Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ulwan Fakhri
Peneliti

Peneliti humor di Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3)

Badut Istana: Menciptakan "Oposisi" dari Dalam

Kompas.com - 26/07/2023, 09:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TULISAN Bivitri Susanti di Harian Kompas, 13 Juli 2023, dahsyat betul. Ia menyoroti fenomena state capture corruption di Indonesia – pejabat, politisi, bahkan pihak di luar pemerintahan kini sudah bahu-membahu membuat kebijakan yang menguntungkan mereka sendiri. Semua sevisi, seperti tiada narasi oposisi.

Hal ini makin diperparah dengan tertutupnya lembaga pemerintahan terhadap ruang dialog atas kebijakannya. Seperti enggan mendengarkan pendapat dan masukan publik, mereka mengesahkan undang-undang yang masih berpolemik – beberapa malah secara buru-buru.

Pola semuanya pun sama: gugat di Mahkamah Konstitusi dengan embel-embel “inilah mekanisme konstitusional”, seperti disampaikan presiden soal Undang-undang Ciptaker (Kompas.com, Oktober 2020); Menkumham soal RKUHP (Antara, Desember 2022); sampai yang terbaru saat anggota DPR bicara soal UU Kesehatan (Sindonews, Juli 2023).

Rekomendasi dari akademisi STHI Jentera itu untuk menghentikan rongrongan politik kartel di Indonesia sebenarnya sederhana saja.

Karena partai politik menjadi lokomotif dalam korupsi sistemis ini, mulailah dari merombak internal parpol agar lebih demokratis dan bisa berpolitik secara lebih beradab (Negara Disandera Kartel Politik - Susanti, 2023).

Sebab kerusakan yang sudah sistemis harus dibenahi secara sistematis pula.

Berkenaan dengan itu, sebelum nantinya disisipkan ke dalam pemerintahan, kami ingin menitipkan agar partai mana pun nantinya yang terketuk nuraninya untuk berbenah bisa mendirikan suatu divisi atau setidaknya menaruh tokoh akselerator dalam reformasi sistemnya.

Semacam profesi masa lalu yang ternyata kontribusinya besar dalam dinamika berpolitik. Namanya, court jester atau badut istana.

Meski namanya badut istana, tidak semua dari mereka kerjaannya sekadar “membadut”, menghibur raja atau ratunya.

Para jester ini juga ada yang aktif memberikan pertimbangan dan narasi tandingan agar raja atau ratunya tidak salah langkah dan dikalahkan nafsu pribadi.

Court jester punya kapasitas untuk itu, karena logikanya sudah biasa melakukan akrobat humor – berdiri di antara make sense dan nonsense – serta mampu mengomunikasikan kritiknya secara humor, alih-alih kritikan mentah, sehingga tidak sampai terlalu dalam menusuk hati masternya.

Dari bukunya Beatrice Otto berjudul Fools Are Everywhere (2001), diceritakan betapa peran badut istana ini krusial bagi rezim yang sedang berkuasa. Mereka ini bak oposisi, tapi yang benar-benar dipelihara, dilindungi, dan didengar oleh istana.

Sejumlah insight yang berkaitan adalah:

Sejak tahun 800 SM di Eropa, ketika raja dan bangsawan tunduk pada gereja Katolik Roma, sudah mulai muncul orang-orang yang membuat lagu, tebak-tebakan, bahkan pementasan yang isinya mengkritik orang-orang dalam gereja yang gagal memenuhi standar tinggi moral gereja – bukan mengkritik doktrin dan hal-hal prinsipil yang gereja berikan, ya! Orang-orang ini kami yakini punya andil melahirkan bapak komedi dari Yunani Kuno, Arsitophanes (446 - 386 SM)

Tahun 1386, sewaktu masih berbentuk kadipaten – wilayah-wilayah yang tunduk kepada suatu sistem pemerintahan kerajaan, ada seorang adipati Austria yang ingin menaklukkan Swiss.

Ia mengumpulkan orang-orang kepercayaannya untuk dimintai pendapat, termasuk seorang court jester bernama Jenny von Stockach.

Di momen itu, Jenny sama sekali tak gentar melempar sarkasme untuk menyadarkan adipati dan hulubalangnya, “Kalian ini emang orang-orang bodoh! Sedari tadi debatin cara masuk ke wilayah negara lain terus, tapi enggak sekalipun mikir gimana cara keluarnya!”

Di Inggris abad ke-15, Henry VIII punya hubungan karib dengan court jester bernama Will Somers.

Mereka seperti sahabat: Will tidak perlu membungkuk, tidak perlu memanggil “Yang Mulia”, atau berbicara Asal Bapak Senang (ABS). Kalau ada keputusan yang ngaco, dia pun akan bilang itu langsung di hadapan rajanya.

Ratu Prancis Catherine de' Medici, bertahta 1560-1574, punya court jestress (badut istana perempuan) yang tugasnya tidak hanya menghibur, tetapi juga mengingatkan sang ratu kalau ia lupa atau abai akan hal-hal esensial.

