Mereka harus mempunyai jiwa (soul) yang menyatu pada keluarga majikannya. Terutama pekerjaan pengasuh bayi, anak dan lansia yang harus memiliki jiwa seperti menjaga anak atau orangtuanya sendiri.
Ketelatenan dan perlakuan penuh kasih sayang tersebut adalah suatu syarat tertinggi daripada hanya memiliki keterampilan dan sikap profesional saja.
Karakter pekerja domestik seperti itu ada di Indonesia. PMI memiliki ketelatenan dan punya hati untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Mereka lebih sabar, setia, dan tidak banyak menuntut pada majikan.
Banyak keunggulan lain pekerja domestik Indonesia. Mereka mau melaksanakan pekerjaan di luar tugas dan tanggungjawabnya, seperti kerelaan merawat hewan peliharaan majikan, memasak, membersihkan rumah, dan menghidangkan minuman buat tamu.
Meski bukan kewajiban, tetapi bentuk panggilan rasa kekeluargaan yang sudah menyatu.
Hal tersebut juga dilakukan oleh pekerja domestik pengurus rumah tangga (housekeeper). Meski tugas dan tanggungjawabnya sebagai pembersih rumah, cuci dan juru masak, tetapi dia juga merawat anak majikannya dengan penuh kasih sayang.
Karena itu, PMI diakui dunia. Banyak majikan ingin mendapatkan SDM pekerja dari Indonesia.
Namun ada juga yang menuding bahwa pekerja migran domestik Indonesia diminati dunia karena bisa dibodoh-bodohi oleh majikan. Mereka mau saja melakukan pekerjaan di luar pekerjaan yang disepakati.
Pekerja Migran Indonesia dianggap dimanfaatkan oleh majikan untuk melakukan semua pekerjaan yang ada di rumahnya, yaitu dari membersihkan rumah sampai mengasuh anak/bayi.
Sebenarnya hal itu dilakukan PMI sebagai bentuk panggilan hati berdasarkan kerelaan. Majikan kadang memberikan insentif terhadap pekerjaan di luar kewajiban.
Dari laporan WIEGO (Women in Informal Employment Globalizing dan Organizing) pada 2022, secara global setidaknya sebanyak 76 juta majikan mengunakan pekerja domestik untuk bekerja di rumah pribadi mereka.
Pekerja migran domestik mendapat manfaat dari majikan yang memperkerjakan mereka. Miliaran dollar AS remitansi pengiriman uang ke negara asal mereka dihasilkan oleh pekerja rumah tangga migran.
Sisi lain, pekerja pada rumah tangga sering mendapat perlakuan tidak baik dari majikannya. Mereka rentan dieksploitasi dan lemah dalam pelindungan atas hak-hak kerjanya.
Berbagai terobosan dilakukan dunia untuk membangun pelindungan terhadap pekerja domestik. Pada 16 Juli 2011, ILO (International Labour Organization), pemerintah, serikat pekerja, dan asosiasi pengusaha sepakat untuk mengadopsi Konvensi No. 189 mengenai Pekerjaan Layak untuk Pekerja Rumah.
Ini merupakan terobosan pertama dalam peradaban manusia untuk menetapkan standar global bagi pekerja rumah tangga. Maka 16 Juli menjadi peristiwa bersejarah dan kemudian diperingati sebagai Hari Pekerja Domestik Internasional.
Di bawah Konvensi, pekerja rumah tangga berhak atas hak-hak dasar yang sama seperti pekerja lainnya di negaranya, termasuk hari libur mingguan, batasan jam kerja, cakupan upah minimum, kompensasi lembur, jaminan sosial, dan informasi yang jelas tentang syarat dan ketentuan kerja.
Standar baru ini mewajibkan pemerintah di negara-negara dunia meratifikasi dalam melakukan pelindungan pekerja rumah tangga dari kekerasan dan pelecehan, untuk mengatur agen tenaga kerja swasta yang merekrut dan mempekerjakan pekerja rumah tangga, dan untuk mencegah anak dipekerjakan dalam pekerjaan rumah tangga.
Sejak adopsi Konvensi pada 2011, puluhan negara telah mengambil tindakan memperkuat perlindungan pekerja domestik. Beberapa negara dari Asia, Eropa, Amerika Latin, dan Afrika sudah meratifikasi konvensi tersebut.
Namun sayangnya, Indonesia sebagai salah satu negara penyumbang tenaga kerja domestik terbesar di dunia belum memiliki Undang-undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga.
Sejak 2013 sampai sekarang, Indonesia masih dalam tahap pengajuan draft Rancangan Undang-undang (RUU) Pelindungan Pekerja Rumah Tangga ke Baleg DPR RI.
Setidaknya, 4,2 juta pekerja domestik di dalam negeri membutuhkan pelindungan atas nasib mereka.
Sudah banyak negara-negara di dunia melakukan reformasi legislatif untuk membuat regulasi sesuai dengan standar baru dunia. Jutaan pekerja domestik mendapatkan hak-haknya dan diuntungkan dari kesepakatan tersebut.
Di Asia, Taiwan dan Hongkong bisa dijadikan contoh negara yang menerapkan pelindungan terhadap hak-hak pekerja domestik.
Seperti memberikan layanan istirahat hingga 52 hari per orang per tahun untuk mengurangi beban perawatan majikan dan memungkinkan pekerja migran untuk mengambil istirahat yang layak dan cukup.
Begitu juga atas kenaikan gaji dan pembebasan beban biaya ditanggung oleh PMI. Sebelumnya di Taiwan upah yang diterima sebesar NT$ 17.000 setara dengan Rp 8,4 juta (kurs Rp 494) menjadi NT$ 20.000 atau sekitar Rp 9,9 juta per bulan.