua, ini enggak efektif untuk pemerintahan," kata Tito di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis.

Tito mengingatkan, kepala daerah terpilih tidak bisa serta merta dilantik setelah hasil pilkada keluar.

Ia menyebutkan, ada waktu selama kurang lebih 3 bulan setelah hari pencoblosan untuk memproses hasil pemilu, termasuk penanganan sengketa hasil pemilu.

"Kalau 27 November, perlu tiga bulan untuk sengketa pemilu dan lain-lain berarti lebih kurang bulan April, Februari, Maret 2025 itu (baru) ada pelantikan," kata Tito.

Baca juga: Pro-Kontra Percepatan Pilkada 2024 Dua Bulan, Diperlukan atau Dipaksakan?

Dengan situasi tersebut, mayoritas kursi kepala daerah akan diisi oleh pj karena masa jabatan kepala daerah definitif sudah berakhir pada 31 Desember 2024.

Selain itu, jadwal pelantikan para kepala daerah hasil Pilkada 2024 itu juga dianggap terlalu jauh dengan waktu pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2024.

"Daripada pj, lebih baik definitif sekalian 1 Januari. Ditarik mundur ke belakang, itu lebih kurang bulan September (yang ideal untuk jadi hari pencoblosan Pilkada 2024)," kata Tito.

Namun demikian, mantan Kapolri itu mengeklaim bahwa rencana tersebut baru sebatas wacana yang berkembang di kalangan akademisi, pemerhati pemilu, dan anggota DPR.

"Itu baru wacana, tapi ya silakan saja teman-teman DPR menilai. Kalau memang sudah punya pendapat seperti apa, ya kami siap untuk diundang dan menyampaikan pendapat," kata Tito.

Baca juga: Wakil Ketua Komisi II DPR: Pilkada 2024 Sesuai Jadwal Lebih Netral dari Potensi Intervensi

Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengeklaim siap menggelar Pilkada 2024 sekalipun jadwalnya dipercepat dari semula 27 November 2024 menjadi bulan September 2024.

Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari menegaskan, pihaknya hanya membutuhkan dasar hukum untuk melakukannya. Ia mengatakan, KPU adalah pelaksana undang-undang.

"Apa yang diatur di dalam undang-undang, itu yang dilaksanakan oleh KPU," ucap Hasyim kepada Kompas.com, Selasa (29/8/2023).

"Termasuk bila hari pemungutan suara serentak Pilkada 2024 dimajukan menjadi September 2024 dan hal itu diatur dalam UU/Perppu, maka KPU tunduk kepada ketentuan undang-undang tersebut," kata dia.

Dinilai berpotensi timbulkan kegaduhan

Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Yanuar Prihatin menilai bahwa wacana percepatan Pilkada 2024 dari jadwal semula 27 November 2024 ke bulan September menimbulkan prasangka.

Menurutnya ada potensi publik tidak akan percaya terhadap penyelenggara pemilu dan DPR.

"Perubahan jadwal ini berpotensi menimbulkan kegaduhan baru, sekaligus mendorong munculnya ketidakpercayaan publik kepada penyelenggara pemilu dan pembuat undang-undang (DPR dan pemerintah)," ujar Yanuar dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com, Rabu (30/8/2023).

"Perubahan ini akan terkesan dipaksakan karena berlangsung di tengah berjalannya tahapan pemilu (pemilihan umum)," katanya lagi.

Baca juga: Berencana Percepat Pilkada 2024, Pemerintah dan DPR Dinilai Inkonsisten

Oleh karena itu, Yanuar menegaskan bahwa wacana ini harus dikaji lebih mendalam.

Menurutnya, energi politik sebaiknya difokuskan untuk mensukseskan tahapan yang sedang berjalan agar pelaksanaan pemilu pada Februari 2024 tidak mengalami goncangan.

Apalagi, sejak tahapan Pemilu 2024 dimulai pada Juni 2022, sudah amat banyak isu panas yang menerpa kesiapan penyelenggaraan pemilu dan membuat situasi politik sedikit memanas.

Isu-isu itu meliputi wacana penundaan pemilu, perpanjangan masa bakti presiden menjadi tiga periode, serta pengambilalihan kewenangan penataan dapil (daerah pemilihan) dari pembuat undang-undang ke penyelenggara pemilu.

Kemudian, debat sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup, hingga mempersoalkan umur calon presiden yang kini tengah bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca juga: Pilkada 2024 Dipercepat ke September, Ahli Ragukan Performa KPU-Bawaslu

"Kini, disodorkan debat baru tentang perubahan jadwal pilkada serentak. Tidak tertutup kemungkinan masih ada lagi isu lainnya yang masih disimpan untuk dikeluarkan pada waktu berikutnya," ujar Yanuar.