Salah kalau Anda menganggap court jester ini budaya bikinan barat. Fenomena ini pun dijumpai di beberapa negara di Asia, setidaknya di India, Cina, dan Arab.

Di masa Khalifah Harun al-Rasyid (786-803), hiduplah seorang penyair sekaligus badut istana bernama Hasan ibn Hani atau yang dikenal luas sebagai Abu Nuwas.

Ia bukan badut dari kalangan rendahan, yang menjadikan kekurangan dirinya sebagai bahan tertawaan untuk menghibur raja atau sekadar meniru-niru tingkah orang bodoh.

Abu Nuwas justru berasal dari kalangan orang terdidik – terlihat kan dari hikayatnya yang sampai sekarang masih lestari?

Di China, pernah ada peristiwa seorang kaisar yang murka terhadap tuturan seorang badut istana. Saat si badut ini hendak dipenggal, ia sempat-sempatnya bilang, “Yang Mulia, saya hanya ingin mengatakan satu hal sebelum saya mati. Kepala saya ini Yang Mulia, ketika sudah copot, tidak akan ada gunanya kok bagi Yang Mulia.” Kaisar itu lantas tertawa dan membebaskan badut itu.

Tenali Rama adalah superstar badut istana saat Raja Krishnadevaraya berkuasa sekitar tahun 1500-an.

Di samping jago sekali membuat sang raja ngakak, Tenali juga seorang penyair dan pemikir hebat yang tidak menempuh pendidikan formal. Badut istana ini begitu dicintai dan dipercaya raja, sampai-sampai diangkat sebagai kepala penasihat kerajaan.

Court jester di Indonesia

Bagaimana dengan di Indonesia? Kebudayaan kita sebenarnya mengenal kisah rombongan pengiring bangsawan yang juga jadi penghibur.

Kita menjuluki mereka Panakawan, Punokawan, atau Punakawan, court jester khas Indonesia.

Mereka adalah penyeimbang terhadap karakter-karakter yang superior dalam narasi Hindu-Buddha yang muncul pada abad 9-10, seperti mitologi Mahabharata dan Ramayana.

Co-founder IHIK3, Seno Gumira Ajidarma, menuliskan kalau Punakawan baru “dihidupkan” dalam teks Jawa Kuno, kakawin Ghatotkacasraya karya Mpu Panuluh di abad ke-12.

Punakawan tersebut bernama Jurudyah Prasanta, seorang penasihat, tapi bukan penghibur atau badut. Wujud pertama Punakawan sebagai tokoh penuh humor bisa dijumpai di kidung Sudamala abad ke-15, yakni dalam karakter Semar.

Namun setelah itu, penguasa bahkan keraton terkesan alergi terhadap kehadiran badut-badut ini. Realita ini bisa diterjemahkan sebagai kemunduran, terlebih jika dibandingkan dengan semangat lahirnya Punakawan, yang merupakan hasil dari jenius lokal (local genius) atas narasi asing (dikutip dari Normalitas Keluarga Miring: Humor Politik Masa Orde Lama, belum terpublikasikan).

Sementara itu, menurut guru besar Universitas Indonesia sekaligus peneliti humor senior IHIK3, Maman Lesmana, istilah “badut istana” – apalagi profesinya – tidaklah populer di Indonesia.

Dalam tulisannya bertajuk Court Jester Zaman Now (2018), dalam konteks politik, istilah tersebut digunakan secara terpisah.

Misalnya, kata “istana” dipakai untuk merujuk pada lokasi pemerintahan, bagian dari lembaga eksekutif RI, atau titel terhadap profesi yang berkaitan dengan kepresidenan, seperti dalam penggunaan frase “Istana Bogor”, “dipanggil istana”, dan “juru bicara istana” atau “wartawan istana”.

Sementara itu, kata “badut” dalam konteks perpolitikan lebih sering dipakai publik untuk mengejek kelompok elite yang kelakuannya justru bikin geram dan kadang tidak ada lucu-lucunya.

Kalaupun ada yang tertawa, tawanya diterjemahkan oleh Seno Gumira Ajidarma sebagai perasaan tidak enak (discomfort humor, atau humor yang lahir dari kelakuan cringe dan amoral).

Corporate jester: court jester masa kini

Yang duluan menangkap manfaat badut istana untuk era modern ini, sayangnya, bukan instansi yang mengeluarkan kebijakan untuk hajat hidup orang banyak, tapi justru entitas bisnis. Tak ayal, julukan mereka pun bergeser, dari court jester menjadi corporate jester.

Maskapai British Airways pernah punya corporate jester bernama Paul Birch, pegawai senior dan pernah menjajal beragam divisi di perusahaan tersebut.

Tugasnya adalah memberikan saran dan kritik terhadap keputusan-keputusan korporat yang dirasa aneh melalui pendekatan humor.

