JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Agung (MA) memangkas hukuman Ferdy Sambo dan tiga pelaku lain dalam kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Sedianya, di pengadilan tingkat pertama, Ferdy Sambo divonis hukuman mati. Vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) itu lebih tinggi dari tuntutan jaksa yang meminta hakim menghukum Sambo penjara seumur hidup.
Tak terima atas vonis tersebut, Sambo mengajukan banding. Namun, banding itu ditolak dan malah diperkuat oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.
Belum puas, Sambo mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung. Oleh MA, hukumannya diringankan menjadi seumur hidup penjara.
Baca juga: Ferdy Sambo, Ricky Rizal, dan Kuat Maruf Dieksekusi ke Lapas Kelas IIA Salemba
Perkara kasasi Sambo dkk diadili oleh lima Hakim MA yakni Hakim Agung Suhadi sebagai Ketua Majelis, bersama empat anggotanya yaitu Suharto, Jupriyadi, Desnayeti, dan Yohanes Priyana. Ada sejumlah hal yang jadi pertimbangan hakim meringankan hukuman Sambo Cs. Berikut perinciannya.
Salah satu yang jadi pertimbangan Majelis Hakim MA memangkas hukuman Sambo ialah pengabdian mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri itu selama puluhan tahun di institusi Bhayangkara.
“Karena bagaimanapun terdakwa saat menjabat sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan jabatan terakhir sebagai Kadiv Propam pernah berjasa kepada negara dengan berkontribusi ikut menjaga ketertiban dan keamanan serta menegakkan hukum di Tanah Air,” demikian pertimbangan hakim dalam salinan putusan yang diterima Kompas.com, Senin (28/3/2023).
“Terdakwa telah mengabdi sebagai anggota Polri kurang lebih 30 tahun,” lanjut pertimbangan hakim.
Tak hanya itu, oleh hakim, Sambo juga disebut telah mengakui kesalahannya dan siap bertanggungjawab atas perbuatan yang dia lakukan.
“Sehingga selaras dengan tujuan pemidanaan yang ingin menumbuhkan rasa penyesalan bagi pelaku tindak pidana,” sebut hakim.
Menurut hakim, Sambo memang terbukti bersalah karena memerintahkan Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E menembak Brigadir J. Namun, hal itu dipicu oleh peristiwa di Magelang, Jawa Tengah.
Baca juga: Babak Akhir Upaya Hukum Keluarga Yosua Usai Vonis Mati Ferdy Sambo Dibatalkan MA...
Peristiwa di Magelang itu disebut mengguncang jiwa Sambo karena menyangkut harkat dan martabat serta harga diri keluarga, sehingga ia marah besar kepada Yosua.
Meski tak dapat dibuktikan peristiwa apa yang sesungguhnya terjadi di Magelang, menurut hakim, hal itu tak dapat menghilangkan perbuatan pidana Sambo.
“Hal tersebut tetap dipertimbangkan dalam menjatuhkan pidana yang adil bagi terdakwa dilihat dari segi alasan mengapa terdakwa melakukan tindak pidana karena telah menjadi fakta hukum di persidangan,” demikian pertimbangan hakim.
“Bahwa dengan pertimbangan tersebut, dihubungkan dengan keseluruhan fakta hukum perkara a quo, maka demi asas kepastian hukum yang berkeadilan serta proporsionalitas dalam pemidanaan, terhadap pidana mati yang telah dijatuhkan judex facti kepada terdakwa perlu diperbaiki menjadi pidana penjara seumur hidup,” lanjut hakim.
Dalam perkara Sambo, dua hakim MA, Jupriyadi dan Desnayeti, menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda. Kedua hakim ingin Sambo tetap dihukum mati.
Menurut Jupriyadi, bagaimanapun, tindakan Sambo tidak dapat dibenarkan oleh hukum. Sebab, saat penembakan terjadi, Sambo merupakan aparat penegak hukum yang menduduki jabatan tinggi di institusi Polri sebagai Kadiv Propam.
"Terdakwa merupakan salah satu teladan bagi seluruh anggota Polri," demikian alasan Jupriyadi, dikutip dari salinan putusan.
Sementara, hakim MA lainnya, Desnayeti, menilai bahwa tak seharusnya Sambo begitu emosi setelah mendengar laporan dari istrinya soal dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Brigadir J di rumah Magelang.
Menurut Desnayeti, sebagai seorang pejabat utama Polri, Sambo seharusnya melakukan cek dan ricek terhadap kebenaran laporan tersebut.
"Bukan hanya percaya begitu saja menerima laporan/cerita dari istri terdakwa (Putri Candrawathi) secara sepihak," katanya.
Desnayeti juga menilai, Sambo memang menginginkan Brigadir J tewas lantaran dia ikut menembakkan pistol ke ajudannya itu setelah Bharada E melepaskan tembakan, sehingga sudah seharusnya mantan jenderal bintang dua tersebut dihukum mati.
