JAKARTA, KOMPAS.com - Program Director Indonesia Institute for Social Development (IISD) Ahmad Fanani mengatakan, masalah darurat rokok di Indonesia sampai hari ini belum teratasi bahkan angkanya terus meningkat.
Fanani lantas menyayangkan peningkatan perokok tidak dibarengi dengan kebijakan batasan peredaran rokok melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang seharusnya dapat meminimalisir penyakit dari merokok.
"Darurat rokok sampai hari ini masalahnya enggak teratasi, malah justru eskalasi, tapi aturannya justru diperlemah," ungkap Fanani dalam konferensi pers daring pada Kamis (15/6/2023).
Berdasarkan penuturannya, saat ini terdapat 73 persen pemuda laki-laki usia produktif di Indonesia merupakan perokok aktif.
Baca juga: Tak Atur Pembatasan Iklan Rokok, Koalisi Masyarakat Minta Pengesahan RUU Kesehatan Ditunda
"Kalau ada 10 anak muda berusia 25 sampai 40 tahun, itu cuman dua yang bukan perokok," ujar Fanani.
Ia lalu mengacu pada data profil statistik kesehatan yang menyebutkan bahwa sekitar 24 persen anak muda Indonesia berpotensi atau rentan mengalami gangguan kesehatan yang bisa mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari.
Untuk itu, katanya, dibutuhkan regulasi batasan penggunaan tembakau demi meminimalisir dampak buruk bagi kesehatan masyarakat usia produktif.
"Bahkan dalam Renstra (Rencana Strategis) Kementerian Kesehatan, sebenarnya ada amanah untuk menguatkan regulasi penggunaan tembakau. Karena apa? Ada kebutuhan regulasi di situ," katanya.
Lebih lanjut, ia menuturkan saat ini persepsi publik yang meyakini bahwa rokok mengandung bahan-bahan yang bisa mengakibatkan penyakit serius juga mengalami penurunan.
Baca juga: YLBHI: RUU Kesehatan Bodong Naskah Akademiknya, seperti UU Cipta Kerja
Hal itu, katanya, juga merupakan akibat dari banyaknya iklan produk rokok sebagai olahan tembakau yang sengaja dikonstruksi oleh industri sebagai barang yang membuat penikmatnya sebagai sosok yang keren.
"Jadi pemahamannya didominasi oleh citra-citra ilusif yang sengaja dikontruksi oleh industri sehingga publik mengabaikan dampak buruk tersebut," katanya.
Dari segala bahaya tersebut, ia lantas pesimis akan aktualisasi Sumber Daya Manusia (SDM) jika generasi muda sudah terancam bahaya merokok.
Menurutnya, Indonesia Emas 2045 tidak akan tercapai jika pemuda di Indonesia tidak memiliki tubuh sehat, tentunya dengan kebijakan pembatasan produksi tembakau.
Baca juga: ICW Sebut RUU Kesehatan Belum Mampu Jawab Masalah Korupsi Bidang Pelayanan Kesehatan
"Bagaimana kita masih lantang menyebutkan visi Indonesia emas 2045 kalau kondisinya seperti ini?" ujar Fanani.
Dalam kesempatan yang sama, Koalisi Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau yang terdiri dari 32 lembaga, meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.