Masalah dengan kedua tokoh ini, bahkan banyak sedikitnya termasuk Airlangga Hartarto, adalah bahwa keduanya kurang memiliki waktu yang cukup dalam mencicipi jabatan publik yang berbasiskan pemilihan. Jabatan menteri adalah jabatan "appointed", bukan "elected".
Sementara Airlangga memang pernah duduk di DPR alias dipilih, tapi belum pernah merasakan dipilih sebagai kepala daerah sekelas gubernur, misalnya.
Sandiaga pun sebenarnya pernah diposisi "elected", yakni sebagai wakil gubernur terpilih DKI Jakarta, tapi waktunya sangat singkat.
Karena ambisi ingin ke Istana, beliau akhirnya berakhir sebagai pejabat "appointed" setelah kalah pada pemilihan presiden mendampingi Prabowo Subianto pada 2019.
Bahkan Erick Thohir tak pernah berada di posisi "elected", kecuali di PSSI terpilih sebagai Ketua Umum PSSI 2023-2027 pada Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI di Jakarta, pasca-Indonesia gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia sepakbola U20.
Singkatnya waktu Sandiaga berada pada posisi pejabat "elected" dan absennya kapasitas sebagai pejabat "elected" pada diri Erick, membuat kesan bahwa "kekuatan modal" yang merupakan tumpuan utama pencalonan nama mereka sebagai wakil presiden menjadi tidak terhindarkan.
Tidak dipungkiri, diakui atau pun tidak, partai-partai politik yang terus menyuarakan nama mereka lebih meletakkan pertimbangan "availabilitas modal politik" Sandiaga Uno dan Erick Thohir ketimbang elektabilitas, akseptabilitas, dan track record keduanya sebagai pejabat publik pun pejabat terpilih.
Sementara dari sisi Partai Demokrat dan Partai Golkar, organisasi partai menjadi basis perjuangan mereka dalam menjajakan calon.
Kapasitas Airlangga dan AHY sebagai ketua umum diasumsikan sebagai modal politik utama dalam melakukan "political trade" dengan koalisi-koalisi yang ada.
Sisi baik di tubuh Partai Demokrat, tidak ada nama lain yang muncul selain nama AHY, baik dalam persepsi umum publik maupun dalam survei-survei.
Masalahnya, partai ini terkena sindrom yang sama dengan partai lainnya, yakni "famili sentris". Diameter dari lingkaran elite internal partainya sangat kecil, sehingga sangat kurang representatif untuk dianggap sebagai suara publik.
Namun sisi ‘tragisnya’ juga ada pada Partai Golkar, meskipun diameter dari lingkaran elitenya jauh lebih luas dan beragam ketimbang Partai Demokrat.
Nama Ridwan Kamil adalah nama kompetitif di dalam survei-survei, bahkan dua bulan lalu Kang Emil masih berada di atas nama Sandiaga Uno. Tapi Partai Golkar sangat jarang menyebut namanya, alih-alih menjual namanya di dalam pasar politik nasional.
Padahal, Ridwan Kamil (RK) memiliki track record sebagai pejabat terpilih, mulai dari Wali Kota Bandung hingga sebagai Gubernur Jawa Barat, serta muncul secara kompetitif di dalam survei-survei calon wakil presiden potensial.
Hanya saja, RK nyaris tidak pernah diidentikkan dengan "kekuatan modal" layaknya Sandiaga Uno dan Erick Thohir, yang menjadi "nilai kurangnya" di mata partai-partai politik.
Dengan kapasitas itu, sebenarnya RK masih memiliki kekuatan "game changer" yang patut dipertimbangkan.
Elektabilitas yang tinggi adalah modal elektoral yang tidak bisa dimiliki oleh figur lain dalam waktu yang singkat.
Ganjar Pranowo membuktikan bahwa kekuatan elektabilitas bisa menjadi pertimbangan utama partai (PDIP) dalam mengusungnya, padahal Ganjar tidak pernah diidentifikasi sebagai figur yang memiliki "kekuatan modal".
Dengan kata lain, di tengah hiruk pikuk kalkulasi "kekuatan modal" sebagai "driver" penentu calon wakil presiden, parameter elektabilitas jangan sampai ditinggalkan.
Tak ada yang melarang "show of capital" muncul sebagai salah satu faktor dalam equasi politik calon wakil presiden, tapi akan sangat bijak jika elektabilitas justru ditempatkan di posisi utama.
Cawe-Cawe Jokowi pun sebaiknya dikaitkan secara jelas kepada elektabilitas calon wakil presiden yang ingin beliau endorse.
Setidaknya, keterkaitan cawe-cawe dan elektabilitas akan mengurangi kesan "mencampuri" urusan kedaulatan rakyat tahun 2024 nanti, karena secara teknis masih terkait dengan suara publik yang mendukung calon-calon wakil presiden.
Last but not least, menjelang tenggat waktu yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum untuk pendaftaran capres dan cawapres, yaitu pada 19 Oktober - 25 November 2023, element masyarakat sipil perlu menyuarakan narasi-narasi moral yang menyehatkan untuk ruang politik nasional, seperti PBNU yang menarasikan syarat moral calon pemimpin mendatang, meskipun tidak menyebutkan nama, mengingat PBNU bukanlah partai Politik.
Dan yang tak kalah penting, masyarakat pemilih harus mulai memilih sikap dan berani "speak up" jika bertemu dengan tenaga lapangan berbagai lembaga survei, agar peluang manipulasi angka elektabilitas bisa diminimalisasi oleh pihak-pihak tertentu di satu sisi dan agar kombinasi terbaik yang membentuk calon pemimpin berkualitas bisa didapat.
Apa saja kombinasi tersebut? "Followers who tell the truth, and leaders who listen to it, are an unbeatable combination," begitu kata Warren Bennis, seorang guru besar dengan spesialisasi kepemimpinan modern dari Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.