Bersamaan dengan itu, hukuman istri Sambo, Putri Candrawathi, juga didiskon setengahnya, dari 20 tahun penjara menjadi 10 tahun penjara.
Status Putri sebagai ibu dari empat orang anak jadi salah satu pertimbangan hakim memangkas hukuman bendahara umum pengurus pusat Bhayangkari itu.
“Bahwa terdakwa merupakan ibu dari 4 orang anak, bahkan memiliki putra bungsu masih di bawah usia 3 tahun (batita) yang tentunya membutuhkan asuhan, kasih sayang dan perhatian dari orang tua, terutama terdakwa selaku ibunya,” demikian pertimbangan hakim.
Namun, menurut hakim, Putri sebenarnya ingin menyelesaikan masalah tersebut secara baik-baik tanpa kekerasan.
Apalagi, sesaat setelah terjadi peristiwa di Magelang, Putri telah bertemu dengan Yosua dan menyatakan memaafkan perbuatan ajudan Ferdy Sambo itu.
“Bahwa dari segi keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatannya, terdakwa bukan sebagai orang yang terlibat langsung melakukan pembunuhan terhadap korban karena yang melakukan penembakan terhadap korban adalah saksi Richard Eliezer Pudihang Lumiu dan saksi Ferdy Sambo,” bunyi pertimbangan hakim.
“Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa perlu diperbaiki dengan menjatuhkan pidana penjara yang lamanya sebagaimana disebutkan dalam amar putusan,” lanjut pertimbangan hakim.
Hukuman asisten rumah tangga (ART) Sambo dan Putri, Kuat Ma’ruf, juga dikorting dari 15 tahun penjara menjadi 10 tahun penjara.
Menurut Hakim MA, vonis 15 tahun penjara untuk Kuat terlalu berat dibandingkan dengan hukuman oleh pelaku utama, dalam hal ini Ferdy Sambo bersama Richard Eliezer.
Sebab, Richard yang terbukti menembak Brigadir J hanya dijatuhi pidana penjara satu tahun enam bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
“Pidana tersebut dinilai terlalu berat dan tidak sebanding dengan kesalahan terdakwa yang bukan sebagai pelaku utama dalam penembakan Korban Nofriansyah Yosua Hutabarat yang dilakukan oleh Ferdy Sambo bersama Richard Eliezer Pudihang Lumiu,” bunyi pertimbangan putusan.
Meski demikian, menurut hakim, situasi ini tak dapat menghilangkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan Kuat, tidak pula menggugurkan pertanggungjawaban pidananya.
“Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dihubungkan dengan keseluruhan fakta hukum perkara a quo bahwa peran terdakwa hanyalah sebagai pelaku turut serta dan bukan pelaku utama sebagaimana diuraikan di atas, maka demi kepastian hukum yang berkeadilan serta asas proporsionalitas dalam pemidanaan, maka pidana yang telah dijatuhkan judex facti kepada terdakwa perlu diperbaiki untuk diringankan agar lebih adil dan setimpal,” demikian pertimbangan putusan.
Pelaku lainnya, yakni mantan ajudan Sambo, Bripka Ricky Rizal, hukumannya juga disunat dari penjara 13 tahun menjadi 8 tahun.
Dalam pertimbangannya, Hakim MA berpandangan, Ricky punya kehendak menolak perintah atasannya untuk membunuh Yosua.
Sebagaimana diketahui, dalam persidangan di tingkat pertama, terungkap bahwa mulanya Sambo memerintahkan Ricky menembak Yosua. Namun, Ricky menolak sehingga Sambo beralih memerintahkan Richard Eliezer.
“Terdakwa memiliki kehendak untuk menolak perintah saksi Ferdy Sambo pada saat diminta untuk menjadi eksekutor dalam menghabisi nyawa Korban Nofriansyah Yosua Hutabarat dengan alasan tidak kuat mental,” demikian pertimbangan hakim.
Hakim juga kembali menyinggung vonis terhadap Richard Eliezer yang hanya 1 tahun 6 bulan penjara, padahal ia merupakan pelaku penembakan Yosua.
Selain itu, lanjut hakim, sebagai seorang ajudan, sulit bagi Ricky untuk menolak seluruh perintah atasannya, dalam hal ini Ferdy Sambo.
“Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dihubungkan dengan keseluruhan fakta hukum perkara a quo bahwa peran terdakwa hanyalah sebagai pelaku turut serta dan bukan pelaku utama sebagaimana diuraikan di atas, maka demi kepastian hukum yang berkeadilan serta asas proporsionalitas dalam pemidanaan, maka pidana yang telah dijatuhkan judex facti kepada terdakwa perlu diperbaiki untuk diringankan agar lebih adil dan setimpal dengan kesalahan terdakwa,” tutur hakim.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.