DIAKUI atau tidak, bergabungnya Partai Golkar dan PAN ke kubu Prabowo Subianto tentu mengagetkan PDIP dan koalisi pendukung Ganjar Pranowo.
Karena, pertama, akan mempersempit kesempatan PDIP untuk memperlebar sayap koalisi untuk memenangkan Ganjar Pranowo.
Kedua, tentu sekaligus akan membatalkan peluang lahirnya poros keempat yang digadang-gadang akan dimotori oleh Golkar dan PAN.
Tentu target utama PDIP adalah yang pertama. Jika berhasil membawa Golkar dan PAN berdiri bersama di Pilpres 2024 mendatang, otomatis mesin politik Ganjar Pranowo akan semakin besar dan akan ikut menambah kepercayaan diri Teuku Umar dalam menyongsong tahun 2024.
Namun jika target pertama gagal, minimal PDIP berharap peluang untuk membuat mesin politik Prabowo Subianto tetap konstan alias tidak bertambah.
Jalan satu-satunya, jika Golkar dan PAN tidak merapat ke PDIP, adalah dengan lahirnya poros keempat. Dengan begitu, akan terjadi distribusi suara secara acak yang akan menghalangi Prabowo Subianto untuk menguasai pertarungan politik secara superdominan.
Langkah ke arah itu telah dilakukan oleh Puan Maharani dan beberapa petinggi PDIP, yakni dengan bertemu Airlangga Hartarto dan petinggi Golkar, sebelum keputusan bergabung dengan Prabowo diambil.
Begitu pula dengan PAN. Dengan memasukkan nama Erick Thohir sebagai salah satu dari lima cawapres Ganjar diasumsikan akan membawa PAN berlabuh di PDIP.
Di samping itu, muncul pula isu dan wacana akan lahirnya kekuatan keempat yang akan dimotori oleh Golkar dan PAN.
Publik tentu cukup bisa memahami isu dan wacana ini mengingat Golkar dan PAN memang jauh-jauh hari sebelumnya telah bersama membawa bendera Koalisi Indonesia Bersatu atau KIB.
Meskipun secara matematis agak sulit tercapai karena secara simbolik sebenarnya kekuatan politik sudah mengkristal kepada tiga pengelompokan berdasarkan tiga nama calon presiden yang sudah muncul, yakni Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo.
Namun setidaknya dengan bertahannya wacana poros keempat tersebut, maka bertahan pula kaki Golkar dan PAN di luar kekuatan Prabowo.
Ternyata terjadi pergerakan politik dadakan yang membatalkan semua harapan itu. Tetiba Golkar dan PAN melabuhkan dukungan secara resmi ke Hambalang, yang membuat mesin politik calon presiden Prabowo Subianto mendadak menjadi tambun.
Jadi diakui oleh PDIP atau tidak, saya meyakini Teuku Umar terkejut dengan gerakan cepat tersebut, bahkan boleh jadi mendadak "nervous" karena menutup pintu untuk dua target di atas, yakni mendapatkan tambahan mesin politik dari Golkar dan PAN di satu sisi dan menghalangi Golkar dan PAN berlabuh di Hambalang di sisi lain.
Terlepas dengan kontroversi politik yang melingkupi keputusan dadakan kedua partai tersebut, yang jelas secara politik praktis PDIP kini tertinggal cukup jauh di belakang.