Salin Artikel

Kasus Dugaan Korupsi Kepala Basarnas, Perlukah Peradilan Koneksitas?

Penetapan tersangka keduanya bagi Puspom TNI menyalahi aturan. Alasannya, militer memiliki aturan dan peradilan tersendiri untuk menghukum anggota yang melanggar hukum.

Karena protes itu, pimpinan KPK meminta maaf atas kekeliruan yang dilakukan pihaknya dan akan lebih berhati-hati lagi menangani kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI aktif.

Permintaan maaf KPK itu dipertanyakan oleh banyak pihak. KPK dinilai tidak sepantasnya menyampaikan permintaan maaf, sebab prosedur hukum pemberantasan korupsi sudah dijalankan menurut ketentuan hukum.

Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, pejabat, pihak yang berkaitan dengan korupsi penegak hukum itu (swasta) untuk disidik dan dituntut berdasarkan UU Tipikor.

Meskipun secara khusus UU Tipikor memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap pelaku korupsi, tetapi tidak semua kejahatan korupsi bisa ditangani KPK.

Ada batasan tertentu yang harus diperhatikan. Dalam Pasal 11 UU KPK (UU Nomor 19 Tahun 2019 Perubahan Kedua Atas UU 30 Tahun 2002) dijelaskan bahwa dalam melaksanakan tugas monitoring terhadap penyelenggara negara, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang: a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara; dan/atau b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Kalau kita tarik dalam dugaan korupsi yang melibatkan kepala Basarnas, kategori aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang berkaitan dengan kasus tersebut dan kerugian negara paling sedikit satu miliar rupiah, maka kasus dugaan korupsi kepala Basarnas itu memenuhi syarat untuk disidik KPK.

Permasalahan yang muncul kemudian, kepala Basarnas dan stafnya adalah anggota TNI aktif dan mereka tunduk pada peradilan militer.

Dalam peradilan militer ada mekanisme tersendiri yang mengatur bagaimana seorang militer aktif terlibat kasus pelanggaran hukum.

Dalam ketentuan pasal 5 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1997 disebutkan “Peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara”.

Anggota militer aktif secara hukum berada dalam yurisdiksi peradilan militer. Ruang lingkup peradilannya telah diatur konstitusi dan UU.

Karena peradilan militer memiliki ruang lingkup sendiri, maka anggota TNI aktif yang tertibat kasus korupsi atau kejahatan lainnya harus dikoordinasikan dengan Puspom TNI dan Orditur yang bertugas melakukan penyidikan dan penuntutan di peradilan militer.

Dalam UU KPK terdapat aturan koordinasi tersebut. Pasal 8 menyebutkan,“KPK dalam melaksanakan tugas koordinasi berwenang: a. mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

Dalam perkara ini, koordinasi antarlembaga menjadi penting karena melibatkan dua model peradilan, yaitu peradilan umum dan peradilan militer.

Selain melakukan koordinasi, sebelum menetapkan tersangka kepala Basarnas, KPK seharusnya melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam hal ini, melakukan pertemuan dengan pihak Puspom TNI mengenai langkah hukum terhadap anggota TNI aktif yang melakukan tindak pidana.

Menurut hemat saya, dalam kasus dugaan korupsi kepala Basarnas, KPK abai terhadap keberadaan peradilan militer, sehingga menimbulkan kesalapahaman dan keributan akibat penanganan perkara korupsi tersebut.

KPK seharusnya membaca juga UU tentang peradilan militer supaya dapat memahami posisi hukum seseorang anggota TNI aktif ketika ingin menjadikan tersangka.

Tentu ini pelajaran penting mengenai pelaksanaan tugas, wewenang dan kedudukan setiap peradilan dan lembaga negara, sehingga kesalahpahaman ini tidak terulang pada masa depan.

Peradilan koneksitas

Dugaan korupsi di Basarnas melibatkan banyak pihak. Selain dua perwira TNI aktif, ada juga pihak swasta, bahkan bisa saja mengarah pada tindak pidana korporasi, karena melibatkan perusahaan swasta yang menjadi pemenang tender pengadaan barang dan jasa di Basarnas.

Terlepas dari bukti materiil mengenai tindak pidana korupsi, pada prinsipnya yang menjadi persoalan adalah hukum formil dan yurisdiksi kewenangan pengadilan.

Polemik ini muncul karena Puspom TNI menilai KPK menyalahi UU setelah menetapkan tersangka dua anggota TNI aktif. Seharusnya, menurut TNI, keduanya diadili di peradilan militer.

Ketua KPK Firli Bahuri mengaku bahwa dalam penanganan kasus di Basarnas, pihaknya telah melibatkan Puspom TNI dan sudah dilakukan sesuai prosedur. Namun Puspom TNI membantah klaim tersebut, bahwa mereka tidak dilibatkan.

Silang pendapat ini tentu akan membingungkan publik. Di satu sisi KPK memiliki kewenangan khusus (lex spesialis) untuk memberantas korupsi, tapi di sisi lain korupsi tersebut melibatkan ruang lingkup peradilan militer, bukan peradilan umum.

Dalam problem tersebut, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan solusi. Dalam Pasal 89 KUHAP diatur mengenai peradilan koneksitas.

Peradilan koneksitas adalah peradilan untuk memeriksa dan mengadili tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan peradilan militer.

