Hari ini jelang tujuh bulan perhelatan digelar, rumah itu sudah mulai berdiri, atapnya sudah terpasang dengan deklarasi dukungan partai politik mengusung para kandidat presiden. Fondasi bangunan pencalonan para kandidat presiden itu, sudah barang tentu adalah partai pengusung.
Pengumpul suara (vote getter) telah menghidupi diskusi-diskusi publik kita tentang dinamika pencapresan selama setahun terakhir.
Namun, penulis tergelitik dengan narasi kampanye tim dan kandidat presiden Ganjar Pranowo, seperti masifnya aneka spanduk, baliho bahkan billboard bertuliskan “Jokowo Pilih Ganjar”, “Lanjutkan Bersama Ganjar” yang terpampang seantero negeri.
Narasi itu diperkuat para punggawa relawan ganjar, seperti Bung Adian Napitupulu, yang menegaskan kembali bahwa "Jokowi itu Ganjar, Ganjar itu Jokowi".
Upaya massif tim Ganjar tentu memancing tanda tanya publik, apakah fondasi dari pengumpul suara utama, yaitu dukungan dari Presiden Jokowi, mulai rapuh dan terjadi keretakan, sehingga memerlukan baliho, spanduk, dan kata-kata Bung Adian untuk mengecor kembali keretakan fondasi tersebut?
Tafsir tarikan politik dan ruang gema
Setidaknya terdapat tiga tafsir atas upaya tersebut. Pertama, dalam pendekatan komunikasi interaksi simbolik, pendekatan yang terdiri dari tiga prinsip pokok yang diangkat Herbert Blumer dalam karnya Symbolic Interactionism Perspective and Method (1986), yaitu bahasa (language), pemikiran (thought), dan makna (meaning).
Pendekataan ini menegaskan bahwa makna tidak terbentuk semata dari objek yang coba disampaikan. Makna terbentuk dari aneka interpretasi yang dimodifikasi lewat interaksi sosial.
Dalam konteks strategi Ganjar dan timnya, yang cenderung mengarus utamakan klaim dukungan Jokowi, tentunya pandangan publik tidak selalu inheren dengan pesan tersebut, namun dibaca sebagai interaksi simbolik.
Publik mengaitkannya dengan konteks, yaitu, tanda tanya apakah Jokowi mulai lemah dukungannya terhadap Ganjar? Dan apakah ini berhubungan dengan mesranya hubungan Jokowi – Prabowo Subianto?
Tafsir kedua, jika betul klaim dukungan Jokowi terhadap ganjar melemah sehingga perlu ditegakan dengan mendirikan aneka baliho, maka ini merupakan upaya politik saling menyandera.
Hal itu tercermin dari aneka sindiran tentang hutang politik Jokowi kepada PDIP, ataupun upaya mengingatkan kembali komitmen personal Jokowi lewat kata-katanya bahwa presiden harus berambut putih, dan pujian verbal lainnya yang dianggap menguatkan Ganjar.
Mengikat komitmen lewat bahasa memang memiliki dasar dalam khazanah ilmu komunikasi.
Samovas dan Porter dalam Communication Between Cultures (2012), menegaskan bahwa komunikasi bersifat irreversible, bahwa kata-kata yang dilempar ke publik tidak dapat diubah atau ditarik kembali.
Namun dalam konteks Jokowi, pujian serupa juga pernah dialamatkan kepada Prabowo. Bahkan dengan bahasa yang lebih terang seperti pujiannya “bahwa setelah ini, jatah Pak Prabowo”.
Tokoh lain seperti Erick Thohir, Mahfud MD, Sandiaga bahkan AHY, juga pernah di-endorse Jokowi sebagai tokoh potensial, maka dukungan seseorang dinamis sesuai konteks waktu, situasi, dan dinamika politik.
Tafsir ketiga, anggap saja Jokowi adalah Ganjar layaknya ungkapan Bung Adian, karena kesamaan karakter yang sederhana dan merakyat, juga satu-satunya suksesor yang akan melanjutkan estafet Jokowi, maka secara strategi politik, menggelontorkan dana super besar untuk menegaskan hal itu lewat aneka baliho, tentu tidak menambah ceruk pemilih baru.
