JAKARTA, KOMPAS.com - Nama Prabowo Subianto selalu dikaitkan dengan peristiwa kerusuhan Mei 1998. Dia disebut sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab atas beberapa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi saat itu.
Karena jabatan Prabowo saat itu sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, ia banyak dicurigai sebagai orang yang bertanggung jawab atas peristiwa penculikan aktivis 98.
Tuduhan-tuduhan itu dibarengi dengan bocornya surat pemecatan terhadap Prabowo yang dikeluarkan oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP).
Ada sejumlah persoalan yang membuat para jenderal senior dalam DKP itu merekomendasikan pemecatan yakni karena Prabowo dianggap bertindak melampaui wewenang dan tidak berkoordinasi dengan Panglima ABRI saat itu dalam melakukan operasi penangkapan aktivis hingga pengerahan pasukan pada tahun 1998.
Baca juga: Fransisca, Gadis Cilik Korban Pemerkosaan Mei 1998 dan Cerita yang Kian Terkubur
Tetapi, keterlibatan Prabowo dengan huru-hara tahun 1998 justru diragukan aktivis pergerakan mahasiswa kala itu, yaitu Fahri Hamzah.
Fahri punya versi berbeda dari kebanyakan tuduhan kepada Prabowo. Menurut dia, ada sisi lain yang tidak diketahui Prabowo, salah satunya adalah Prabowo yang begitu keras mengkritik rezim Soeharto yang merupakan mertuanya sendiri.
Cerita Fahri bermula dari keluarga Prabowo yang disebut kritis terhadap rezim Orde Baru yang dikenal sangat otoriter.
Ayah Prabowo Soemitro Djojohadikoesoemo merupakan cendekiawan sekaligus ekonom yang menggemparkan rezim Orde Baru karena pernyataannya terkait Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang bocor di era Soeharto.
"Tahun '90, bapaknya Pak Prabowo itu Prof Soemitro pendiri Fakultar Ekonomi UI membuat pernyataan yang sangat menghebohkan pada waktu itu dia mengatakan bahwa APBN itu bocor 30 persen. Itu gempar seluruh Indonesia, padahal Pak Harto lagi kuat-kuatnya dan lagi berkuasa," kata Fahri saat ditemui di Taliwang Heritage, Depok, Rabu (17/5/2023).
Baca juga: GASPOL! Hari Ini: Benarkah Prabowo Dalang Penculikan Aktivis 98?
Fahri mengatakan, kritik Soemitro tersebut secara tak langsung turun kepada Prabowo. Kelakuan ayah Prabowo membuat orang-orang di dekat Soeharto merasa waspada.
Terlebih, kata Fahri, Prabowo seringkali menggelar diskusi dengan gerakan mahasiswa kelompok kanan dan para NGO.
"Itu lah salah satu yang menyebabkan mungkin Pak Prabowo juga seperti di cyrcle fanatik Pak Harto dianggap sebagai pengkhianat juga," tutur dia.
Kesaksian Fahri, Prabowo bukan sekali-dua kali membangun komunikasi dengan gerakan mahasiswa. Sejak berpangkat kolonel, Prabowo telah mengkritik rezim Seoharto dengan beberapa pidatonya.
Baca juga: 25 Tahun Reformasi: Soeharto Lengser, Habibie Jadi Presiden hingga Isu Kudeta
Prabowo juga disebut membuat lembaga studi dan merekrut intelektual muda seperti Fadli Zon, Amir Syamsuddin, hingga Din Syamuddin untuk membaca gerak politik Indonesia di masa depan.
Menurut Fahri, Prabowo lewat tim intelektual yang direkrut sudah tahu apa yang akan terjadi dari gerakan mahasiswa. Tetapi, Prabowo kesulitan menyampaikan hasil temuannya kepada Soeharto karena memang dia dinilai sebagai pengkhianat oleh orang-orang dekat Soeharto.