DALAM tulisan ringan ini, saya akan bercerita tiga hari “Jumat keramat dan memesona”. Tiga Jumat ini berlainan bulan dan tahunnya.
Kisah tiga Jumat ini akan saya susupi dengan Senin pagi buta yang bersejarah, ketika juru bicara kepresidenan Yahya Cholil Staquf membacakan dekrit presiden tentang pembekuan DPR/MPR dan Partai Golongan Karya (Golkar).
Pada Senin 23 Juli 2001, setelah pagi harinya dekrit presiden dikumandangkan, siang harinya Gus Dur dilengserkan dari kursi kepresidenan.
Malam harinya, Gus Dur dengan celana pendek berdiri di teras Istana Merdeka melambaikan tangan ke arah para pendukungnya yang berkerumun di pinggiran utara lapangan Monas, Jakarta.
Tiga hari kemudian, dengan iringingan banyak orang berlinangan air mata, Gus Dur keluar dari halaman Istana, singgah di Monas dan berorasi, kemudian terbang ke Amerika Serikat.
Baru bulan Agustus 2001, Gus Dur pulang kampung di Ciganjur, Jakarta Selatan, disambut spanduk, “Selamat datang kembali di Istana rakyat”.
Diskusi pesta bunga ini melibatkan Wali Kota Tomohon Caroll Senduk dan istri, dr Jeand’arc Senduk - Karundeng, Wakil Ketua Umum Panitia pesta bunga Tomohon Vonny Pangemanan dan Kepala Dinas Pariwisata Tomohon Yudhistira Siwu serta anggota Kelompok Diskusi Pilpres 2024 Hang Lekir (HL 717) Azisoko Harmoko.
Ketika diskusi tentang pesta bunga berlangsung, seorang anggota HL 717 lainnya, Rikard Bagun datang. Ketika saya memperkenalkan nama wali kota Tomohon, Rikard Bagun langsung berucap, “Wah ini tentu soal bunga”.
Ucapan Rikard Bagun ini langsung terekam dan tertulis dalam imajinasi saya:”Bunga adalah Tomohon dan Tomohon adalah bunga”.
Tomohon adalah kotamadya sekitar 30 kilometer selatan Manado, Sulawesi Utara. Imajinasi saya juga langsung terbang melesat ke peristiwa hari Jumat 21 Oktober 2005, di Kota Tomohon.
Jumat, 18 tahun lalu, di Auditorium Bukit Inspirasi Tomohon, hadir Presiden RI ke 4 (1999 - 2001), Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ketika itu berlangsung acara Diskusi Orientasi Kebangsaan.
Beberapa jam setelah pertemuan itu, saya jumpa Gus Dur di Kota Manado. Saya tanya pada Gus Dur saat itu.
“Saya Osdar, Gus. Dari mana Gus?” tanya saya.
“Eeeee, Mas Osdar. Saya dari tanah leluhurnya Mas Osdar, Tomohon yang penuh dengan bunga. Tadi dalam perjalan dari Tomohon ke Manado, saya mencium aroma bunga cengkeh semakin wangi, dan harum,” jawab Gus Dur diiringi tawa semi bercanda tipikal atau khas Gus Dur.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.