Narasi tersebut hanya berkutat di ruang gema (echo chamber) para pendukung dan simpatisan Ganjar.
Sama halnya ruang gema ketika menegaskan Ganjar itu merakyat, Anies itu cerdas, dan Prabowo itu kuat.
Para kandidat capres sejatinya hanya menegaskan image yang sudah dikenal publik. Dan belum berani membangun image dan jargon baru untuk masuk menarik pemilih lawan
Derajat kesamaan Ganjar – Jokowi
Kesamaan Ganjar-Jokowi dalam pandangan umum, seperti tumbuh besar dari kultur Jawa, dari provinsi yang sama, yaitu Jawa Tengah, berproses politik sama-sama di PDIP.
Meski proses Ganjar bisa dibilang lebih lama dan paripurna, hubungan Jokowi dengan PDIP lebih bersifat resiprokal atau timbal balik sebagai pengusungnya di ajang kekuasaan.
Meski kader PDIP, Jokowi juga diusung oleh partai politik lain yang menjadi penopang kepemimpinannya,
Sehingga Jokowi berdiri kokoh mengambil beban sebagai seorang negarawan, yang mengagresi semua kepentingan, ketimbang menjadi alat untuk satu partai.
Secara semiotik, Jokowi dikesankan otoritatif, tidak gambang diseret arus desakan PDIP, walapun sering sekali sindiran petugas partai ditujukan ke Jokowi, sebagai semiotik ekspresi kekecewaan.
Dalam pandangan umum, derajat kesamaan Ganjar-Jokowi mungkin lebih kuat, ketimbang Prabowo-Jokowi, apalagi Anies-Jokowi. Namun dalam perspektif politis, derajat kesamaan lebih dari sekadar kesamaan demografi maupun asosiatif.
Meski Ganjar ada yang menyebut sebagai Jokowi plus, karena selain karakternya yang merakyat, Ganjar juga dilihat memiliki jejak aktivisme sosial serta kedekatan dengan kelompok Islam tradisional karena istrinya merupakan keturunan kiai pengasuh pesantren ternama di jawa.
Namun dalam politik elektoral hal itu tidak cukup, apalagi dalam konteks politik Jawa.
Presiden harus dilihat layaknya raja. Mendekati raja, menurut kawan saya pemerhati budaya Jawa, bahwa raja tidak bisa disapa dari atas dengan mengelus kepalanya, namun disapa dari bawah dengan memegang kakinya.
Pasang surut hubungan Ganjar-Jokowi, saya memandang karena kesenjangan mentoring. PDIP dan Jokowi, harus dilihat oleh Ganjar sebagai mentor yang setara, yang tidak memiliki hirarki, bahwa yang satu lebih tinggi dari yang lain.
Sembari menempatkan posisi Ganjar juga tidak boleh dipandang lebih rendah dari posisi partai pengusung, karena sejatinya capres merupakan posisi otonom, yang menempatkan partai pengusung selayaknya sebagai mitra perjuangan, bukan bos dalam pertarungan.
Derajat kesamaan Ganjar-Jokowi, meski sudah terjalin kuat, Ganjar bisa saja berujung dicitrakan sebagai Jokowi Minus, jika Ganjar tidak mampu mengatur konfigurasi kepentingan yang ada, sehingga Jokowi terus memilih menjalankan politik cawe-cawenya.
Hal itu dapat berpotensi arus dukungan relawan dan simpatisan Jokowi terbelah untuk capres lain.
Maka ketimbang berkutat di panggung depan politik dengan mendirikan aneka baliho, lebih baik Ganjar memainkan peran di panggung belakang, dengan mencari cara mencairkan kebekuan politik, dan memaksa Jokowi mendukungnya sepenuh hati.
Ganjar tidak boleh puas hanya dengan kata-kata pujian sebelum konkret dukungan, seperti bait-bait Puisi WS Rendra:
Kesadaran adalah matahari
Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi Cakrawal, dan
Perjuangan adalah Pelaksanaan Kata-kata
https://nasional.kompas.com/read/2023/07/22/12495951/ganjar-itu-jokowi-plus-atau-jokowi-minus