Namun demikian, dengan cepat, aksi mimbar bebas berubah menjadi bentrokan terbuka antara massa dengan aparat keamanan.
Lewat siang hari, bentrokan terbuka antara massa dan aparat semakin meningkat, sehingga aparat menambah kekuatan. Tak lama, massa terdesak mundur ke arah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Jalan Salemba.
Situasi kian kaos ketika sore hari massa mulai melakukan aksi pembakaran. Sedikitnya, tiga bus kota terbakar, termasuk satu bus tingkat. Massa juga membakar beberapa gedung di Jalan Salemba.
Lantaran situasi semakin tak terkendali, sekitar pukul 16.35 lima panser, tiga kendaraan militer khusus pemadam kebakaran, 17 truk dan sejumlah kendaraan militer lainnya dikerahkan dari Jalan Diponegoro menuju Jalan Salemba.
Massa pun berangsur-angsur membubarkan diri. Meski begitu, hingga pukul 19.00, api di sejumlah gedung belum berhasil dipadamkan.
Jauh sebelum Kudatuli terjadi, Megawati bergabung dengan PDI pada tahun 1987. Saat itu, partai tersebut dipimpin oleh Soerjadi.
Rupanya, kehadiran Mega berhasil mendongkrak elektabilitas PDI. Sebelumnya, PDI selalu menjadi partai buntut di pemilu dengan perolehan suara tak lebih besar dari Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Popularitas Megawati yang terus memelesat pun membuat Soerjadi merasa terancam dan ketar-ketir.
Baca juga: Saat 5 Nyawa Melayang dan Ratusan Terluka akibat Kerusuhan 27 Juli 1996...
Sedianya, 23 Juli 1993, tiga tahun sebelum peristiwa Kudatuli, Soerjadi kembali terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Namun, jalan Soerjadi untuk kembali duduk di tahta tertinggi partai tersendat lantaran dia diterpa isu penculikan kader.
Atas dugaan itulah, PDI menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya. Dari KLB tersebut, Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI, merebut kursi pimpinan partai dari Soerjadi.
Terpilihnya Megawati itu dikukuhkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) yang digelar di Jakarta pada 22 Desember 1993. Megawati resmi menjabat Ketua Umum PDI periode 1993-1998.
Namun, baru 3 tahun berjalan, PDI menggelar Kongres di Medan. Lewat kongres yang digelar 22 Juni 1996 itu, Soerjadi dinyatakan sebagai ketua umum PDI masa jabatan 1996-1998. Dari situlah, lahir dualisme kepemimpinan, menghadapkan Megawati dengan Soerjadi.
Sementara, pemerintahan Presiden Soeharto saat itu hanya mengakui DPP PDI hasil Kongres Medan pimpinan Soerjadi. Praktis, hasil Munas Jakarta tak dianggap, kepemimpinan Megawati tidak diakui.
Baca juga: Sabtu Kelabu 27 Juli 1996, Saat Konflik PDI Berujung Kerusuhan yang Telan Rp 100 Miliar...
Gesekan antara kubu Megawati dan kubu Soerjadi pun terus membesar. Puncaknya, kerusuhan pecah pada 27 Juli 1996.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, sedikitnya 5 orang tewas, 149 luka, dan 23 orang dilaporkan hilang akibat huru-hara tersebut.
Menurut laporan Komnas HAM, kelima korban tewas adalah Asmayadi Soleh dan Slamet yang meninggal akibat kekerasan benda tumpul, lalu, Suganda Siagian karena luka bakar, Uju bin Asep diduga karena sakit jantung, dan Sariwan karena kena tembakan. Penyebab kematian lima orang tersebut berdasarkan hasil visum dan keterangan dokter.
Masih menurut Komnas HAM, sebanyak 149 korban luka-luka berasal dari kalangan sipil dan militer.
Sementara, pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat itu mencatatkan kerugian material akibat Kerusuhan 27 Juli 1996 mencapai lebih dari Rp 100 miliar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.