POLEMIK kasus dugaan korupsi di Badan SAR Nasional (Basarnas) senilai Rp 88,3 miliar meluas. Ini terutama tersebab status tersangka bagi Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai Kepala Basarnas dalam perkara dugaan suap tersebut.
Penanganan perkara yang bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini dinilai seharusnya menggunakan mekanisme peradilan koneksitas. Salah satu yang sependapat adalah mantan penyidik KPK, Novel Baswedan.
Baca juga: Pakar: Kasus Suap Kabasarnas Lebih Baik Ditangani Tim Koneksitas daripada TNI
"Mestinya pakai koneksitas. (Tapi itu) perlu tim bersama. (Masalahnya), KPK tidak koordinasi (sehingga) TNI tangani sendiri (pelaku yang dari militer)," ujar Novel, Rabu (2/8/2023), dalam perbincangan dengan Kompas.com untuk tayangan Gaspol.
Berdasarkan Pasal 89 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), peradilan koneksitas digelar untuk tindak pidana yang melibatkan tersangka dan atau terdakwa warga sipil dan prajurit TNI secara bersama-sama.
Dalam perkara koneksitas, baik pelaku sipil maupun militer harus diperiksa dan diadili bersama di peradilan umum. Pengecualian untuk diperiksa dan diadili di peradilan militer hanya bisa dilakukan bila ada persetujuan dari Menteri Pertahanan serta Menteri Hukum dan HAM.
Baca juga: Kasus Basarnas: Persekongkolan Lelang dan Gurita Korupsi di Indonesia
Pasal 42 UU KPK pun memungkinkan digelarnya peradilan koneksitas ini. Bunyi pasal tersebut, "Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.”
Masalahnya, saat ini perkara "telanjur" berjalan sendiri-sendiri. Puspom TNI telah menetapkan Henri sebagai tersangka dan melakukan penahanan, bersama satu lagi tersangka dari kalangan militer. Hal serupa dilakukan KPK untuk pelaku sipil.
Baca juga: Puspom TNI Resmi Tetapkan Kepala Basarnas dan Bawahannya Tersangka Dugaan Suap
Bila konteksnya adalah mungkin atau tidak, Novel melihat masih ada peluang bagi peradilan koneksitas menangani perkara Basarnas, sekalipun boleh dibilang salah start.
"Masih mungkin saja, mungkin di penuntutan, meski seharusnya dari awal," kata Novel dalam kesempatan yang sama.
Namun, Novel menegaskan bahwa yang terpenting pada akhirnya adalah penuntasan kasus ini. Tajuk rencana harian Kompas edisi Senin (31/7/2023) pun mengangkat dorongan untuk digelarnya peradilan koneksitas demi mencegah penegak hukum kehilangan fokus.
Terlebih lagi, kata Novel, KPK adalah lembaga percontohan. Akan jadi preseden buruk bila polemik perkara Basarnas menjadikan KPK tidak lagi bisa dipercaya dan tidak mengikuti aturan hukum.
"KPK harus dibenerin dulu sehingga kita bisa tetap meletakkan harapan (kepadanya terkait pemberantasan korupsi)," kata Novel.
Meski demikian, Novel menyatakan, pemberantasan korupsi bukan berarti tugas KPK semata. Menurut dia, pemberantasan korupsi adalah tugas negara.
Yang karenanya, lanjut Novel, perlu ada kehendak politik, perencanaan, serta ada penindakan, pencegahan, dan pendidikan masyarakat yang dilakukan beriringan setiap waktu.
Jangan sampai, ungkap Novel, ada permakluman bahwa korupsi itu tidak apa-apa dimulai dari permakluman atas tindakan-tindakan kecil korupsi yang dibiarkan menjadi kebiasaan dan dianggap wajar.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.