Selain melakukan koordinasi, sebelum menetapkan tersangka kepala Basarnas, KPK seharusnya melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam hal ini, melakukan pertemuan dengan pihak Puspom TNI mengenai langkah hukum terhadap anggota TNI aktif yang melakukan tindak pidana.
Menurut hemat saya, dalam kasus dugaan korupsi kepala Basarnas, KPK abai terhadap keberadaan peradilan militer, sehingga menimbulkan kesalapahaman dan keributan akibat penanganan perkara korupsi tersebut.
KPK seharusnya membaca juga UU tentang peradilan militer supaya dapat memahami posisi hukum seseorang anggota TNI aktif ketika ingin menjadikan tersangka.
Tentu ini pelajaran penting mengenai pelaksanaan tugas, wewenang dan kedudukan setiap peradilan dan lembaga negara, sehingga kesalahpahaman ini tidak terulang pada masa depan.
Dugaan korupsi di Basarnas melibatkan banyak pihak. Selain dua perwira TNI aktif, ada juga pihak swasta, bahkan bisa saja mengarah pada tindak pidana korporasi, karena melibatkan perusahaan swasta yang menjadi pemenang tender pengadaan barang dan jasa di Basarnas.
Terlepas dari bukti materiil mengenai tindak pidana korupsi, pada prinsipnya yang menjadi persoalan adalah hukum formil dan yurisdiksi kewenangan pengadilan.
Polemik ini muncul karena Puspom TNI menilai KPK menyalahi UU setelah menetapkan tersangka dua anggota TNI aktif. Seharusnya, menurut TNI, keduanya diadili di peradilan militer.
Ketua KPK Firli Bahuri mengaku bahwa dalam penanganan kasus di Basarnas, pihaknya telah melibatkan Puspom TNI dan sudah dilakukan sesuai prosedur. Namun Puspom TNI membantah klaim tersebut, bahwa mereka tidak dilibatkan.
Silang pendapat ini tentu akan membingungkan publik. Di satu sisi KPK memiliki kewenangan khusus (lex spesialis) untuk memberantas korupsi, tapi di sisi lain korupsi tersebut melibatkan ruang lingkup peradilan militer, bukan peradilan umum.
Dalam problem tersebut, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan solusi. Dalam Pasal 89 KUHAP diatur mengenai peradilan koneksitas.
Peradilan koneksitas adalah peradilan untuk memeriksa dan mengadili tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan peradilan militer.
Peradilan koneksitas dapat dibentuk dalam perkara yang melibatkan Anggota TNI Aktif dengan pihak sipil seperti kasus dugaan korupsi di Basarnas.
Untuk itu, tim penyidik dari Puspom TNI dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi harus terlibat dalam penanganan tindak pidana tersebut.
Tim gabungan dari KPK, Puspom TNI dan Oditur Militer harus dibentuk apabila kasus ini ingin menggunakan peradilan koneksitas dengan keputusan bersama menteri hukum dan HAM serta menteri pertahanan.