Berbeda dengan golput era reformasi. Pada era reformasi golput dilatarbelakangi oleh isu perilaku politik.
Sistem dan kelembagaan politik telah berubah seiring dengan runtuhnya Orba. Pemilu diselenggarakan oleh komisi independen, dan diikuti oleh banyak partai politik yang independen.
Ada lembaga pengawas pemilu. Masyarakat juga diberi kesempatan membentuk lembaga pemantau pemilu.
Dari sisi sistem dan kelembagaan politik ada kemajuan. Masyarakat menaruh kepercayaan dan harapan terhadap sistem dan kelembagaan politik era reformasi tersebut.
Buktinya angka golput relatif kecil pada pemilu pertama era reformasi (1999), yakni 7,3 persen. Sedikit lebih tinggi daripada pemilu terakhir Orba (6,4 persen).
Namun, perubahan sistem dan kelembagaan itu ternyata tidak segera menghasilkan kultur politik yang diharapkan. Perilaku politik pemimpin hasil pemilu tidak berubah, bahkan lebih menyakitkan rakyat.
Banyak pejabat politik, yang notabene kader-kader partai politik, terlibat korupsi secara berjamaah. Kinerjanya juga tidak memuaskan dilihat dari sudut kepentingan rakyat. Jauh dari harapan reformasi.
Pendek kata, perubahan sistem dan kelembagaan politik itu pada akhirnya lebih merupakan ”aturan main” bikinan para politisi dan elite lain untuk menyandera negara demi kepentingan mereka ketimbang mekanisme demokrasi untuk mengawal kepentingan rakyat.
Pemilu sebagai jalan demokrasi telah dibajak oleh elite, lalu membunuh ibu kandungnya, demos. Bagai dongeng Malin Kundang.
Muncullah kekecewaan dan krisis kepercayaan terhadap pejabat politik, partai politik, dan kandidat yang diajukan. Muncul keraguan terhadap kemampuan pemilu sebagai jalan demokrasi untuk mengubah kehidupan rakyat.
Karena tidak lagi takut menunjukkan sikap politik secara terbuka, masyarakat juga berani terbuka memilih golput.
Dulu sulit menemukan pegawai negeri sipil (PNS) memilih golput, tapi sekarang tidak sedikit PNS yang sengaja tidak datang ke tempat pemungutan suara. Apalagi warga masyarakat pada umumnya.
Angka golput pun membengkak dari pemilu ke pemilu era reformasi.
Data besaran masing-masing kategori memang tidak tersedia. Namun, mustahil timbul golput sebesar itu kalau hanya faktor teknis. Saya yakin sebagian besar golput karena faktor politis.
Mengapa golput politik tidak bisa diremehkan? Sebagai sikap politik, golput bukanlah nihilis. Golput bisa berkembang ke arah “perlawanan sehari-hari”.