ANGKA “golongan putih” (golput) – warga negara yang tidak menggunakan hak pilih – dalam pemilu era reformasi cenderung meningkat.
Pada Pemilu 1999, pemilu pertama era reformasi, hanya 7,3 persen. Angka itu naik pada Pemilu 2004 menjadi 15,91 persen.
Pada Pemilu 2009 meningkat tajam menjadi 29,1 persen. Lalu, menurun menjadi 24,89 persen pada Pemilu 2014. Naik lagi menjadi 29,68 persen pada Pemilu 2019.
Dibandingkan dengan pemilu era Orde Baru (Orba), persentase golput era reformasi jauh lebih tinggi. Enam kali pemilu era Orba angka golput paling tinggi 6,4 persen. Itu terjadi pada pemilu terakhir era Orba, yakni Pemilu 1997.
Saya kira wajar. Partisipasi politik di zaman Orba dimobilisasi secara otoriter. Orang cenderung takut bila tidak menggunakan hak pilih.
Berbeda dengan era reformasi, orang bebas mengekspresikan hak politiknya. Tidak hadir di bilik suara pun tidak dibayangi ketakutan.
Golput juga muncul pada pemilihan presiden (pilpres). Pada Pilpres 2009, sebanyak 28,09 persen. Meningkat pada Pilpres 2014, menjadi 30,42 persen. Pada pilpres 2019, menurun secara signifikan tinggal 19,24 persen.
Golput memang tidak berpengaruh terhadap keabsahan pemilu. Anggota DPR/DPRD terpilih tetap sah dan dilantik. Pasangan presiden – wakil presiden terpilih tetap sah dan dilantik.
Meski demikian, golput politik tidak bisa diremehkan.
Secara umum, ada dua kategori golput. Pertama, golput yang dilatarbelakangi faktor teknis pemilu. Misal, tidak terdaftar sebagai pemilih, tidak memperoleh kartu pemilih, dan alasan-alasan lain yang bersumber pada masalah teknis penyelenggaraan pemilu.
Golput karena faktor teknis tak perlu dikhawatirkan. Golput jenis ini akan berkurang jika kualitas penyelenggaraan pemilu baik.
Kedua, golput yang dilatarbelakangi faktor politis. Inilah golput yang sesungguhnya. Golput jenis ini sudah muncul sebagai isu politik sejak pemilu pertama Orba tahun 1971.
Saat itu kemunculannya dilatarbelakangi isu sistem dan kelembagaan politik. Sistem politik kepartaian dan pemilu berada dalam kontrol ketat rezim Orba. Muncullah sebutan “pemilu seolah-olah”, dalam bahasa Jawa “pemilu ethok-ethok”.
Sejumlah intelektual lalu memelopori untuk tidak menggunakan hak pilih. Tidak ada gunanya hak pilih diberikan kepada rakyat, karena semua telah diatur oleh rezim penguasa.
Partai politik hanya boneka penguasa. Calon anggota DPR/DPRD pun diseleksi penguasa. Siapapun yang terpilih adalah orangnya rezim penguasa.