Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Dinamika Pencalonan Wakil Presiden, antara Kekuatan Modal dan Dukungan Publik

Kompas.com - 17/06/2023, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERTARUNGAN menjelang penentuan bakal calon wakil presiden yang akan mendampingi tiga bakal calon presiden ternyata jauh lebih dinamis dibanding penentuan bakal calon presiden itu sendiri.

Irama dan lompatan-lompatan dalam pembentukan nada politiknya agak berbeda dengan dua tahun dinamika penentuan tiga calon presiden karena berpeluang menambah gambar baru di dalam gambar utama peta koalisi politik yang melatarinya.

Dalam dinamika penentuan tiga orang calon presiden, Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo, misalnya, apa yang dikatakan oleh Harry Emerson Fosdick tentang demokrasi benar-benar terjadi.

"Democracy is based upon the conviction that there are extraordinary possibilities in ordinary people," Harry Emerson Fosdick.

Ganjar dan Anies adalah bukti nyatanya, di mana kedua nama ini terhitung sebagai "ordinary politician" yang muncul sebagai "extraordinary leader", tapi tidak memegang kendali politik di dalam partai yang menentukannya. Sisi baiknya, mereka berhasil dipilih sebagai bakal calon presiden.

Selain itu, dua tahun menjelang Anies, Prabowo, dan Ganjar didaulat menjadi calon resmi partai politik dan koalisi, nama ketiganya sudah diperbincangkan publik sebagai "tiga nama utama" yang akan memasuki arena pemilihan presiden pada pemilihan tahun 2024 nanti.

Karena, selain hasil survei lembaga-lembaga survei arus utama, ketiga nama tersebut adalah nama-nama yang memiliki "kesan politik" paling tinggi di mata masyarakat.

Bahkan tanpa merujuk pada hasil survei pun, ketiga nama tersebut sudah terkesan akan berlaga di pemilihan mendatang, meskipun kenyataannya di arena politik praktis tak semudah itu bagi mereka untuk dipercaya sebagai calon presiden resmi partai atau koalisi partai.

"Great things happen nationally when topmost leadership is goaded and supported from below," tulis John W. Gardner.

Ganjar Pranowo membuktikan hal itu. Dukungan publik memiliki arti signifikan dalam proses seleksi calon presiden yang dilakukan para elite politik di dalam partai-partai.

Dengan fakta politik demikian, sudah hampir pasti calon presiden untuk pemilihan mendatang akan mengerucut ke tiga nama di atas, yakni Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo.

Memang ada isu soal kemungkinan gagalnya kubu Anies menuju laga resmi Pilpres 2024 dan wacana tentang kubu baru yang dimotori oleh Partai Golkar dan PAN.

Namun berdasarkan kalkulasi dan rasionalitas politik yang ada, tiga kandidat di atas adalah konfigurasi yang "masuk akal" untuk semua pihak.

Upaya penggagalan Anies hanya akan merugikan kubu Ganjar Pranowo, karena suara dari kubu Anies akan lebih berpeluang pindah ke Hambalang (Partai Gerindra).

Jadi cukup penting diingat bahwa setiap upaya PDIP untuk menggaet Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan menggagalkan Anies mengandung risiko berbahaya untuk Ganjar.

Langkah terbaik bagi PDIP adalah melebarkan sayap koalisi, untuk (pertama) membendung pelebaran suara Prabowo, jika Anies tak ikut Pilpres atau jika pada putaran kedua yang tersisa hanya Prabowo dan Ganjar.

Artinya, memastikan mayoritas suara kubu Anies berpihak ke Ganjar saat Anies tidak berhasil masuk putaran kedua. Inilah makna terbaik pertemuan Puan Maharani dan AHY, yakni makna "just in case".

Kedua, pelebaran sayap koalisi untuk kemungkinan lain, yakni saat Anies dan Ganjar yang masuk putaran kedua.

Dengan kata lain, memastikan mayoritas suara kubu Prabowo akan pindah ke Ganjar jika Prabowo gagal masuk tahap kedua.

Inilah makna terbaik mengapa PKB dan Partai Gerindra harus tetap berkawan baik dengan PDIP, meskipun PKB berjalan bersama Gerindra di putaran pertama.

Kemudian soal koalisi baru. Rasanya akan sulit tercapai karena Partai Golkar dan PAN masih perlu suara partai lain, yang justru sudah terikat ke salah satu koalisi yang ada.

Lalu, di kubu Golkar dan PAN tidak terdapat kandidat yang layak secara elektoral untuk menjadi Capres dan Cawapres.

Namun di dalam dinamika penentuan calon wakil presiden, proses senada belum terlihat. Nama seperti Sandiaga Uno dan Erick Thohir dipersepsi muncul ke permukaan bukan karena popularitas kerakyatan mereka selama ini, tapi lebih kepada kekuatan modal yang diperkirakan akan sangat menentukan keberhasilan mereka dalam menggandeng partai politik.

Sandiaga Uno berpindah bendera parpol dalam waktu yang tidak lama, karena kebutuhan politik untuk mengambil jalan yang berbeda dengan calon presiden yang diusung Partai Gerindra.

Langkah tersebut terkesan sangat dipaksakan untuk memenuhi tuntutan narasi politik yang telah dihembuskan sebelumnya bahwa Sandiaga akan "diplot" untuk bersanding dengan Ganjar Pranowo.

Memang satu dua orang pendukung Sandiaga mencoba untuk membantah "plot" politik ini, dengan mengatakan bahwa bergabungnya Sandi ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berpeluang mengubah equasi politik di dalam partai berlambang Ka'bah tersebut setelah kongres, di mana sebelumnya PPP telah memutuskan untuk berjalan bersama PDIP dan Ganjar Pranowo.

Sementara Erick Thohir dikabarkan akan merapat ke kubu Prabowo, juga dipersepsikan oleh publik maupun para pengamat sebagai pelengkap "kekuatan modal" yang sebelumnya memang telah melekat pada diri Prabowo.

Untuk mendukung narasi ini, Partai Amanat Nasional (PAN) dikabarkan adalah partai yang akan memasang badan untuk itu.

Namun narasi ini harus dibenturkan dengan fakta bahwa Cak Imin alias Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB, telah lebih dulu membangun relasi serius dengan Gerindra dan Prabowo Subianto, sekalipun belum juga diterima secara resmi sebagai pasangan Prabowo.

Dibutuhkan formula baru yang bisa diterima kedua pihak, baik oleh Prabowo maupun oleh Cak Imin, jika Erick masuk gerbong Hambalang belakangan.

Sementara, Partai Golkar sebagai salah satu partai bersuara besar, masih belum berdamai dengan kenyataan bahwa ketua umumnya bukanlah figur dengan elektabilitas tinggi.

Partai Golkar terkesan masih berjuang mencarikan tempat untuk Airlangga Hartarto, sebagai calon wakil presiden.

Anehnya, di partai berlambang pohon beringin ini sesungguhnya telah terdaftar bakal calon presiden dengan elektabilitas tinggi, yakni Ridwan Kamil (Emil), tapi tidak satu kata pun muncul dari Partai Golkar tentang peluang pencalonan Emil sebagai calon wakil presiden yang akan dijajakan kepada koalisi-koalisi yang ada.

Perkembangan sampai hari ini, selain gagal menghembuskan koalisi keempat, Airlangga dan Golkar membuka peluang untuk bergabung ke Hambalang.

Keputusan ini akan memperumit equasi politik di Hambalang, setelah Erick Tohir dikabarkan akan merapat ke lapangan yang sama.

Di sisi lain, Partai Demokrat pun tidak mau kalah. Konsistensinya terus dipertanyakan di dalam Koalisi Perubahan, karena masih bersikeras untuk mendorong Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai pendamping Anies Baswedan.

Tentang partai yang satu ini, masih terngiang di benak kita, di mana Partai Demokrat dan AHY pernah mengatakan bahwa mereka akan tetap bersama Anies, meskipun Anies tidak memilih AHY sebagai bakal calon wakil presidennya.

Inkonsistensi tersebut mulai terlihat saat AHY dan Partai Demokrat memutuskan akan melakukan pertemuan dengan Puan Maharani dan PDIP belum lama ini.

Tak pelak, langkah ini kembali menuai anggapan bahwa Koalisi Perubahan dan pencalonan Anies Baswedan sedang dijegal.

Tentu anggapan ini sangat bisa dipahami mengingat pencalonan Anies hanya akan tercapai jika Partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat bersepakat untuk tetap berkoalisi secara konsisten.

Secara matematis, ketiga partai saling melengkapi. Jika salah satu partai berubah haluan, pencalonan Anies bisa gagal mendadak, karena suara Partai Nasdem dan PKS tidaklah mencukupi untuk mengusung satu pasangan calon.

Namun demikian, peluang AHY bersama dengan Anies masih ada. Jika salah satu kandidat cawapres potensial, seperti Sandiaga Uno, Erick Thohir, Khofifah Indar Parawansa, atau Ridwan Kamil, tak juga merapat ke kubu Anies Baswedan, saya cukup yakin Anies pada akhirnya akan menerima Partai Demokrat sepaket dengan AHY.

Apalagi manuver AHY bertemu dengan Puan sangat berbahaya bagi eksistensi koalisi pengusung Anies Baswedan.

Pendek kata, papan catur pencalonan wakil presiden dan equasi politik yang melingkarinya masih sangat dinamis. Namun, pertimbangan "kekuatan modal" nampaknya masih mendominasi.

Siapa bersama "bohir yang mana" masih menjadi faktor dominan yang sewaktu-waktu bisa mengubah formula equasi politik demokratis di dalam koalisi-koalisi.

Itulah sebabnya mengapa dinamika politik dalam penentuan calon wakil presiden ini sangat penting untuk disimak dan dipantau, layaknya dinamika penentuan bakal calon presiden. Karena pada fase ini, seorang calon pemimpin diseleksi, sebelum ditawarkan kepada publik.

Bahkan sejatinya, pada fasenya inilah proses pembentukan kepemimpinan itu dibentuk. Seperti kata Franklin D. Roosevelt, "Presidents are selected, not elected".

Jadi, baik calon presiden maupun calon wakil presiden diseleksi oleh para elite terlebih dahulu, sebelum dipilih oleh publik.

Karena itulah mengapa proses penentuan calon presiden dan wakil presiden sebelum pemilihan dilangsungkan sangat krusial sifatnya.

Dengan kata lain, baik buruknya para calon, akan dilahirkan pada proses ini. Sementara pemilihan umum hanya untuk mengafirmasi bahwa calon baik atau calon buruk yang telah diseleksi oleh para elite mendapatkan "angka" yang layak untuk masuk ke Istana.

Nah, mengingat proses seleksi calon wakil presiden kali ini sangat elite sentris di satu sisi dan "padat modal" di sisi lain, maka publik sebagai pemilik kedaulatan sebaiknya harus mulai bersuara.

Tidak ada yang melarang Sandiaga Uno atau Erick Thohir untuk tampil, bahkan menguasai panggung seleksi calon wakil presiden. Namun persoalannya pertimbangan utama partai-partai politik yang bernuansa sangat "padat modal" sangat perlu diluruskan.

Masalah dengan kedua tokoh ini, bahkan banyak sedikitnya termasuk Airlangga Hartarto, adalah bahwa keduanya kurang memiliki waktu yang cukup dalam mencicipi jabatan publik yang berbasiskan pemilihan. Jabatan menteri adalah jabatan "appointed", bukan "elected".

Sementara Airlangga memang pernah duduk di DPR alias dipilih, tapi belum pernah merasakan dipilih sebagai kepala daerah sekelas gubernur, misalnya.

Sandiaga pun sebenarnya pernah diposisi "elected", yakni sebagai wakil gubernur terpilih DKI Jakarta, tapi waktunya sangat singkat.

Karena ambisi ingin ke Istana, beliau akhirnya berakhir sebagai pejabat "appointed" setelah kalah pada pemilihan presiden mendampingi Prabowo Subianto pada 2019.

Bahkan Erick Thohir tak pernah berada di posisi "elected", kecuali di PSSI terpilih sebagai Ketua Umum PSSI 2023-2027 pada Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI di Jakarta, pasca-Indonesia gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia sepakbola U20.

Singkatnya waktu Sandiaga berada pada posisi pejabat "elected" dan absennya kapasitas sebagai pejabat "elected" pada diri Erick, membuat kesan bahwa "kekuatan modal" yang merupakan tumpuan utama pencalonan nama mereka sebagai wakil presiden menjadi tidak terhindarkan.

