Pun saat menjadi tim sukses Jokowi – Jusuf Kalla tahun 2014, dia mampu menghimpun kaum muda terpelajar saat orasi sehingga membawa kemenangan pasangan itu dalam tampuk kepemimpinan nasional.
Kemampuan komunikasi itu pulalah, harus diakui, mampu membawanya menduduki posisi kepemimpinan DKI Jakarta 1.
Anies secara implisit kerap mencitrakan diri sebagai pemimpin berbasis komunikasi. Istilah-istilah yang kerap kita dengarkan dari mulutnya adalah pemimpin harus punya “ide-gagasan, narasi, dan tindakan”.
Artinya, Anies ingin mengatakan bahwa menjadi pemimpin tidak boleh asal kerja, tapi harus dipikirkan dan dikomunikasikan dengan baik apa yang akan dikerjakan. Urutannya harus jelas, begitu kira-kira yang sering digaungkannya.
Namun, pada posisinya sebagai komunikator inilah, Anies justru menunjukkan berbagai problem, yang dalam dugaan penulis, menjadi salah satu variable dalam menggerus suaranya dari waktu ke waktu, belakangan ini.
Sebagai komunikator, termasuk komunikator politik, kemampuan retoris saja tidak cukup. Untuk masuk dan memengaruhi kesadaran publik secara alami, maka komunikator perlu punya kredibilitas (kredibilitas komunikator).
Terkait dengan kredibilitas ini, menurut Aristoteles, perlu ada dalam diri seorang komunikator, yaitu ethos, pathos, dan logos.
Ethos berkaitan dengan karakter dan niat baik dari komunikatornya. Logos berkaitan dengan substansi argumentasi yang memiliki bukti nyata.
Serta phatos berkaitan dengan kreasi pesan yang mampu menggugah pendengarnya ke dalam emosi sehingga bisa satu frekuensi dengan penyampainya.
Adakah kredibilitas itu dimiliki oleh Anies dalam setiap ucapan publiknya? Tentu akan muncul banyak perdebatan tentang hal itu. Namun, suara-suara yang menyangsikan kredibilitasnya sebagai komunikator sudah lama muncul.
Semasa menjadi Gubernur DKI Jakarta, sudah berbagai istilah negatif yang disematkan kepadanya. Berbagai pelabelan “negatif” yang dilekatkan pada Anies dapat dimaknai sebagai sinisme komunikasi atas klaim sebagai komunikator ulung yang kerap dibangga-banggakannya.
Dan ini tentu saja muncul dari komunikan (baca: publik) yang seharusnya dia menangkan hatinya jika ingin menjadi RI 1 nanti.
Anies seperti tidak cukup belajar pada realitas saat dirinya menjadi gubernur tersebut. Kini, saat dirinya berada dalam posisi kandidasi capres, dia masih tetap mengagungkan kemampuan komunikasinya sebagai strategi memenangkan pilpres.
Tak pelak, tagline andalannya “ide dan gagasan melahirkan narasi, narasi melahirkan kebijakan” yang dia produksi, kini menjadi bahan lelucon oleh publik di media sosial.
Kenneth Burke, melalui teori dramatismenya mengatakan bahwa sebagai pelaku komunikasi, kehidupan manusia adalah sebuah drama.