Peradilan koneksitas dapat dibentuk dalam perkara yang melibatkan Anggota TNI Aktif dengan pihak sipil seperti kasus dugaan korupsi di Basarnas.

Untuk itu, tim penyidik dari Puspom TNI dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi harus terlibat dalam penanganan tindak pidana tersebut.

Tim gabungan dari KPK, Puspom TNI dan Oditur Militer harus dibentuk apabila kasus ini ingin menggunakan peradilan koneksitas dengan keputusan bersama menteri hukum dan HAM serta menteri pertahanan.

Jadi Ketua KPK tidak bisa mengklaim sudah melibatkan TNI tanpa ada keputusan menteri hukum dan HAM.

Untuk membuat peradilan koneksitas tidak hanya melakukan koordinasi antarlembaga, tetapi memerlukan keputusan menteri supaya tidak terjadi tumpang tindih atau silang pendapat antara penyidik militer dan KPK.

Penyataan Ketua KPK, menurut saya, tanpa keputusan menkumham dan menhan hanya penyataan mengada-ada.

Atau kalau sekiranya memang tindak pidana korupsi yang terjadi di Basarnas mau diadili di dua peradilan, bagi saya tidak menjadi soal.

Untuk dua anggota TNI aktif, mereka bisa diadili di peradilan militer dan untuk pelaku yang berasal dari sipil diadili di pengadilan Tipikor.

Terlepas dari kekeliruan penanganan KPK karena tidak memperhatikan ketentuan perundang-undangan lain yang mengatur sistem peradilan di Indonesia, kita sepakat bahwa perbuatan materil dari pelaku tindak pidana korupsi di Basarnas harus diproses hukum sampai tuntas.

Jangan sampai polemik ini akan melepaskan para pelaku dari tuntutan dan pertanggungjawaban hukum.

https://nasional.kompas.com/read/2023/07/31/10000081/kasus-dugaan-korupsi-kepala-basarnas-perlukah-peradilan-koneksitas-

Terkini Lainnya

Jokowi Bersepeda di CFD Sudirman-Thamrin sambil Menyapa Warga Jakarta

Jokowi Bersepeda di CFD Sudirman-Thamrin sambil Menyapa Warga Jakarta

Nasional
KPK Kantongi Data Kerugian Ratusan Miliar dalam Kasus PT Taspen, tapi Masih Tunggu BPK dan BPKP

KPK Kantongi Data Kerugian Ratusan Miliar dalam Kasus PT Taspen, tapi Masih Tunggu BPK dan BPKP

Nasional
4 Kapal Perang Angkut Puluhan Rantis Lapis Baja demi Pengamanan WWF ke-10 di Bali

4 Kapal Perang Angkut Puluhan Rantis Lapis Baja demi Pengamanan WWF ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Pilih Rahmat Mirzani Djausal sebagai Bacagub Lampung

Prabowo Pilih Rahmat Mirzani Djausal sebagai Bacagub Lampung

Nasional
KPK Masih Telusuri Pemberi Suap Izin Tambang Gubernur Maluku Utara

KPK Masih Telusuri Pemberi Suap Izin Tambang Gubernur Maluku Utara

Nasional
Menhub Budi Karya Diminta Jangan Cuma Bicara soal Sekolah Kedinasan Tanggalkan Atribut Militer

Menhub Budi Karya Diminta Jangan Cuma Bicara soal Sekolah Kedinasan Tanggalkan Atribut Militer

Nasional
Potret 'Rumah Anyo' Tempat Singgah Para Anak Pejuang Kanker yang Miliki Fasilitas Bak Hotel

Potret 'Rumah Anyo' Tempat Singgah Para Anak Pejuang Kanker yang Miliki Fasilitas Bak Hotel

Nasional
Logo dan Moto Kunjungan Paus Fransiskus Dirilis, Ini Maknanya

Logo dan Moto Kunjungan Paus Fransiskus Dirilis, Ini Maknanya

Nasional
Viral Pengiriman Peti Jenazah Dipungut Bea Masuk, Ini Klarifikasi Bea Cukai

Viral Pengiriman Peti Jenazah Dipungut Bea Masuk, Ini Klarifikasi Bea Cukai

Nasional
Pemilihan Calon Pimpinan KPK yang Berintegritas Jadi Kesempatan Jokowi Tinggalkan Warisan Terakhir

Pemilihan Calon Pimpinan KPK yang Berintegritas Jadi Kesempatan Jokowi Tinggalkan Warisan Terakhir

Nasional
Saat 'Food Estate' Jegal Kementan Raih 'WTP', Uang Rp 5 Miliar Jadi Pelicin untuk Auditor BPK

Saat "Food Estate" Jegal Kementan Raih "WTP", Uang Rp 5 Miliar Jadi Pelicin untuk Auditor BPK

Nasional
Usai Prabowo Nyatakan Tak Mau Pemerintahannya Digangggu...

Usai Prabowo Nyatakan Tak Mau Pemerintahannya Digangggu...

Nasional
Kloter Pertama Jemaah Haji Berangkat, Menag: Luruskan Niat Jaga Kesehatan

Kloter Pertama Jemaah Haji Berangkat, Menag: Luruskan Niat Jaga Kesehatan

Nasional
Ketua KPU yang Tak Jera: Perlunya Pemberatan Hukuman

Ketua KPU yang Tak Jera: Perlunya Pemberatan Hukuman

Nasional
Nasib Pilkada

Nasib Pilkada

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke