Sebagian netizen terbelah dan menilai adanya dugaan korban kemungkinan berperilaku negatif. Sikap mereka kemudian cenderung mengarah pada bentuk persekusi, seolah korban berkontribusi terhadap kesalahan atau kejahatan hingga terjadinya kasus atas dasar tekanan ekonomi.
Aktivis Perempuan dan Konsultan Gender, Tunggal Pawestri berpendapat bahwa fenomena victim blaming, perilaku publik atau pelaku menyalahkan korban masih jadi kultur.
Victim blaming tak hanya soal mengkritisi penampilan atau perilaku korban, apapun bisa jadi triger pemicu korban dipersalahkan. Fenomena victim blaming memang sangat sulit dihentikan.
The Canadian Resource Center for Victims of Crime menyebutkan beberapa jenis tindak kejahatan tempat victim blaming yang kerap ditemukan, yakni kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual, tindak pidana yang terjadi kepada pekerja seks, dan pembunuhan.
Dalam kasus di mana korban “dibujuk” dan diajak secara paksa oleh pelaku melalui bujukan hadiah atau pekerjaan, bahkan akan dinikahi, menjadi dasar dimulainya intimidasi victim blaming.
Pernyataan dan pertanyaan intimidatif masih kerap terdengar dalam ruang publik kita ketika berbicara soal kekerasan seksual.
Si empunya pertanyaan bisa siapa saja: masyarakat, atasan kita, rekan kerja, teman, bahkan keluarga. Asumsi itu muncul karena dugaan korban sebagai pemicunya.
Asumsi sepihak itu salah satu bukti bahwa pelecehan seksual, atau budaya pemerkosaan (rape culture) kian lincah menjajah nalar.
Rape culture tumbuh pada lingkungan sosial ketika kekerasan seksual dinormalisasi dan dibenarkan secara terus menerus.
Serangan victim blaming tak hanya tidak sensitif terhadap kesulitan korban, tapi cenderung menyudutkan dan menyalahkan korban. Kasus paling sering muncul adalah saat interogasi ketika korban mengadukan kasus kekerasan seksual ke polisi.
Seperti pertanyaan pakaian yang dipakai korban, mengapa korban berpergian sendiri, mengapa korban menerima ajakan, mengapa mau melakukan secara berulang dan seterusnya yang menginitimidasi korban.
Sejatinya victim blaming secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu sikap atau perilaku yang menunjukkan bahwa korban, bukannya pelaku, yang diminta untuk lebih bertanggung jawab atas penyerangan atau kekerasan yang terjadi pada dirinya.
Victim blaming menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih belum dianggap sebagai permasalahan sosial. Individu dibebankan untuk menjaga diri dan mengupayakan agar kekerasan seksual tidak terjadi pada dirinya. Dan kasus staycation bisa menjadi pembelajaran penting bagi publik.
Mengapa victim blaming muncul, karena kita memercayai hipotesis bahwa kita telah hidup dalam tatanan sosial yang sudah adil (just world hypothesis).
Artinya, seseorang yang berpakaian “tidak sesuai porsi” dianggap sebagai korban yang “mengumpankan” diri. Seolah menjustifikasi para pelaku sebagai pihak yang tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan.