Tokoh lain seperti Erick Thohir, Mahfud MD, Sandiaga bahkan AHY, juga pernah di-endorse Jokowi sebagai tokoh potensial, maka dukungan seseorang dinamis sesuai konteks waktu, situasi, dan dinamika politik.
Tafsir ketiga, anggap saja Jokowi adalah Ganjar layaknya ungkapan Bung Adian, karena kesamaan karakter yang sederhana dan merakyat, juga satu-satunya suksesor yang akan melanjutkan estafet Jokowi, maka secara strategi politik, menggelontorkan dana super besar untuk menegaskan hal itu lewat aneka baliho, tentu tidak menambah ceruk pemilih baru.
Narasi tersebut hanya berkutat di ruang gema (echo chamber) para pendukung dan simpatisan Ganjar.
Sama halnya ruang gema ketika menegaskan Ganjar itu merakyat, Anies itu cerdas, dan Prabowo itu kuat.
Para kandidat capres sejatinya hanya menegaskan image yang sudah dikenal publik. Dan belum berani membangun image dan jargon baru untuk masuk menarik pemilih lawan
Kesamaan Ganjar-Jokowi dalam pandangan umum, seperti tumbuh besar dari kultur Jawa, dari provinsi yang sama, yaitu Jawa Tengah, berproses politik sama-sama di PDIP.
Meski proses Ganjar bisa dibilang lebih lama dan paripurna, hubungan Jokowi dengan PDIP lebih bersifat resiprokal atau timbal balik sebagai pengusungnya di ajang kekuasaan.
Meski kader PDIP, Jokowi juga diusung oleh partai politik lain yang menjadi penopang kepemimpinannya,
Sehingga Jokowi berdiri kokoh mengambil beban sebagai seorang negarawan, yang mengagresi semua kepentingan, ketimbang menjadi alat untuk satu partai.
Secara semiotik, Jokowi dikesankan otoritatif, tidak gambang diseret arus desakan PDIP, walapun sering sekali sindiran petugas partai ditujukan ke Jokowi, sebagai semiotik ekspresi kekecewaan.
Dalam pandangan umum, derajat kesamaan Ganjar-Jokowi mungkin lebih kuat, ketimbang Prabowo-Jokowi, apalagi Anies-Jokowi. Namun dalam perspektif politis, derajat kesamaan lebih dari sekadar kesamaan demografi maupun asosiatif.
Meski Ganjar ada yang menyebut sebagai Jokowi plus, karena selain karakternya yang merakyat, Ganjar juga dilihat memiliki jejak aktivisme sosial serta kedekatan dengan kelompok Islam tradisional karena istrinya merupakan keturunan kiai pengasuh pesantren ternama di jawa.
Namun dalam politik elektoral hal itu tidak cukup, apalagi dalam konteks politik Jawa.
Presiden harus dilihat layaknya raja. Mendekati raja, menurut kawan saya pemerhati budaya Jawa, bahwa raja tidak bisa disapa dari atas dengan mengelus kepalanya, namun disapa dari bawah dengan memegang kakinya.
Pasang surut hubungan Ganjar-Jokowi, saya memandang karena kesenjangan mentoring. PDIP dan Jokowi, harus dilihat oleh Ganjar sebagai mentor yang setara, yang tidak memiliki hirarki, bahwa yang satu lebih tinggi dari yang lain.