Adapun angka 20 yang terakhir menunjukkan 20 persen orang dalam lingkup suatu pekerjaan yang memang dari awal berniat dan atau berusaha melakukan korupsi.
"Artinya, sebagus-bagusnya sistem, enggak bisa dibiarkan begitu saja. Ada 20 persen yg memang punya niat korupsi dan 60 persen bisa berubah (menjadi korup sekalipun tidak ada niat pada awalnya) ketika punya kesempatan,"ujar Ade, Kamis (27/7/2023).
Dari sini, ungkap Ade, kaitan berikutnya adalah teori fraud triangle. Teori ini mengungkap tiga alasan orang melakukan fraud alias kecurangan, termasuk persengkongkolan lelang dalam perkara-perkara korupsi.
Ketiga alasan itu adalah tekanan, kesempatan, dan justifikasi atau pembenaran.
"Nah, 60 persen orang dari teori sebelumnya bisa melakukan korupsi karena tiga kemungkinan alasan ini," kata Ade.
Bisa jadi, ujar Ade, ada ruang untuk persekongkolan itu. Misal, terbuka ruang memasukkan vendor tertentu atau ada tekanan dari atasan untuk memberi setoran.
Secara umum, ungkap Ade, e-procurement yang kini dipakai pemerintah sebagai mekanisme pengadaan barang dan jasa sudah bagus. Namun, sistem yang bagus pun ketika tidak diawasi, dievaluasi, dan diperbaiki, tetap selalu ada kemungkinan disiasati.
"Sistem jangan sekali jadi (lalu tidak ada pengawasan, evaluasi, dan atau perbaikan)," tegas Ade.
Direktur Eksekutif Nara Integrita Indonesia, Ibrahim Fahmy Badoh, membenarkan pula bahwa persekongkolan lelang merupakan modus dominan dalam praktik korupsi di Indonesia, terutama terkait penggunaan anggaran negara.
Fahmy pun menyebut skandal e-KTP sebagai salah satu contoh lain yang kasat mata soal persekongkolan lelang ini.
Baca juga: E-KTP... Deja Vu Tudingan Nazaruddin yang Beneran Jadi Perkara
"Kasus e-KTP sangat jelas jika lelangnya berbasis persekongkolan dari mulai pembentukan program, memastikan anggaran, hingga penentuan pemenang," ujar Fahmy, Kamis.
Lolosnya persengkongkolan lelang sebagai modus korupsi di Indonesia sekalipun sudah memakai mekanisme digital bukan tidak terendus oleh sejumlah lembaga pemantau dan pegiat anti-korupsi. Indeks global pun bicara hal yang sama.
Baca juga: Menyusuri Jejak Lama Bau Busuk Proyek E-KTP...
Setidaknya, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia untuk 2022 menjadi kabar buram soal ini. Dirilis oleh Tranparency International Indonesia (TII) pada 31 Januari 2023, IPK Indonesia 2022 mencatatkan penurunan terburuk sejak indeks ini diluncurkan pertama kali pada 1995.
Dibanding 2021, IPK Indonesia 2022 turun 4 poin, dengan skor 34 dari 100.
Baca juga: IPK Indonesia Turun, Janji Jokowi Lawan Korupsi Dinilai Tak Bermakna
Posisi Indonesia dalam IPK global pun ada di setengah belakang, yaitu di posisi 110 dari 180 negara yang dipantau Transparency International (TI). Rekor "terbaik" Indonesia dalam salah satu indeks global ini hanya mencatatkan poin 32 dari 100, yaitu pada 2012.