Sementara Erick Thohir dikabarkan akan merapat ke kubu Prabowo, juga dipersepsikan oleh publik maupun para pengamat sebagai pelengkap "kekuatan modal" yang sebelumnya memang telah melekat pada diri Prabowo.
Untuk mendukung narasi ini, Partai Amanat Nasional (PAN) dikabarkan adalah partai yang akan memasang badan untuk itu.
Namun narasi ini harus dibenturkan dengan fakta bahwa Cak Imin alias Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB, telah lebih dulu membangun relasi serius dengan Gerindra dan Prabowo Subianto, sekalipun belum juga diterima secara resmi sebagai pasangan Prabowo.
Dibutuhkan formula baru yang bisa diterima kedua pihak, baik oleh Prabowo maupun oleh Cak Imin, jika Erick masuk gerbong Hambalang belakangan.
Sementara, Partai Golkar sebagai salah satu partai bersuara besar, masih belum berdamai dengan kenyataan bahwa ketua umumnya bukanlah figur dengan elektabilitas tinggi.
Partai Golkar terkesan masih berjuang mencarikan tempat untuk Airlangga Hartarto, sebagai calon wakil presiden.
Anehnya, di partai berlambang pohon beringin ini sesungguhnya telah terdaftar bakal calon presiden dengan elektabilitas tinggi, yakni Ridwan Kamil (Emil), tapi tidak satu kata pun muncul dari Partai Golkar tentang peluang pencalonan Emil sebagai calon wakil presiden yang akan dijajakan kepada koalisi-koalisi yang ada.
Perkembangan sampai hari ini, selain gagal menghembuskan koalisi keempat, Airlangga dan Golkar membuka peluang untuk bergabung ke Hambalang.
Keputusan ini akan memperumit equasi politik di Hambalang, setelah Erick Tohir dikabarkan akan merapat ke lapangan yang sama.
Di sisi lain, Partai Demokrat pun tidak mau kalah. Konsistensinya terus dipertanyakan di dalam Koalisi Perubahan, karena masih bersikeras untuk mendorong Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai pendamping Anies Baswedan.
Tentang partai yang satu ini, masih terngiang di benak kita, di mana Partai Demokrat dan AHY pernah mengatakan bahwa mereka akan tetap bersama Anies, meskipun Anies tidak memilih AHY sebagai bakal calon wakil presidennya.
Inkonsistensi tersebut mulai terlihat saat AHY dan Partai Demokrat memutuskan akan melakukan pertemuan dengan Puan Maharani dan PDIP belum lama ini.
Tak pelak, langkah ini kembali menuai anggapan bahwa Koalisi Perubahan dan pencalonan Anies Baswedan sedang dijegal.
Tentu anggapan ini sangat bisa dipahami mengingat pencalonan Anies hanya akan tercapai jika Partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat bersepakat untuk tetap berkoalisi secara konsisten.
Secara matematis, ketiga partai saling melengkapi. Jika salah satu partai berubah haluan, pencalonan Anies bisa gagal mendadak, karena suara Partai Nasdem dan PKS tidaklah mencukupi untuk mengusung satu pasangan calon.
Namun demikian, peluang AHY bersama dengan Anies masih ada. Jika salah satu kandidat cawapres potensial, seperti Sandiaga Uno, Erick Thohir, Khofifah Indar Parawansa, atau Ridwan Kamil, tak juga merapat ke kubu Anies Baswedan, saya cukup yakin Anies pada akhirnya akan menerima Partai Demokrat sepaket dengan AHY.
Apalagi manuver AHY bertemu dengan Puan sangat berbahaya bagi eksistensi koalisi pengusung Anies Baswedan.
Pendek kata, papan catur pencalonan wakil presiden dan equasi politik yang melingkarinya masih sangat dinamis. Namun, pertimbangan "kekuatan modal" nampaknya masih mendominasi.
Siapa bersama "bohir yang mana" masih menjadi faktor dominan yang sewaktu-waktu bisa mengubah formula equasi politik demokratis di dalam koalisi-koalisi.
Itulah sebabnya mengapa dinamika politik dalam penentuan calon wakil presiden ini sangat penting untuk disimak dan dipantau, layaknya dinamika penentuan bakal calon presiden. Karena pada fase ini, seorang calon pemimpin diseleksi, sebelum ditawarkan kepada publik.
Bahkan sejatinya, pada fasenya inilah proses pembentukan kepemimpinan itu dibentuk. Seperti kata Franklin D. Roosevelt, "Presidents are selected, not elected".
Jadi, baik calon presiden maupun calon wakil presiden diseleksi oleh para elite terlebih dahulu, sebelum dipilih oleh publik.
Karena itulah mengapa proses penentuan calon presiden dan wakil presiden sebelum pemilihan dilangsungkan sangat krusial sifatnya.
Dengan kata lain, baik buruknya para calon, akan dilahirkan pada proses ini. Sementara pemilihan umum hanya untuk mengafirmasi bahwa calon baik atau calon buruk yang telah diseleksi oleh para elite mendapatkan "angka" yang layak untuk masuk ke Istana.
Nah, mengingat proses seleksi calon wakil presiden kali ini sangat elite sentris di satu sisi dan "padat modal" di sisi lain, maka publik sebagai pemilik kedaulatan sebaiknya harus mulai bersuara.
Tidak ada yang melarang Sandiaga Uno atau Erick Thohir untuk tampil, bahkan menguasai panggung seleksi calon wakil presiden. Namun persoalannya pertimbangan utama partai-partai politik yang bernuansa sangat "padat modal" sangat perlu diluruskan.