Tidak dipungkiri, diakui atau pun tidak, partai-partai politik yang terus menyuarakan nama mereka lebih meletakkan pertimbangan "availabilitas modal politik" Sandiaga Uno dan Erick Thohir ketimbang elektabilitas, akseptabilitas, dan track record keduanya sebagai pejabat publik pun pejabat terpilih.

Sementara dari sisi Partai Demokrat dan Partai Golkar, organisasi partai menjadi basis perjuangan mereka dalam menjajakan calon.

Kapasitas Airlangga dan AHY sebagai ketua umum diasumsikan sebagai modal politik utama dalam melakukan "political trade" dengan koalisi-koalisi yang ada.

Sisi baik di tubuh Partai Demokrat, tidak ada nama lain yang muncul selain nama AHY, baik dalam persepsi umum publik maupun dalam survei-survei.

Masalahnya, partai ini terkena sindrom yang sama dengan partai lainnya, yakni "famili sentris". Diameter dari lingkaran elite internal partainya sangat kecil, sehingga sangat kurang representatif untuk dianggap sebagai suara publik.

Namun sisi ‘tragisnya’ juga ada pada Partai Golkar, meskipun diameter dari lingkaran elitenya jauh lebih luas dan beragam ketimbang Partai Demokrat.

Nama Ridwan Kamil adalah nama kompetitif di dalam survei-survei, bahkan dua bulan lalu Kang Emil masih berada di atas nama Sandiaga Uno. Tapi Partai Golkar sangat jarang menyebut namanya, alih-alih menjual namanya di dalam pasar politik nasional.

Padahal, Ridwan Kamil (RK) memiliki track record sebagai pejabat terpilih, mulai dari Wali Kota Bandung hingga sebagai Gubernur Jawa Barat, serta muncul secara kompetitif di dalam survei-survei calon wakil presiden potensial.

Hanya saja, RK nyaris tidak pernah diidentikkan dengan "kekuatan modal" layaknya Sandiaga Uno dan Erick Thohir, yang menjadi "nilai kurangnya" di mata partai-partai politik.

Dengan kapasitas itu, sebenarnya RK masih memiliki kekuatan "game changer" yang patut dipertimbangkan.

Elektabilitas yang tinggi adalah modal elektoral yang tidak bisa dimiliki oleh figur lain dalam waktu yang singkat.

Ganjar Pranowo membuktikan bahwa kekuatan elektabilitas bisa menjadi pertimbangan utama partai (PDIP) dalam mengusungnya, padahal Ganjar tidak pernah diidentifikasi sebagai figur yang memiliki "kekuatan modal".

Dengan kata lain, di tengah hiruk pikuk kalkulasi "kekuatan modal" sebagai "driver" penentu calon wakil presiden, parameter elektabilitas jangan sampai ditinggalkan.

Tak ada yang melarang "show of capital" muncul sebagai salah satu faktor dalam equasi politik calon wakil presiden, tapi akan sangat bijak jika elektabilitas justru ditempatkan di posisi utama.

Cawe-Cawe Jokowi pun sebaiknya dikaitkan secara jelas kepada elektabilitas calon wakil presiden yang ingin beliau endorse.

Setidaknya, keterkaitan cawe-cawe dan elektabilitas akan mengurangi kesan "mencampuri" urusan kedaulatan rakyat tahun 2024 nanti, karena secara teknis masih terkait dengan suara publik yang mendukung calon-calon wakil presiden.

Last but not least, menjelang tenggat waktu yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum untuk pendaftaran capres dan cawapres, yaitu pada 19 Oktober - 25 November 2023, element masyarakat sipil perlu menyuarakan narasi-narasi moral yang menyehatkan untuk ruang politik nasional, seperti PBNU yang menarasikan syarat moral calon pemimpin mendatang, meskipun tidak menyebutkan nama, mengingat PBNU bukanlah partai Politik.

Dan yang tak kalah penting, masyarakat pemilih harus mulai memilih sikap dan berani "speak up" jika bertemu dengan tenaga lapangan berbagai lembaga survei, agar peluang manipulasi angka elektabilitas bisa diminimalisasi oleh pihak-pihak tertentu di satu sisi dan agar kombinasi terbaik yang membentuk calon pemimpin berkualitas bisa didapat.

