Co-founder IHIK3, Seno Gumira Ajidarma, menuliskan kalau Punakawan baru “dihidupkan” dalam teks Jawa Kuno, kakawin Ghatotkacasraya karya Mpu Panuluh di abad ke-12.
Punakawan tersebut bernama Jurudyah Prasanta, seorang penasihat, tapi bukan penghibur atau badut. Wujud pertama Punakawan sebagai tokoh penuh humor bisa dijumpai di kidung Sudamala abad ke-15, yakni dalam karakter Semar.
Namun setelah itu, penguasa bahkan keraton terkesan alergi terhadap kehadiran badut-badut ini. Realita ini bisa diterjemahkan sebagai kemunduran, terlebih jika dibandingkan dengan semangat lahirnya Punakawan, yang merupakan hasil dari jenius lokal (local genius) atas narasi asing (dikutip dari Normalitas Keluarga Miring: Humor Politik Masa Orde Lama, belum terpublikasikan).
Sementara itu, menurut guru besar Universitas Indonesia sekaligus peneliti humor senior IHIK3, Maman Lesmana, istilah “badut istana” – apalagi profesinya – tidaklah populer di Indonesia.
Dalam tulisannya bertajuk Court Jester Zaman Now (2018), dalam konteks politik, istilah tersebut digunakan secara terpisah.
Misalnya, kata “istana” dipakai untuk merujuk pada lokasi pemerintahan, bagian dari lembaga eksekutif RI, atau titel terhadap profesi yang berkaitan dengan kepresidenan, seperti dalam penggunaan frase “Istana Bogor”, “dipanggil istana”, dan “juru bicara istana” atau “wartawan istana”.
Sementara itu, kata “badut” dalam konteks perpolitikan lebih sering dipakai publik untuk mengejek kelompok elite yang kelakuannya justru bikin geram dan kadang tidak ada lucu-lucunya.
Kalaupun ada yang tertawa, tawanya diterjemahkan oleh Seno Gumira Ajidarma sebagai perasaan tidak enak (discomfort humor, atau humor yang lahir dari kelakuan cringe dan amoral).
Yang duluan menangkap manfaat badut istana untuk era modern ini, sayangnya, bukan instansi yang mengeluarkan kebijakan untuk hajat hidup orang banyak, tapi justru entitas bisnis. Tak ayal, julukan mereka pun bergeser, dari court jester menjadi corporate jester.
Maskapai British Airways pernah punya corporate jester bernama Paul Birch, pegawai senior dan pernah menjajal beragam divisi di perusahaan tersebut.
Tugasnya adalah memberikan saran dan kritik terhadap keputusan-keputusan korporat yang dirasa aneh melalui pendekatan humor.
Publikasi atas posisi dan peran Paul Birch ini ternyata juga positif, karena British Airways jadi mendadak diserbu oleh para pelamar kerja yang terkesan dengan keterbukaan perusahaan tersebut akan masukan serta humor (Otto, 2001).
Paper yang ditulis oleh McMaster, Wastell, dan Henriksen turut mempromosikan peran badut istana masa kini. Paper mereka berjudul Fooling Around: The Corporate Jester as an Effective Change Agent for Technological Innovation (2005) menjabarkan bahwa sejatinya badut istana masa lalu punya karakteristik yang sesuai untuk menjadi akselerator inovasi dalam suatu organisasi modern.
Sebab court jester yang berevolusi menjadi corporate jester ini punya wawasan mendalam, kecerdikan, dan mampu menyebarkan pengaruh kepada orang-orang di sekitarnya secara menyenangkan lewat humor.
Sementara tahun 2006, David Riveness juga telah memublikasikan buku berjudul The Secret Life of Corporate Jester. Isinya secara garis besar menuntun pembaca untuk memiliki “jester’s perspective”, yang akan bermanfaat bagi kelangsungan suatu organisasi.
Pasalnya, seringkali, bisnis terperosok akibat internalnya tidak benar-benar peduli dan mau memperingatkan yang lain saat melihat lobang menganga di depan mereka.
Sejarah kita pun mencatat bahwa kekuasaan yang tidak bisa dikritik justru tidaklah aman – ia akan jatuh karena para penghuninya hanya numpang berlindung tanpa ada niat menjaga keutuhan sang gedung. Kita sudah sampai di titik butuh badut untuk menghaluskan budi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.