TULISAN Bivitri Susanti di Harian Kompas, 13 Juli 2023, dahsyat betul. Ia menyoroti fenomena state capture corruption di Indonesia – pejabat, politisi, bahkan pihak di luar pemerintahan kini sudah bahu-membahu membuat kebijakan yang menguntungkan mereka sendiri. Semua sevisi, seperti tiada narasi oposisi.
Hal ini makin diperparah dengan tertutupnya lembaga pemerintahan terhadap ruang dialog atas kebijakannya. Seperti enggan mendengarkan pendapat dan masukan publik, mereka mengesahkan undang-undang yang masih berpolemik – beberapa malah secara buru-buru.
Pola semuanya pun sama: gugat di Mahkamah Konstitusi dengan embel-embel “inilah mekanisme konstitusional”, seperti disampaikan presiden soal Undang-undang Ciptaker (Kompas.com, Oktober 2020); Menkumham soal RKUHP (Antara, Desember 2022); sampai yang terbaru saat anggota DPR bicara soal UU Kesehatan (Sindonews, Juli 2023).
Rekomendasi dari akademisi STHI Jentera itu untuk menghentikan rongrongan politik kartel di Indonesia sebenarnya sederhana saja.
Karena partai politik menjadi lokomotif dalam korupsi sistemis ini, mulailah dari merombak internal parpol agar lebih demokratis dan bisa berpolitik secara lebih beradab (Negara Disandera Kartel Politik - Susanti, 2023).
Sebab kerusakan yang sudah sistemis harus dibenahi secara sistematis pula.
Berkenaan dengan itu, sebelum nantinya disisipkan ke dalam pemerintahan, kami ingin menitipkan agar partai mana pun nantinya yang terketuk nuraninya untuk berbenah bisa mendirikan suatu divisi atau setidaknya menaruh tokoh akselerator dalam reformasi sistemnya.
Semacam profesi masa lalu yang ternyata kontribusinya besar dalam dinamika berpolitik. Namanya, court jester atau badut istana.
Meski namanya badut istana, tidak semua dari mereka kerjaannya sekadar “membadut”, menghibur raja atau ratunya.
Para jester ini juga ada yang aktif memberikan pertimbangan dan narasi tandingan agar raja atau ratunya tidak salah langkah dan dikalahkan nafsu pribadi.
Court jester punya kapasitas untuk itu, karena logikanya sudah biasa melakukan akrobat humor – berdiri di antara make sense dan nonsense – serta mampu mengomunikasikan kritiknya secara humor, alih-alih kritikan mentah, sehingga tidak sampai terlalu dalam menusuk hati masternya.
Dari bukunya Beatrice Otto berjudul Fools Are Everywhere (2001), diceritakan betapa peran badut istana ini krusial bagi rezim yang sedang berkuasa. Mereka ini bak oposisi, tapi yang benar-benar dipelihara, dilindungi, dan didengar oleh istana.
Sejumlah insight yang berkaitan adalah:
Sejak tahun 800 SM di Eropa, ketika raja dan bangsawan tunduk pada gereja Katolik Roma, sudah mulai muncul orang-orang yang membuat lagu, tebak-tebakan, bahkan pementasan yang isinya mengkritik orang-orang dalam gereja yang gagal memenuhi standar tinggi moral gereja – bukan mengkritik doktrin dan hal-hal prinsipil yang gereja berikan, ya! Orang-orang ini kami yakini punya andil melahirkan bapak komedi dari Yunani Kuno, Arsitophanes (446 - 386 SM)
Tahun 1386, sewaktu masih berbentuk kadipaten – wilayah-wilayah yang tunduk kepada suatu sistem pemerintahan kerajaan, ada seorang adipati Austria yang ingin menaklukkan Swiss.