JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan narapidana kasus korupsi proyek P3SON Hambalang, Anas Urbaningrum, dinilai tidak bijak dengan menyatakan hukuman pencabutan hak politiknya melalui keputusan Mahkamah Agung (MA) sebagai kezaliman.
Di sisi lain, Anas yang belum lama bebas dari penjara setelah menyelesaikan hukuman pidana pokok saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), partai politik baru yang bakal mengikuti pemilihan umum (Pemilu) 2024.
"Terkait ini tentu tak bijak karena eksesnya akan langsung ke Anas dan PKN secara keseluruhan," kata Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, saat dihubungi pada Minggu (16/7/2023).
Agung menilai, PKN yang kini dipimpin Anas sebenarnya mempunyai banyak pekerjaan rumah menjelang Pemilu 2024.
Mereka harus bersaing meraup minimal 4 persen suara dengan partai-partai politik yang lainnya supaya lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold).
Baca juga: Soal Silaturahmi dengan SBY, Begini Kata Anas Urbaningrum
"Situasi ini tentu tak menguntungkan di tengah banyaknya pekerjaan rumah yang biasa menghampiri partai baru. Artinya Anas dan PKN perlu fokus agar di Pileg dan Pilpres nanti bisa berada dalam orbit strategis panggung politik depan kita," ujar Agung.
Anas menilai putusan MA yang mencabut hak untuk dipilih dan memilih dalam jabatan publik selama 5 tahun setelah menyelesaikan pidana pokok sebagai bentuk kezaliman.
Dengan pencabutan hak politik itu, Anas tidak dapat maju sebagai calon legislatif pada pemilihan umum (Pemilu) 2024.
"Saya belum boleh nyaleg. Nanti. Karena ada putusan yang saya belum boleh nyaleg, putusan yang sungguh-sungguh zalim," kata Anas dalam pidato penutupan Musyawarah Nasional Luar Biasa PKN di hadapan para kadernya, Sabtu (15/7/2023).
Ketentuan pencabutan hak politik itu diatur di dalam konstitusi.
Baca juga: Anas Urbaningrum Singgung Pidato Jeddah SBY sebagai Ekspresi Kezaliman di Depan Kader PKN
Dalam Pasal 35 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hak politik itu dapat dicabut dengan putusan hakim, di antaranya hak memegang jabatan, hak memasuki angkatan bersenjata, hak memilih dan dipilih pada pemilu, serta hak lainnya.
Keterlibatan Anas dalam kasus tersebut diungkapkan oleh Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.
Tudingan ini membuat gerah Anas. Bahkan, Anas pernah menyatakan siap digantung di Monas apabila terbukti terlibat dalam kasus korupsi proyek Hambalang.
"Saya yakin. Yakin. Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas," ujar Anas di Kantor DPP Demokrat, Jakarta Pusat, Jumat (9/3/2012).
Kemudian ketika namanya semakin santer dikaitkan dengan kasus Hambalang, Anas mengingatkan KPK tidak perlu repot-repot mengurusi.
Baca juga: Anas Urbaningrum Anggap Zalim Putusan yang Cabut Hak Politiknya
Ia menganggap pernyataan Nazaruddin yang pertama kali menyebut Anas terlibat dalam kasus itu sebagai ocehan dan karangan semata.
"Saya tegaskan, ya, KPK sebetulnya tidak perlu repot-repot mengurus soal Hambalang. Mengapa? Karena itu, kan, asalnya ocehan dan karangan yang tidak jelas. Ngapain repot-repot," ujarnya.
Dari "nyanyian" Nazaruddin. KPK pun melakukan penyelidikan. Anas lantas ditetapkan sebagai tersangka pada Februari 2013. Anas baru ditahan pada Januari 2014.
Sebulan setelahnya tepatnya 23 Februari 2014, dia menyatakan mundur dari ketua umum sekaligus kader Demokrat.
Vonis terhadap Anas dijatuhkan pada September 2014. Saat itu, Majelis Halim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum Anas 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan.
Baca juga: Jadi Ketum PKN, Anas Urbaningrum Singgung Partai Bukan Kepunyaan Keluarga
Anas dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait proyek Hambalang dan proyek APBN lainnya.
Namun, vonis itu jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK yang meminta dia dihukum 15 tahun penjara dan uang pengganti Rp 94 miliar serta 5,2 juta dollar AS.
Tak terima atas vonisnya, Anas mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pada Februari 2015, majelis hakim banding memutuskan memangkas hukuman Anas 1 tahun menjadi 7 tahun penjara.
Namun, Anas tetap didenda Rp 300 juta. Kendati dijatuhi hukuman yang lebih ringan, Anas masih tak puas. Dia mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Pada Juni 2015, MA menyatakan menolak permohonan Anas. Majelis hakim kasasi yang dipimpin oleh Artidjo Alkostar kala itu justru menjatuhkan vonis 14 tahun penjara ke Anas.
Baca juga: Anas Urbaningrum Anggap Zalim Putusan yang Cabut Hak Politiknya
Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut juga diharuskan membayar denda Rp 5 miliar subsider satu tahun dan empat bulan kurungan.
Selain itu, Anas diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580 kepada negara. Namun, lima tahun berselang, MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Anas.
Pada September 2020, majelis hakim PK yang dipimpin Sunarto menyunat hukuman Anas 6 tahun.
Dengan demikian, hukuman Anas berkurang drastis menjadi 8 tahun penjara. Namun begitu, Anas tetap dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 57,9 miliar dan 5.261.070 dollar AS.
Selain itu, majelis hakim PK tetap menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun terhitung setelah Anas menyelesaikan pidana pokok.
Baca juga: Anas Urbaningrum Resmi Diangkat Jadi Ketua Umum PKN
Setelah menjalani masa hukuman, Anas akhirnya bebas murni pada Senin (10/7/2023). Status bebas murni Anas diumumkan Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bandung, Jawa Barat.
(Penulis : Vitorio Mantalean | Editor : Jessi Carina)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.