JAKARTA, KOMPAS.com - Kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang kini dikenal sebagai peristiwa Kudatuli menjadi sejarah kelam perpolitikan Indonesia.
Bagaimana tidak, sedikitnya 5 orang tewas, 149 luka, dan 23 orang dilaporkan hilang akibat peristiwa berdarah di kawasan kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di kawasan Menteng, Jakarta Pusat itu. Demikian dilaporkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 12 Oktober 1996.
Komnas HAM mencatat, kelima korban tewas adalah Asmayadi Soleh dan Slamet yang meninggal akibat kekerasan benda tumpul, lalu, Suganda Siagian karena luka bakar, Uju bin Asep diduga karena sakit jantung, dan Sariwan karena kena tembakan.
Penyebab kematian lima orang tersebut berdasarkan hasil visum dan keterangan dokter.
"Laporan ini juga disampaikan kepada pemerintah. Tidak tertutup kemungkinan angka korban yang meninggal dalam kaitan peristiwa itu bertambah," kata Ketua Komnas HAM saat itu, Munawir Sjadzali, dikutip dari Harian Kompas edisi 13 Oktober 1996.
Baca juga: Mengenang Peristiwa Kudatuli: Saat Konflik Partai Berujung Kerusuhan Mencekam
Menurut temuan Komnas HAM, sebanyak 149 korban luka-luka berasal dari kalangan sipil dan militer.
Adapun 23 orang dinyatakan hilang hingga 10 Oktober 1996. Pengertian hilang diartikan bagi mereka yang belum pulang ke alamat asal, belum dapat dihubungi, dalam perjalanan dan/atau kemungkinan meninggal.
Selain korban jiwa dan luka, peristiwa Kudatuli juga menyebabkan kerugian materiil hingga Rp 100 miliar. Pemerintah DKI Jakarta saat itu mencatat, kerugian tersebut meliputi harta benda yang hilang, termasuk milik pedagang kecil, di sekitar lokasi kerusuhan.
Menurut Komnas HAM, kerusuhan 27 Juli 1996 tidak terlepas dari konflik internal PDI yang menjadi terbuka karena campur tangan faktor eksternal.
Kejadian itu melibatkan tiga unsur, yakni unsur pihak-pihak yang bertikai yang terdiri kelompok DPP PDI Kongres Medan pimpinan Soerjadi dan Kelompok DPP PDI Munas 1993 pimpinan Megawati Soekarnoputri. Lalu, unsur pemerintah, termasuk aparat keamanan, dan unsur masyarakat.
Baca juga: Kenang 26 Tahun Kudatuli Saat Kantor PDI Diserang, Hasto: Titik Sangat Gelap dalam Demokrasi
“Peristiwa pengambilalihan gedung Sekretariat DPP PDI di Jl. Diponegoro 58, Jakarta Pusat tanggal 27 Juli 1996 adalah tindakan yang disertai kekerasan oleh DPP PDI Kongres Medan dan kelompok pendukungnya, yang dilakukan bersama-sama dengan aparat keamanan,” demikian temuan Komnas HAM.
“Hal ini merupakan peristiwa lanjutan dari urutan kejadian-kejadian sebelumnya yang bertalian dengan penciptaan konflik terbuka dalam tubuh PDI di dalam mana pemerintah/aparatur telah melibatkan diri secara berlebihan dan berpihak serta di luar proporsi fungsinya sebagai pembina politik dan aparat keamanan,” bunyi temuan Komnas HAM lagi.
Disebutkan Komnas HAM, pecahnya kerusuhan yang lantas menjalar di sekitar Jalan Diponegoro, Proklamasi, Salemba, Matraman, Kramat Raya, dan Senen itu disebut terpengaruh oleh efek penggunaan kekerasan dari peristiwa pengambilalihan gedung DPP PDI.
Komnas HAM menilai, dalam peristiwa tersebut telah terjadi enam wujud pelanggaran HAM oleh berbagai pihak. Pertama, pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat (freedom of assembly and association).
Baca juga: Komnas HAM Disebut Belum Pernah Rekomendasikan Peristiwa Kudatuli sebagai Pelanggaran Berat HAM
Lalu, pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut (freedom from fear), pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan keji dan tidak manusiawi (freedom from cruel and in human treatment) dan pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia (right to security of person). Juga pelanggaran asas perlindungan atas harta benda (right to property).