Publikasi atas posisi dan peran Paul Birch ini ternyata juga positif, karena British Airways jadi mendadak diserbu oleh para pelamar kerja yang terkesan dengan keterbukaan perusahaan tersebut akan masukan serta humor (Otto, 2001).

Paper yang ditulis oleh McMaster, Wastell, dan Henriksen turut mempromosikan peran badut istana masa kini. Paper mereka berjudul Fooling Around: The Corporate Jester as an Effective Change Agent for Technological Innovation (2005) menjabarkan bahwa sejatinya badut istana masa lalu punya karakteristik yang sesuai untuk menjadi akselerator inovasi dalam suatu organisasi modern.

Sebab court jester yang berevolusi menjadi corporate jester ini punya wawasan mendalam, kecerdikan, dan mampu menyebarkan pengaruh kepada orang-orang di sekitarnya secara menyenangkan lewat humor.

Sementara tahun 2006, David Riveness juga telah memublikasikan buku berjudul The Secret Life of Corporate Jester. Isinya secara garis besar menuntun pembaca untuk memiliki “jester’s perspective”, yang akan bermanfaat bagi kelangsungan suatu organisasi.

Pasalnya, seringkali, bisnis terperosok akibat internalnya tidak benar-benar peduli dan mau memperingatkan yang lain saat melihat lobang menganga di depan mereka.

Sejarah kita pun mencatat bahwa kekuasaan yang tidak bisa dikritik justru tidaklah aman – ia akan jatuh karena para penghuninya hanya numpang berlindung tanpa ada niat menjaga keutuhan sang gedung. Kita sudah sampai di titik butuh badut untuk menghaluskan budi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Giliran Cucu SYL Disebut Turut Menikmati Fasilitas dari Kementan

Giliran Cucu SYL Disebut Turut Menikmati Fasilitas dari Kementan

Nasional
Kinerja dan Reputasi Positif, Antam Masuk 20 Top Companies to Watch 2024

Kinerja dan Reputasi Positif, Antam Masuk 20 Top Companies to Watch 2024

Nasional
KPK Sita 1 Mobil Pajero Milik SYL yang Disembunyikan di Lahan Kosong di Makassar

KPK Sita 1 Mobil Pajero Milik SYL yang Disembunyikan di Lahan Kosong di Makassar

Nasional
Tak Setuju Kenaikan UKT, Prabowo: Kalau Bisa Biaya Kuliah Gratis!

Tak Setuju Kenaikan UKT, Prabowo: Kalau Bisa Biaya Kuliah Gratis!

Nasional
Lantik Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama, Menaker Minta Percepat Pelaksanaan Program Kegiatan

Lantik Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama, Menaker Minta Percepat Pelaksanaan Program Kegiatan

Nasional
Akbar Faizal Sebut Jokowi Memberangus Fondasi Demokrasi jika Setujui RUU Penyiaran

Akbar Faizal Sebut Jokowi Memberangus Fondasi Demokrasi jika Setujui RUU Penyiaran

Nasional
Tidak Euforia Berlebihan Setelah Menang Pilpres, Prabowo: Karena yang Paling Berat Jalankan Mandat Rakyat

Tidak Euforia Berlebihan Setelah Menang Pilpres, Prabowo: Karena yang Paling Berat Jalankan Mandat Rakyat

Nasional
Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Bakal Minta Perlindungan LPSK

Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Bakal Minta Perlindungan LPSK

Nasional
Pemerintah Belum Terima Draf Resmi RUU Penyiaran dari DPR

Pemerintah Belum Terima Draf Resmi RUU Penyiaran dari DPR

Nasional
Akui Cita-citanya adalah Jadi Presiden, Prabowo: Dari Kecil Saya Diajarkan Cinta Tanah Air

Akui Cita-citanya adalah Jadi Presiden, Prabowo: Dari Kecil Saya Diajarkan Cinta Tanah Air

Nasional
Budi Arie: Pemerintah Pastikan RUU Penyiaran Tak Kekang Kebebasan Pers

Budi Arie: Pemerintah Pastikan RUU Penyiaran Tak Kekang Kebebasan Pers

Nasional
Perayaan Trisuci Waisak, Menag Berharap Jadi Momentum Rajut Kerukunan Pasca-Pemilu

Perayaan Trisuci Waisak, Menag Berharap Jadi Momentum Rajut Kerukunan Pasca-Pemilu

Nasional
Vendor Kementan Disuruh Pasang 6 AC di Rumah Pribadi SYL dan Anaknya

Vendor Kementan Disuruh Pasang 6 AC di Rumah Pribadi SYL dan Anaknya

Nasional
SYL Berkali-kali 'Palak' Pegawai Kementan: Minta Dibelikan Ponsel, Parfum hingga Pin Emas

SYL Berkali-kali "Palak" Pegawai Kementan: Minta Dibelikan Ponsel, Parfum hingga Pin Emas

Nasional
Anak SYL Ikut-ikutan Usul Nama untuk Isi Jabatan di Kementan

Anak SYL Ikut-ikutan Usul Nama untuk Isi Jabatan di Kementan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com