Apa saja kombinasi tersebut? "Followers who tell the truth, and leaders who listen to it, are an unbeatable combination," begitu kata Warren Bennis, seorang guru besar dengan spesialisasi kepemimpinan modern dari Massachusetts Institute of Technology (MIT).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 17 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 17 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Putusan MK Diketok 2011, Kenapa DPR Baru Revisi UU Kementerian Negara Sekarang?

Putusan MK Diketok 2011, Kenapa DPR Baru Revisi UU Kementerian Negara Sekarang?

Nasional
Indikator Politik: 90,4 Persen Pemudik Puas dengan Penyelenggaraan Mudik Lebaran Tahun Ini

Indikator Politik: 90,4 Persen Pemudik Puas dengan Penyelenggaraan Mudik Lebaran Tahun Ini

Nasional
Di Sidang Tol MBZ, Pejabat Waskita Mengaku Bikin Proyek Fiktif untuk Penuhi Permintaan BPK Rp 10 Miliar

Di Sidang Tol MBZ, Pejabat Waskita Mengaku Bikin Proyek Fiktif untuk Penuhi Permintaan BPK Rp 10 Miliar

Nasional
Tiba-tiba Hampiri Jokowi, ASN di Konawe Adukan Soal Gaji yang Ditahan Selama 6 Tahun

Tiba-tiba Hampiri Jokowi, ASN di Konawe Adukan Soal Gaji yang Ditahan Selama 6 Tahun

Nasional
TKN Sebut Jokowi Tak Perlu Jadi Dewan Pertimbangan Agung: Beliau Akan Beri Nasihat Kapan pun Prabowo Minta

TKN Sebut Jokowi Tak Perlu Jadi Dewan Pertimbangan Agung: Beliau Akan Beri Nasihat Kapan pun Prabowo Minta

Nasional
ASN yang Tiba-Tiba Hampiri Jokowi di Konawe Ingin Mengadu Soal Status Kepegawaian

ASN yang Tiba-Tiba Hampiri Jokowi di Konawe Ingin Mengadu Soal Status Kepegawaian

Nasional
Khofifah Sebut Jokowi Minta Forum Rektor Bahas Percepatan Indonesia Emas 2045

Khofifah Sebut Jokowi Minta Forum Rektor Bahas Percepatan Indonesia Emas 2045

Nasional
Presiden Jokowi Serahkan Bantuan Pangan bagi Masyarakat di Kolaka Utara

Presiden Jokowi Serahkan Bantuan Pangan bagi Masyarakat di Kolaka Utara

Nasional
Ditanya Bakal Ikut Seleksi Capim KPK, Nawawi: Dijawab Enggak Ya?

Ditanya Bakal Ikut Seleksi Capim KPK, Nawawi: Dijawab Enggak Ya?

Nasional
Soal Revisi UU MK, Pengamat: Rapat Diam-diam adalah Siasat DPR Mengecoh Publik

Soal Revisi UU MK, Pengamat: Rapat Diam-diam adalah Siasat DPR Mengecoh Publik

Nasional
Pertamina Gandeng JCCP untuk Hadapi Tantangan Transisi Energi

Pertamina Gandeng JCCP untuk Hadapi Tantangan Transisi Energi

Nasional
Imbas Kecelakaan di Subang, Muhadjir: Jangan Menyewa Bus Kecuali Betul-betul Bisa Dipercaya

Imbas Kecelakaan di Subang, Muhadjir: Jangan Menyewa Bus Kecuali Betul-betul Bisa Dipercaya

Nasional
Antisipasi Rumor, Fahira Idris Minta Penyelenggara dan Legislator Klarifikasi Penerapan KRIS secara Komprehensif

Antisipasi Rumor, Fahira Idris Minta Penyelenggara dan Legislator Klarifikasi Penerapan KRIS secara Komprehensif

Nasional
Kenaikan Beras Tak Setinggi Negara Lain, Jokowi: Patut Disyukuri Lho...

Kenaikan Beras Tak Setinggi Negara Lain, Jokowi: Patut Disyukuri Lho...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com