Manusia kerap menciptakan simbol, menggunakan simbol, dan menyalahgunakan simbol untuk kepentingan dirinya. Bahasa merupakan bentuk tindakan sosial yang akan menunjukan siapa aktor (komunikator) tersebut kepada publiknya (baca: komunikan).
Banyak tindakan sosial (bahasa) Anies memunculkan plot-plot drama yang kontraproduktif, sehingga berimbas pada persepsi buruk atas citra dirinya, yang pada akhirnya muncul dalam bentuk pelabelan-pelabelan negatif publik.
Meski seolah tampak wajar, beberapa pandangannya yang diutarakan ke publik dimaknai seperti “mengangkangi” logika dan pengetahuan publik kebanyakan. Publik ditempatkan seperti orang “bodoh” yang tidak tahu apa-apa.
Misalnya, Anies pernah mengatakan bahwa alat transportasi utama manusia adalah “kakinya”. Pandangan tersebut dikatakan setelah sebelumnya dia menolak (menyalahkan) jawaban dari kebanyakan orang (orang kebanyakan akan menjawab: motor, mobil, sepeda, dan sebagainya).
Pada kesempatan lain, Anies juga mengatakan bahwa pandangan yang mengatakan Jakarta adalah kota penuh dengan kemacetan merupakan pandangan yang tidak sepenuhnya benar. Menurut dia, pada tengah malam atau dini hari, Jakarta selalu terlihat lenggang.
Anies sebenarnya tahu bahwa yang dipersoalkan warga tentang kemacetan adalah pada waktu jam kantor (pagi sampai malam).
Alih-alih bijak merespons persoalan kemacetan dengan narasi terukur, publik seakan hendak “disesatkan” jalan pikirannya.
Pun ketika mengomentari tentang banjir yang menggenangi taman-taman di ibu kota Jakarta. Bagi publik, air yang menggenangi Jakarta adalah karena banjir yang perlu ditangani pemerintah secara maksimal. Namun bagi Anies, genangan air tersebut bukan banjir, melainkan “air sedang parkir”.
Belum lagi istilah-istilah yang diproduksi seperti “rumah sehat” (publik Indonesia tahunya rumas sakit, Anies maunya rumah sehat).
Berbagai perilaku komunikasi Anies, dalam kapasitasnya sebagai komunikator politik, baik yang diproduksi saat menjadi gubernur DKI Jakarta dan setelahnya, menjadi jejak digital yang dengan mudah diperoleh.
Dalam konteks hari ini, jejak-jejak digital tersebut diproduksi ulang oleh publik atau pun lawan-lawan politiknya, dalam aneka kreasi dan kemudian disebarkan ulang ke publik. Tentu saja, kreasi-kreasi dimaksud penuh dengan tendensi mendiskreditkan Anies.
Bukalah Tiktok, Instagram, Twitter, Facebook, group-group WA, dan media sosial lainnya, akan Anda temui banyak konten yang menjadikan omongan Anies sebagai bahan lelucon.
Dibandingkan kedua kandidat lainnya (Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo), konten yang memiliki muatan mendiskreditkan capres, dengan belandaskan dari omongan mereka sendiri, lebih banyak tertuju pada Anies.
Dalam relasi komunikator-komunikan, seorang komunikator politik perlu memahami satu hal bahwa komunikan (publik) hari ini demikian kritis.
Informasi dengan mudah diperoleh dan diakses di mana saja oleh publik, sebagai cara mereka untuk menghidupkan alarm kekritisannya.
Para elite politik yang masih mengagung-agungkan kemampuannya memengaruhi publik dengan berbasis pada logika pesan yang tidak masuk akal, mengangkangi pengetahuan publik, menyesatkan, penuh kebohongan, perlahan akan kehilangan kerelevansiannya.
Ingat, dalam komunikasi ada publik yang disebut oleh Beur (1936), Schramm & Roberts (1964) sebagai “khalayak kepala batu” (The obstinate audience). Bisa jadi, itulah realitas khalayak (publik) Indonesia hari ini.
Tipikal publik yang menyaring pesan yang menghampirinya sebelum diterima atau ditolak. Semoga menjadi masukan konstruktif buat Anies dan partai koalisinya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.