Pada level terparahnya, hoax juga mampu mempolarisasi masyarakat hanya karena perbedaan keyakinan dan ideologi masing-masing.
Artinya hoax bisa membuat mereka menolak bentuk penalaran berbeda, meski masuk akal atau objektif.
Meluasnya fenomena hoax tidak bisa dilepaskan dari bagaimana masyarakat dengan mudah mengakses opini publik serta berkembangnya media alternatif seperti Whatsapp, Facebook, Twitter, dan Youtube.
Platfom digital ini memungkinkan mudahnya berita palsu menyebar dan menimbulkan banalisasi kebohongan serta relativitas kebenaran, sehingga kredibilitas media arus utama bisa kalah dengan opini, keyakinan dan hasrat pribadi.
Mengapa kebohongan bisa sebegitu memikatnya? Menurut Arendt (1979), penebar kebohongan lihai dalam mengikuti logika dan harapan yang dibohongi untuk memuaskan keyakinan audiensnya.
Pembahasan tentang hoax juga berkaitan erat dengan era post-truth (pascakebenaran). Menurut J.A. Llorente (2017:9), era post-truth berarti kondisi iklim sosial politik yang membiarkan emosi atau hasrat memihak ke suatu keyakinan dan mengalahkan rasionalitas atau objektivitas meski fakta sebenarnya menunjukkan hal yang bertentangan.
Menurut Haryatmoko, era post-truth yang diikuti oleh suburnya hoax akan mudah diterima masyarakat karena suburnya narasi politisi demagogi (pemimpin rakyat yang mahir menghasut masyarakat untuk memperoleh kekuasaan); banyak individu atau kelompok merasa ‘nyaman’ dengan informasi yang telah dipilih; hingga peran media massa yang lebih menekankan sensasi karena tujuan profit semata.
Apa yang menyebabkan post-truth digemari? Setidaknya ada enam alasan. Pertama, karena perkembangan teknologi informasi yang memudahkan akses masyarakat ke konten informasi.
Kedua, masyarakat dimungkinkan untuk memproduksi dan menyebarkan informasi melalui media sosial.
Ketiga, kebebasan pers dan jurnalisme warga yang memungkinkan pengguliran diskursus tandingan terhadap media arus utama akibat kekecewaan politik.
Keempat, masyarakat rentan mengonsumsi informasi keliru karena berkembangnya sekat-sekat komunitas yang memiliki keyakinan dan ideologi sejalan.
Kelima, berkembangnya anggapan bahwa viralitas lebih penting daripada kualitas informasi dan etika.
Keenam, kebenaran tidak lagi dikritisi karena berseberangan dengan harapan mereka. Bahkan, istilah ‘kebohongan’ dalam permainan semantik ‘disulap’ menjadi ‘kebenaran’ alternatif.
Bahayanya, dampak buruk yang paling ekstrem dari era post-truth ini adalah kemampuannya dalam mereduksi ruang publik menjadi ruang privat serta mengancam pluraritas yang sejatinya merupakan realita bangsa ini.
Melihat teknik penyebaran hoax di era post-truth yang memanfaatkan emosi daripada rasionalitas dan objektivitas data, maka kita harus mempersenjatai diri untuk menghadapi derasnya serangan hoax yang bisa merugikan individu, kelompok hingga negara.