Ia lantas mempertanyakan alasan wacana percepatan Pilkada baru diumbar saat ini, ketika tahapan Pemilu 2024 semakin penting dan padat serta konstelasi politik mulai mencapai klimaks

Padahal, pelaksanaan Pilkada pada November 2024 merupakan amanat Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang batal direvisi oleh pemerintah dan DPR pada 2021 lalu.

"Seandainya perubahan jadwal ini dilakukan beberapa bulan sebelumnya, yakni saat membahas jadwal Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2024, suasananya pastilah lebih kondusif. Secara psikologis tidak akan menimbulkan prasangka karena jadwal pilkada serentak ditetapkan bersama dengan jadwal pemilu," kata Yanuar.

Baca juga: KPU Siap jika Pilkada 2024 Dipercepat Jadi September

"Tentu wajar bila muncul pertanyaan. Kenapa wacana ini baru disodorkan sekarang, dan bukannya jauh-jauh hari saat jadwal Pemilu 2024 belum diputuskan?" ujarnya lagi.

Lebih lanjut, Yanuar menilai bahwa percepatan Pilkada 2024 ke bulan September justru berpotensi lebih tidak netral.

Sebab, itu berarti pilkada digelar di bawah rezim lama yang masih berkuasa

Ia juga menganggap, jika masalah adalah faktor keamanan, seharusnya Pilkada 2024 cukup digelar dua tahap di bulan November yang sama dengan jarak dua sampai tiga pekan agar personel Polri tak terpecah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan 'Hardware'

Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan "Hardware"

Nasional
Indonesia Harus Kembangkan 'Drone AI' Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

Indonesia Harus Kembangkan "Drone AI" Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

Nasional
Tak Kunjung Tegaskan Diri Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Sedang Tunggu Hubungan Jokowi dan Prabowo Renggang

Tak Kunjung Tegaskan Diri Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Sedang Tunggu Hubungan Jokowi dan Prabowo Renggang

Nasional
Tingkatkan Kapasitas SDM Kelautan dan Perikanan ASEAN, Kementerian KP Inisiasi Program Voga

Tingkatkan Kapasitas SDM Kelautan dan Perikanan ASEAN, Kementerian KP Inisiasi Program Voga

Nasional
9 Eks Komisioner KPK Surati Presiden, Minta Jokowi Tak Pilih Pansel Problematik

9 Eks Komisioner KPK Surati Presiden, Minta Jokowi Tak Pilih Pansel Problematik

Nasional
Tak Undang Jokowi di Rakernas, PDI-P Pertegas Posisinya Menjadi Oposisi

Tak Undang Jokowi di Rakernas, PDI-P Pertegas Posisinya Menjadi Oposisi

Nasional
Bea Cukai: Pemerintah Sepakati Perubahan Kebijakan dan Pengaturan Barang Impor

Bea Cukai: Pemerintah Sepakati Perubahan Kebijakan dan Pengaturan Barang Impor

Nasional
Setelah Mahasiswa, DPR Buka Pintu untuk Perguruan Tinggi yang Ingin Adukan Persoalan UKT

Setelah Mahasiswa, DPR Buka Pintu untuk Perguruan Tinggi yang Ingin Adukan Persoalan UKT

Nasional
Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pengamat: Hubungan Sudah “Game Over”

Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pengamat: Hubungan Sudah “Game Over”

Nasional
Jokowi Tak Diundang Rakernas PDI-P, Pengamat: Sulit Disatukan Kembali

Jokowi Tak Diundang Rakernas PDI-P, Pengamat: Sulit Disatukan Kembali

Nasional
UKT Mahal, Komisi X Minta Dana Pendidikan Juga Dialokasikan untuk Ringankan Beban Mahasiswa

UKT Mahal, Komisi X Minta Dana Pendidikan Juga Dialokasikan untuk Ringankan Beban Mahasiswa

Nasional
Jokowi Ingin TNI Pakai 'Drone', Guru Besar UI Sebut Indonesia Bisa Kembangkan 'Drone AI'

Jokowi Ingin TNI Pakai "Drone", Guru Besar UI Sebut Indonesia Bisa Kembangkan "Drone AI"

Nasional
Komisi X DPR RI Bakal Panggil Nadiem Makarim Imbas Kenaikan UKT

Komisi X DPR RI Bakal Panggil Nadiem Makarim Imbas Kenaikan UKT

Nasional
Jawab Kebutuhan dan Tantangan Bisnis, Pertamina Luncurkan Competency Development Program

Jawab Kebutuhan dan Tantangan Bisnis, Pertamina Luncurkan Competency Development Program

Nasional
Kemenag: Jemaah Haji Tanpa Visa Resmi Terancam Denda 10.000 Real hingga Dideportasi

Kemenag: Jemaah Haji Tanpa Visa Resmi Terancam Denda 10.000 Real hingga Dideportasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com